Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Revisi Undang-Undang MK diusulkan oleh Supratman Andi Agtas seorang diri.
Batas usia menjadi hakim konstitusi naik menjadi 60 tahun.
Masa jabatan Ketua MK menjadi 5 tahun.
KEINGINAN Dewan Perwakilan Rakyat mengubah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi makin lempeng setelah pada Kamis, 2 April lalu, rapat paripurna mengesahkan Rancangan Undang-Undang MK sebagai usul undang-undang inisiatif DPR. Selanjutnya, Dewan tinggal menunggu surat presiden dan daftar inventarisasi masalah dari pemerintah untuk membahasnya.
Keinginan DPR merevisi Undang-Undang MK terungkap pada April lalu setelah draf perubahan undang-undang itu bocor ke publik. Sejumlah pasal menjadi perbincangan di kalangan praktisi dan aktivis hukum. Pasal yang dianggap kontroversial antara lain soal batas usia hakim. Protes aktivis makin kencang setelah Dewan sepakat membahasnya secara resmi.
Badan Musyawarah DPR menerima draf tersebut pada 21 Februari 2020. Dokumen itu berisi 14 poin pembahasan. Selain soal batas usia hakim, pasal yang berubah di antaranya menyangkut pemilihan ketua dan wakil ketua, persyaratan menjadi hakim, pemberhentian hakim, dan batas usia pensiun.
Salah satu pihak yang gencar memprotes rencana revisi tersebut adalah Koalisi Save Mahkamah Konstitusi. Kelompok ini gabungan sejumlah lembaga masyarakat sipil, seperti Indonesia Corruption Watch, Pusat Studi Konstitusi, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, serta Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada. “Rancangan ini bermasalah,” ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, pada Kamis, 15 Mei lalu.
Kurnia mengatakan salah satu pasal yang mengalami perubahan adalah ketentuan batas usia hakim, yang diatur pada Pasal 15 ayat 2. Revisi menghendaki usia hakim konstitusi dalam rentang 60-70 tahun. Batas usia minimal dalam undang-undang yang berlaku adalah 47 tahun. “Ini aneh. Integritas dan kecakapan seorang hakim tak bisa diukur dari usia,” tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mencontohkan kemampuan Jimly Asshiddiqie, yang dilantik menjadi Ketua MK pada usia 47 tahun. Juga Mahfud Md., yang menjadi Ketua MK pada umur 49 tahun. Ada lagi Hamdan Zoelva, yang juga terpilih menjadi hakim konstitusi pada usia 47 tahun. Belakangan, pada umur 51 tahun, Hamdan menjadi Ketua MK. Menurut Kurnia, ketiganya mampu menjalankan tugas sebagai hakim dengan baik. “Aturan usia bakal merugikan hakim MK lain. Saldi Isra, misalnya, yang masih berusia 51 tahun,” katanya.
Pasal yang juga disorot adalah masa jabatan ketua dan wakil ketua MK. Rancangan revisi mengubah masa jabatan dari dua setengah menjadi lima tahun. Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 4 ayat 3. Menurut Kurnia, pasal itu bakal menguntungkan pemimpin MK saat ini karena masa jabatannya menjadi lebih lama.
Menurut Kurnia, persyaratan menjadi seorang hakim konstitusi seharusnya diukur dari integritas, wawasan ketatanegaraan, dan pemahaman hukum. Parameter ini penting demi memastikan kualitas putusan. “Jangan sampai mengulang pengalaman Akil Mochtar,” ujarnya. Akil adalah Ketua MK yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena menerima suap dalam sengketa pemilihan kepala daerah.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsari, menduga ada konflik kepentingan di balik revisi tersebut. Saat ini, MK sedang menguji dua peraturan yang menjadi sorotan publik. Pertama, Undang-Undang KPK yang baru. Kedua, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dalam menghadapi wabah corona. “Kami khawatir revisi ini bagian dari tukar guling kepentingan,” katanya.
Menurut mantan hakim MK, I Dewa Gede Palguna, kecurigaan tersebut beralasan karena DPR hanya mengotak-atik batasan usia. Seharusnya, kata dia, pembahasan revisi berfokus pada penguatan kelembagaan. Misalnya dengan menambahkan wewenang MK untuk menerima pengaduan konstitusional, bukan hanya menguji norma sebuah undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dengan begitu, MK tidak hanya berperan sebagai penjaga konstitusi, tapi juga penjaga hak konstitusional warga negara. “Ini celaka, seolah-olah revisi menguntungkan hakim MK, padahal belum tentu,” ujarnya.
Palguna menilai rencana revisi Undang-Undang MK juga tidak pas waktunya. Dalam situasi pandemi Covid-19 saat ini, kata dia, agenda mengamendemen undang-undang tersebut akan dianggap sebagai “tindakan tak bermoral”. Perubahan undang-undang terjadi tanpa penilaian publik. “Bagaimana mungkin tak melibatkan partisipasi publik? Bukankah itu syarat pembahasan undang-undang?” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Supratman Andi Agtas/TEMPO/Dhemas Reviyanto Atmodjo
Pengusul revisi adalah Ketua Badan Legislasi Supratman Andi Agtas. Politikus dari Fraksi Partai Gerindra itu merupakan inisiator tunggal sekaligus arsitek di balik rencana perubahan undang-undang tersebut. “Setelah disetujui DPR, posisinya kini menunggu keputusan pemerintah,” ujar Supratman pada Jumat, 15 Mei lalu.
Supratman mengatakan rancangan revisi memang belum dimasukkan ke Program Legislasi Nasional. Meski begitu, ia beranggapan pembahasan tetap bisa dilanjutkan. “Ini adalah revisi undang-undang kumulatif terbuka yang bisa dibahas setiap saat. Tak perlu masuk Prolegnas,” tuturnya.
Sejak disahkan pada 2003, Undang-Undang MK pernah berubah pada 2011. Perubahan itu terdiri atas 31 pasal. Di antaranya menyangkut susunan majelis kehormatan, pengawasan hakim konstitusi, masa jabatan ketua dan wakil ketua, syarat pendidikan, serta pedoman perilaku hakim konstitusi. Usul merevisi sejumlah pasal juga sempat mengemuka pada 2016, tapi padam.
Supratman membantah tudingan memiliki kepentingan di balik revisi. Menurut dia, perubahan batas usia maksimal diajukan untuk menjamin rasa keadilan. Sebab, batas karier hakim di Mahkamah Agung sampai 70 tahun. Ia juga mengusulkan batas minimum usia hakim menjadi 60 tahun sebagai ukuran pengalaman dan penguasaan keilmuan. “Lagi pula itu kan baru tawaran,” katanya.
Pakar hukum tata negara Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harijati, turut menolak rencana revisi. Menurut dia, rancangan itu mengandung banyak masalah dari aspek formil maupun materiil. Dari aspek formil, kata dia, usul revisi bermasalah secara prosedur karena hanya diajukan oleh satu orang anggota Dewan. “Dari mana dasar hukumnya usul revisi yang berangkat dari inisiatif personal?” ujarnya.
Ia menilai naskah revisi Undang-Undang MK telah mengabaikan pertanggungjawaban ilmiah. Sebab, menurut dia, naskah itu belum memasukkan bab yang membahas kajian teoretis dan praktik empiris yang melatari perubahan pasal-pasal. Pembahasan ini penting untuk menakar apakah ketentuan seperti batas usia hakim bisa diterima secara ilmiah. “Berbahaya jika undang-undang tidak memiliki basis keilmuan,” katanya.
Riky Ferdianto
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo