Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sekitar kepercayaan

Menjelang sidang umum mpr, ada pihak yg menganggap kepercayaan itu bukan paham berdiri sendiri, maka tidak perlu diresmikan dalam gbhn. di pemda dki tercatat 215 penganut aliran kepercayaan untuk tahun. 1975.

7 April 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BIAR pun tidak bayar iuran, dia gemar sekali menonton televjsi. Ada dua acara yang paling tidak pernah lolos: serial Baretta dan Mimbar Kepercayaam Yang pertama dia senang karena tokohnya seperti potongan tukang gali sumur, kekar dan gesit, serta riuh rendah seperti orang Itali. Tak henti-hentinya menyumpah-nyumpah. Yang kedua dia senang karena mengajarkan hal-hal yang belum perlulah diketahuinya sejak anak-anak. Tapi, belakangan ini kesenangannya terganggu, karena kegemaran nomor duanya sering ganti berganti judul. Mula-mula namanya Moral Pancasila. Wah, ini dia yang kucari, jeritnya. Pancasila tanpa moral sama saja dengan baju tanpa kancing. Tak lama kemudian berganti jadi Budi Pekerti. Masil bolehlah, pikirnya. Orang tanpa budi pekerti sama saja dengan mobil tanpa lampu. Baru saja dia terbiasa dengan judul bam ini. ternyata sudah ganti judul lagi, Mimbar Kepercayaan. Masa bodol, pokoknya maksud sama. Apalah arti nama, kembang mawar disebut melur pun tetap berbau mawar jua. Masuk kuping kiri keluar kuping kanan tidak ada gunanya. Apa-apa yang didengar bukan saja mesti disimak, melainkan dipraktekkan sehari-hari. Ilmu tanpa amal, kata orang, bagaikan pohon tanpa buah. Bagaimana cara praktek? Sendirian saja tidak lucu. Dia ingin bersekutu dengan orang-orang lain yang sepaham. Bersekutu dengan orang baik-baik lebih terpuji daripada bersekutu dengan para bajingan. Dan dengan bersekutu itu 'paling sedikit terjauh dari rasa bosan. Soalnya, bersekutu dengan siapa? Karena berumah tinggal di ibukota, pertama-tama dia cari tahu, ke dalam kelompok mana dia mesti bergabung. Dia terperanjat, karena jumlahnya banyak juga. Menurut daftar catatan Direktorat Khusus Pemda DKI tahun 1975, ada 215 organisasi/perorangan yang menganut aliran Kepercayaan dan Kebatinan dan Perdukunan. Disisihkannya dulu sektor Perdukunan, karena belum ada niatannya terjun sejauh itu. Yang aliran Kepercayaan atau Kebatinan sajalah. Ini saja pun sudah lebih dari meriah. Perlu waktu paling kurang sebelas hari untuk memeriksa sebelum pilihan jatuh. Kok Ada Ganjelan .... Ada Paguyuban Sumarah kitab sucinya Sesanggaman. Ada Pangestu, kitab sucinya Pusaka Sasengko Jati. Ada Kawruh Kasunyatan, kitab sucinya Kawulo Gusti. Ada Perhimpunan Murid Sejati, kitab sucinya Surat Panget. Apa itu arti maknanya, dia tidak tahu. Ada Sapta Dharma, kitab sucinya Wewarah Dharma. Ada Perhimpunan Prikemanusiaan, biarpun tak punya kitab suci apapun, namun kegiatannya "pembantu politik negara Pancasila." Yang terakhir ini lebih berkesan di hati, lebih-lebih karena alamatnya tidak begitu jauh dari rumahnya. Naik helicak juga bisa. Belum lagi mapan dia dengan anutannya ini, sudah datang lagi ganjelan yang mengganggu. Dia dengar Hamka menulis surat kepada Presiden. Isinya antara lain minta perhatian Presiden perihal Kepercayaan, supaya berhali-hati, jangan sampai Pemerintah mentolerir sekelompok kecil orang yang beralatkan pesan nenek moyang campur sedikit cerita wayang campur Serat Centini campur Darmogandul campur primbon Ronggowarsito ingin mendirikan agama baru yang namanya Kepercayaan. Paling-paling semacam ajaran Hindu yang di per-Jawa. Bisa berabe. Tambahan pula ribut-ribut menjelang Sidang Umum MPR. Soalnya ada pihak yang menganggap, Kepercayaan itu bukanlah paham yang berdiri sendiri melainkan penegas belaka dari Agama. Karena itu tidak perlu meresmikannya dalam GBHN atau di mana pun. Tidak perlu ada dirjen tersendiri, atau pernikahan tersendiri, atau kuburan tersendiri. Apalagi di Jakarta, kuburan yang ada sekarang ini saja sudah cukup bikin pusing kepala. Hidup susah mati pun susah. Apa akal? Dia mengambil keputusan, mendingan jadi "pembantu politik negara Pancasila" tanpa ikut-ikut aliran apapun kecuali pikirannya sendiri, yang konstitusionil. Pertama-tama dia ingin naik Haji dulu, paling sedikit Umroh, itupun kalau tarif Pemerintah bisa diturunkan sampai Rp 640.000. Bukannya dia tidak mau beri keuntungan kepada Pemerintah, karena dia tahu Pemerintah di manapun perlu uang, tapi asal jangan kebanyakan. Masalahnya jadi lain samasekah. Sesudah jadi Haji, dia berteguh hati masuk perkumpulan para Haji, sebagaimana rencana yang pernah dicetuskan oleh Dirjen Urusan Haji, apabila tiada arah melintang. Andaikata seluruh Haji-Haji, termasuk Haji sebelum perang dunia, masuk ke dalam perkumpulan itu, pastilah akan merupakan organisasi raksasa yang paling mutakhir, sekaligus paling ganjil. Siapa tahu, kalau nasib baik, lama kelamaan bisa tergolong organisasi karya atau profesi, semisal para dokter gigi atau adpokat. Dan siapa tahu, kalau nasib baik, lama kelamaan bisa dapat kredit KIK atau KPMKP, sehingga tanpa canggung maupun was-was dia menyongsong datangnya tahun 2000.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus