BIAR pun tidak bayar iuran, dia gemar sekali menonton televjsi.
Ada dua acara yang paling tidak pernah lolos: serial Baretta dan
Mimbar Kepercayaam Yang pertama dia senang karena tokohnya
seperti potongan tukang gali sumur, kekar dan gesit, serta riuh
rendah seperti orang Itali. Tak henti-hentinya
menyumpah-nyumpah. Yang kedua dia senang karena mengajarkan
hal-hal yang belum perlulah diketahuinya sejak anak-anak.
Tapi, belakangan ini kesenangannya terganggu, karena kegemaran
nomor duanya sering ganti berganti judul. Mula-mula namanya
Moral Pancasila. Wah, ini dia yang kucari, jeritnya. Pancasila
tanpa moral sama saja dengan baju tanpa kancing. Tak lama
kemudian berganti jadi Budi Pekerti. Masil bolehlah, pikirnya.
Orang tanpa budi pekerti sama saja dengan mobil tanpa lampu.
Baru saja dia terbiasa dengan judul bam ini. ternyata sudah
ganti judul lagi, Mimbar Kepercayaan. Masa bodol, pokoknya
maksud sama. Apalah arti nama, kembang mawar disebut melur pun
tetap berbau mawar jua.
Masuk kuping kiri keluar kuping kanan tidak ada gunanya. Apa-apa
yang didengar bukan saja mesti disimak, melainkan dipraktekkan
sehari-hari. Ilmu tanpa amal, kata orang, bagaikan pohon tanpa
buah. Bagaimana cara praktek? Sendirian saja tidak lucu. Dia
ingin bersekutu dengan orang-orang lain yang sepaham. Bersekutu
dengan orang baik-baik lebih terpuji daripada bersekutu dengan
para bajingan. Dan dengan bersekutu itu 'paling sedikit terjauh
dari rasa bosan. Soalnya, bersekutu dengan siapa?
Karena berumah tinggal di ibukota, pertama-tama dia cari tahu,
ke dalam kelompok mana dia mesti bergabung. Dia terperanjat,
karena jumlahnya banyak juga. Menurut daftar catatan Direktorat
Khusus Pemda DKI tahun 1975, ada 215 organisasi/perorangan yang
menganut aliran Kepercayaan dan Kebatinan dan Perdukunan.
Disisihkannya dulu sektor Perdukunan, karena belum ada niatannya
terjun sejauh itu. Yang aliran Kepercayaan atau Kebatinan
sajalah. Ini saja pun sudah lebih dari meriah. Perlu waktu
paling kurang sebelas hari untuk memeriksa sebelum pilihan
jatuh.
Kok Ada Ganjelan ....
Ada Paguyuban Sumarah kitab sucinya Sesanggaman. Ada Pangestu,
kitab sucinya Pusaka Sasengko Jati. Ada Kawruh Kasunyatan, kitab
sucinya Kawulo Gusti. Ada Perhimpunan Murid Sejati, kitab
sucinya Surat Panget. Apa itu arti maknanya, dia tidak tahu. Ada
Sapta Dharma, kitab sucinya Wewarah Dharma. Ada Perhimpunan
Prikemanusiaan, biarpun tak punya kitab suci apapun, namun
kegiatannya "pembantu politik negara Pancasila." Yang terakhir
ini lebih berkesan di hati, lebih-lebih karena alamatnya tidak
begitu jauh dari rumahnya. Naik helicak juga bisa.
Belum lagi mapan dia dengan anutannya ini, sudah datang lagi
ganjelan yang mengganggu. Dia dengar Hamka menulis surat kepada
Presiden. Isinya antara lain minta perhatian Presiden perihal
Kepercayaan, supaya berhali-hati, jangan sampai Pemerintah
mentolerir sekelompok kecil orang yang beralatkan pesan nenek
moyang campur sedikit cerita wayang campur Serat Centini campur
Darmogandul campur primbon Ronggowarsito ingin mendirikan agama
baru yang namanya Kepercayaan. Paling-paling semacam ajaran
Hindu yang di per-Jawa. Bisa berabe.
Tambahan pula ribut-ribut menjelang Sidang Umum MPR. Soalnya ada
pihak yang menganggap, Kepercayaan itu bukanlah paham yang
berdiri sendiri melainkan penegas belaka dari Agama. Karena itu
tidak perlu meresmikannya dalam GBHN atau di mana pun. Tidak
perlu ada dirjen tersendiri, atau pernikahan tersendiri, atau
kuburan tersendiri. Apalagi di Jakarta, kuburan yang ada
sekarang ini saja sudah cukup bikin pusing kepala. Hidup susah
mati pun susah.
Apa akal? Dia mengambil keputusan, mendingan jadi "pembantu
politik negara Pancasila" tanpa ikut-ikut aliran apapun kecuali
pikirannya sendiri, yang konstitusionil. Pertama-tama dia ingin
naik Haji dulu, paling sedikit Umroh, itupun kalau tarif
Pemerintah bisa diturunkan sampai Rp 640.000. Bukannya dia tidak
mau beri keuntungan kepada Pemerintah, karena dia tahu
Pemerintah di manapun perlu uang, tapi asal jangan kebanyakan.
Masalahnya jadi lain samasekah.
Sesudah jadi Haji, dia berteguh hati masuk perkumpulan para
Haji, sebagaimana rencana yang pernah dicetuskan oleh Dirjen
Urusan Haji, apabila tiada arah melintang. Andaikata seluruh
Haji-Haji, termasuk Haji sebelum perang dunia, masuk ke dalam
perkumpulan itu, pastilah akan merupakan organisasi raksasa yang
paling mutakhir, sekaligus paling ganjil. Siapa tahu, kalau
nasib baik, lama kelamaan bisa tergolong organisasi karya atau
profesi, semisal para dokter gigi atau adpokat. Dan siapa tahu,
kalau nasib baik, lama kelamaan bisa dapat kredit KIK atau
KPMKP, sehingga tanpa canggung maupun was-was dia menyongsong
datangnya tahun 2000.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini