Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kita punya badui yang lain

Dinas p dan k diy menyelenggarakan pentas kesenian rakyat diy ke-4,8 oktober 1977 dengan menampilkan tari badui, krida langen swara, dadung awuk thethelan dan oglek.

7 April 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IRAMA gejog atau permainan lesung dari Gunung Kidul baru saja berhenti. Disusul dengan irama kentongan doromuluk sebagai tanda dimulainya Pentas Kesenian Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta, di Bangsal Kepatihan. Pentas malam itu, 8 Oktober 1977 adalah pentas keempat sejak dimulai nya gagasan ini pada tahun 1974 oleh Dinas P dan K DIY --dalam rangka menggali, membina dan mengembangkan kesenian-kesenian rakyat di daerah Yogya. Lima kontingen yang mewakili 4 kabupaten (Sleman, Kulonprogo, Gunung Kidul, Bantul) dan Kotamadya Yogya, menampilkan kebolehan masing-masing. Diawali dengan tari Badui dari Sleman Krida Langen Swara dari Yogya, Dadungawuk dari Bantul, Thethelan dari Gunung Kidul, diakhiri dengan Oglek dari Kabupaten Kulonprogo. Pendopo Agung Masing-masing kontingen mendapat kesempatan tampil selama 30-45 menit. Ini berarti mereka harus menyingkat tontonan yang aslinya berjalan 34 jam. Berbeda dengan penampilan dari Kota Yogya, kesenian rakat dari keempat kabupaten tersebut kebanyakan masih hidup subur. Pentas ini diadakan di Bangsal Kepatihan, bekas tempat tinggal Pepatih Dalem Sultan Yogyakarta yang bergelar KGPAA Danurejo. Pendopo yang megah ini ternyata mempunyai daya farik yang besar bagi para seniman rakyat, seperti diungkapkan salah seorang pemimpin grup dalam diskusi. Ia menceriterakan bahwa semalam sebelum pentas, banyak di antara anak buahnya tidak dapat tidur -- dan berangkat dengan rasa kebanggaan dan harap-harap cemas yang bercampur jadi satu. Di samping itu, tempat ini mempunyai riwayat dan sejarahnya sendiri dalam hubungannya dengan kelahiran beberapa kreasi tari tradislonil. Pada zaman Danurejo V misalnya, tempat ini telah melahirkan Wayang Wong Sri Suwelo dan Beksan Bugis gaya Yogyakarta. Dan Danurejo VII di tempat ini menciptakan Langen Manara Wanara, sebuah drama opera Jawa bertemakan Ramayana dengan tarian dalam posisi jongkok. Ini rupanya yan mengilhami para seniman dari Kola Yogya untuk mencoba menampilkan garapan Krida Langen Swara, suatu bentuk pengembangan seni baca macapat yang akhirnya tumbuh menjadi bentuk Langendriya dan Langen Mandra Wanara. Tetapi sebaliknya, tempat yang megah ini juga mengundang kejanggalan. Terutama kalau diingat bahwa kebanyaKan kesenian yang tampil malam ituAbiasa dipergelarkan di alam terbuka yang intim. Salah satu nomor yang menarik malam itu adalah tari Badui. Tontonan rakyat yang ditampilkan Kabupaten Sleman ini menurut jenisnya dapat dimasukkan ke dalam Slawatan (dari bacaan salawat kepada Nabi). Di daerah Sleman, jenis slawatan ini kita dapati dalam beberapa macam tarian seperti: Ndolalak, Kobrasiswa, Badi, Angguk, Rodat, Rodat Saman, Bangunsiswa dan Emprak. Kesemuanya mempunyai tema yang sama, yaitu memuat ajaran Islam atau riwayat Nabi. Banyak desa yang memiliki grup Badui ini di Kabupaten Sleman, tetapi nampaknya tidak atau belum kita dapati di kabupaten lain di luar Sleman. Dan Badui yang satu ini ditampilkan oleh rombongan Desa Semampir Kelurahan Tambakrejo, Kecamatan Tempel, Sleman. Pada pemunculannya yang pertama, tari ini cukup menimbulkan kejutan: langsung mengingatkan kepada tarian Benua Afrika. Terutama pada awal masuk pentas, terasa sekali betapa kuat gerakan hentakan kaki dan tubuh yang dihempas-hempaskan terus-menerus dengan enersi yang penuh yitalitas, dalam suatu disain komposisi berbanjar, melingkar, maupun bertanding berpasangan. Ada suasana primitif yang kuat. Tarian dibarengi suara jedor atau bedug kecil yang dipukul bertubi-tubi menggelegar membuat pekak telinga, disertai 3 buah rebana genjring yang bergemerincing dengan detakannya yang menambah mantap setiap gerak dan langkah, serta tambur yang makin menambah riuh. Masih ditambah lagi dengan syair nyanyian oleh 5 orang yang menjeritkannya dengan nada melengking tinggi. Semua ini terangkum dalam kesatuan penabuh dan penari yang makin kalap karena pengolahan dinamik yang serba keras, cepat dan tajam terus-menerus, dengan hanya beberapa kali berhenti sesaat saja. Pada penyajiannya yang biasa, tari ini memakan waktu 34 jam dengan 2 kali istirahat dan satu selingan, yang biasanya berupa pencak silat. Tetapi dalam pentas malam itu tontonan ini dipadatkan menjadi 45 menit dengan 7 kali ambil sikap berhenti. Pada bagian-bagian terakhir, nampaknya tarian ini telah mendapat pengaruh dari tari-tarian lain seperti Srandul, nDolalak. Gairah Menurut Cipto Suwarno dan Marjuni, para pembina Badui dari Sleman, tontonan rakyat ini konon dibawa seorang Indonesia (Jawa) yang pernah lama tinggal di negeri Arab, entah di mana. Sewaktu pulang, ia tinggal di Desa Mendut dekat Borobudur, dan mulai memperkenalkan kesenian tersebut. Dari keterangan tersebut nampak tidak ada hubungan antara istilah Badui di sini dengan nama Badui di Jawa Barat -- meski nama Badui di Banten itu mungkin lahir oleh asosiasi dengan masyarakat Badui Arab, yakni suku-suku yang masih "asli", yang tinggal di udik di pelosok-pelosok gurun. Keterangan kedua pengasuh itu diperkuat oleh bentuk hiasan kepala yang dipakai ke-40 penari malam itu. Yakni kuluk Turki berkuncir semacam topi Abunawas, dilengkapi celana panjang, kain rapek, setagen dan ikat ping6ang serta baju, tanpa rias. Di samping menari, mereka harus menyanyi secara serempak 'dergan para penabuh genjring. Atau begantian besahut-sahutan. Para penari ini juga membawa alat senjata berupa kayu pemukul. Disebut gembel. Niat yang telah mulai dirintis pelaksanaannya mi ternyata mengundang gairah para seniman daerah - baik di Yogya maupun di kabupaten sampai ke pelosok pedesaan yang terpencil -- untuk tergugah menyumbangkan sesuatu kegiatan kesenian rakyat. Menghidupkan kembali yang telah mati maupun menggali serta menggalakkan kegiatan yang masih subur di pedesaan. Banyak komentar, saran dan kritik yang menarik dalam diskusi tanggal 10 Oktober 1977 di Gedung Purna Budaya. Apa yang mungkin bisa berkembang baiklah dibuat berkembang. B. Suharto Sal Margiyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus