IRAMA gejog atau permainan lesung dari Gunung Kidul baru saja
berhenti. Disusul dengan irama kentongan doromuluk sebagai tanda
dimulainya Pentas Kesenian Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta, di
Bangsal Kepatihan.
Pentas malam itu, 8 Oktober 1977 adalah pentas keempat sejak
dimulai nya gagasan ini pada tahun 1974 oleh Dinas P dan K DIY
--dalam rangka menggali, membina dan mengembangkan
kesenian-kesenian rakyat di daerah Yogya.
Lima kontingen yang mewakili 4 kabupaten (Sleman, Kulonprogo,
Gunung Kidul, Bantul) dan Kotamadya Yogya, menampilkan kebolehan
masing-masing. Diawali dengan tari Badui dari Sleman Krida
Langen Swara dari Yogya, Dadungawuk dari Bantul, Thethelan dari
Gunung Kidul, diakhiri dengan Oglek dari Kabupaten Kulonprogo.
Pendopo Agung
Masing-masing kontingen mendapat kesempatan tampil selama 30-45
menit. Ini berarti mereka harus menyingkat tontonan yang aslinya
berjalan 34 jam. Berbeda dengan penampilan dari Kota Yogya,
kesenian rakat dari keempat kabupaten tersebut kebanyakan masih
hidup subur.
Pentas ini diadakan di Bangsal Kepatihan, bekas tempat tinggal
Pepatih Dalem Sultan Yogyakarta yang bergelar KGPAA Danurejo.
Pendopo yang megah ini ternyata mempunyai daya farik yang besar
bagi para seniman rakyat, seperti diungkapkan salah seorang
pemimpin grup dalam diskusi. Ia menceriterakan bahwa semalam
sebelum pentas, banyak di antara anak buahnya tidak dapat tidur
-- dan berangkat dengan rasa kebanggaan dan harap-harap cemas
yang bercampur jadi satu.
Di samping itu, tempat ini mempunyai riwayat dan sejarahnya
sendiri dalam hubungannya dengan kelahiran beberapa kreasi tari
tradislonil. Pada zaman Danurejo V misalnya, tempat ini telah
melahirkan Wayang Wong Sri Suwelo dan Beksan Bugis gaya
Yogyakarta. Dan Danurejo VII di tempat ini menciptakan Langen
Manara Wanara, sebuah drama opera Jawa bertemakan Ramayana
dengan tarian dalam posisi jongkok. Ini rupanya yan mengilhami
para seniman dari Kola Yogya untuk mencoba menampilkan garapan
Krida Langen Swara, suatu bentuk pengembangan seni baca macapat
yang akhirnya tumbuh menjadi bentuk Langendriya dan Langen
Mandra Wanara.
Tetapi sebaliknya, tempat yang megah ini juga mengundang
kejanggalan. Terutama kalau diingat bahwa kebanyaKan kesenian
yang tampil malam ituAbiasa dipergelarkan di alam terbuka yang
intim.
Salah satu nomor yang menarik malam itu adalah tari Badui.
Tontonan rakyat yang ditampilkan Kabupaten Sleman ini menurut
jenisnya dapat dimasukkan ke dalam Slawatan (dari bacaan salawat
kepada Nabi). Di daerah Sleman, jenis slawatan ini kita dapati
dalam beberapa macam tarian seperti: Ndolalak, Kobrasiswa,
Badi, Angguk, Rodat, Rodat Saman, Bangunsiswa dan Emprak.
Kesemuanya mempunyai tema yang sama, yaitu memuat ajaran Islam
atau riwayat Nabi.
Banyak desa yang memiliki grup Badui ini di Kabupaten Sleman,
tetapi nampaknya tidak atau belum kita dapati di kabupaten lain
di luar Sleman. Dan Badui yang satu ini ditampilkan oleh
rombongan Desa Semampir Kelurahan Tambakrejo, Kecamatan Tempel,
Sleman.
Pada pemunculannya yang pertama, tari ini cukup menimbulkan
kejutan: langsung mengingatkan kepada tarian Benua Afrika.
Terutama pada awal masuk pentas, terasa sekali betapa kuat
gerakan hentakan kaki dan tubuh yang dihempas-hempaskan
terus-menerus dengan enersi yang penuh yitalitas, dalam suatu
disain komposisi berbanjar, melingkar, maupun bertanding
berpasangan. Ada suasana primitif yang kuat.
Tarian dibarengi suara jedor atau bedug kecil yang dipukul
bertubi-tubi menggelegar membuat pekak telinga, disertai 3 buah
rebana genjring yang bergemerincing dengan detakannya yang
menambah mantap setiap gerak dan langkah, serta tambur yang
makin menambah riuh. Masih ditambah lagi dengan syair nyanyian
oleh 5 orang yang menjeritkannya dengan nada melengking tinggi.
Semua ini terangkum dalam kesatuan penabuh dan penari yang makin
kalap karena pengolahan dinamik yang serba keras, cepat dan
tajam terus-menerus, dengan hanya beberapa kali berhenti sesaat
saja.
Pada penyajiannya yang biasa, tari ini memakan waktu 34 jam
dengan 2 kali istirahat dan satu selingan, yang biasanya berupa
pencak silat. Tetapi dalam pentas malam itu tontonan ini
dipadatkan menjadi 45 menit dengan 7 kali ambil sikap berhenti.
Pada bagian-bagian terakhir, nampaknya tarian ini telah mendapat
pengaruh dari tari-tarian lain seperti Srandul, nDolalak.
Gairah
Menurut Cipto Suwarno dan Marjuni, para pembina Badui dari
Sleman, tontonan rakyat ini konon dibawa seorang Indonesia
(Jawa) yang pernah lama tinggal di negeri Arab, entah di mana.
Sewaktu pulang, ia tinggal di Desa Mendut dekat Borobudur, dan
mulai memperkenalkan kesenian tersebut. Dari keterangan tersebut
nampak tidak ada hubungan antara istilah Badui di sini dengan
nama Badui di Jawa Barat -- meski nama Badui di Banten itu
mungkin lahir oleh asosiasi dengan masyarakat Badui Arab, yakni
suku-suku yang masih "asli", yang tinggal di udik di
pelosok-pelosok gurun.
Keterangan kedua pengasuh itu diperkuat oleh bentuk hiasan
kepala yang dipakai ke-40 penari malam itu. Yakni kuluk Turki
berkuncir semacam topi Abunawas, dilengkapi celana panjang, kain
rapek, setagen dan ikat ping6ang serta baju, tanpa rias.
Di samping menari, mereka harus menyanyi secara serempak
'dergan para penabuh genjring. Atau begantian
besahut-sahutan. Para penari ini juga membawa alat senjata
berupa kayu pemukul. Disebut gembel.
Niat yang telah mulai dirintis pelaksanaannya mi ternyata
mengundang gairah para seniman daerah - baik di Yogya maupun di
kabupaten sampai ke pelosok pedesaan yang terpencil -- untuk
tergugah menyumbangkan sesuatu kegiatan kesenian rakyat.
Menghidupkan kembali yang telah mati maupun menggali serta
menggalakkan kegiatan yang masih subur di pedesaan. Banyak
komentar, saran dan kritik yang menarik dalam diskusi tanggal 10
Oktober 1977 di Gedung Purna Budaya. Apa yang mungkin bisa
berkembang baiklah dibuat berkembang.
B. Suharto
Sal Margiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini