Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Kusala Sastra Khatulistiwa akan digelar kembali pada tahun ini.
Penghargaan sastra tahunan yang berlangsung sejak 2001 ini terhenti pada 2021 karena penggagasnya, Richard Oh, meninggal.
Kusala Sastra Khatulistiwa kini digerakkan keluarga dan para sahabat Richard Oh.
KUSALA Sastra Khatulistiwa hidup kembali. Satu penghargaan sastra yang paling bergengsi se-Indonesia itu terhenti setelah penggagasnya, Richard Oh, meninggal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Richard adalah penulis, aktor, dan sutradara film. Bersama Takeshi Ichiki, dia merintis Khatulistiwa Literary Award pada 2001 sebelum berganti nama menjadi Kusala Sastra Khatulistiwa pada 2014. Sastrawan kelahiran Tebing Tinggi, Sumatera Utara, itu wafat pada Kamis, 7 April 2022, dalam usia 62 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penghargaan sastra ini pertama kali diberikan kepada Goenawan Mohamad melalui buku kumpulan puisinya, Sajak-sajak Lengkap, 1961-2001. Adapun penerima penghargaan terakhir, pada 2021, adalah Aan Mansur lewat buku puisi Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau serta Erni Aladjai lewat novel Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga.
Kepastian revitalisasi Kusala Sastra Khatulistiwa muncul lewat serangkaian diskusi keluarga dan rekan-rekan Richard di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Pratiwi Juliani, istri Richard, mengatakan pertanyaan soal keberlangsungan penghargaan sastra itu mulai muncul setahun setelah suaminya berpulang. "Beberapa kali saya dihubungi sastrawan, Dewan Kesenian, dan komunitas untuk menghidupkan Kusala kembali," ujar penulis novel Dear Jane itu kepada Tempo, Selasa, 28 Januari 2025.
Pratiwi, 33 tahun, tidak bisa langsung menjawabnya. Dia merasa tidak kuat menanggung warisan suaminya yang sejak hampir seperempat abad lalu rutin menganugerahkan apresiasi tinggi kepada sastrawan Indonesia. Pratiwi merasa perlu menemui sahabat suaminya, Eka Kurniawan, penulis novel Cantik Itu Luka. "Tak lama, sahabat lain, Hasan Aspahani, menghubungi saya, berbicara tentang Kusala," kata Pratiwi.
Diskusi di antara orang-orang sekitar Richard Oh—termasuk anak dan adiknya—itu menghasilkan kesepakatan untuk menghidupkan kembali Kusala Sastra Khatulistiwa Award lewat Yayasan Richard Oh Kusala Indonesia. Pratiwi dan Linda Oh, adik Richard, menjadi pendiri yayasan.
Ketua Yayasan Richard Oh Kusala Indonesia Pratiwi Juliany dalam konferensi pers Kusala Sastra Khatulistiwa 2025 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 20 Januari 2025. Antara/Muhammad Ramdan
Menurut Pratiwi, mereka membentuk yayasan untuk memastikan semangat Richard soal netralitas dan antikorupsi terus lestari sehingga karya semua sastrawan serta pegiat seni dan kebudayaan dapat diapresiasi setinggi-tingginya. "Dengan tujuan berkontribusi dalam peningkatan nilai sastra Indonesia," katanya. Selain Eka dan Hasan, Nezar Patria ikut menjadi penggerak kembalinya apresiasi sastra ini. Sebelum menjadi Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, mantan wartawan itu dikenal sebagai penyair.
Menghidupkan kembali Kusala Sastra Khatulistiwa membutuhkan dana besar. Mereka lalu menghubungi kembali perusahaan-perusahaan besar yang pernah menjadi sponsor. "Belum ada komitmen, tapi, rasanya, mereka mau membantu," kata Hasan, Wakil Ketua I Dewan Kesenian Jakarta. Mereka juga mengajukan pemanfaatan Dana Indonesiana, dana abadi pemerintah untuk mendukung kegiatan budaya.
Kusala Sastra Khatulistiwa 2025 akan memberikan penghargaan untuk puisi, cerita pendek, dan novel yang terbit pada 2024. Setiap karya yang terpilih akan mendapat hadiah Rp 75 juta. Buku penerima penghargaan akan dibeli oleh Kusala senilai Rp 25 juta. "Kalau ditotal, penghargaan bagi setiap penulis Rp 100 juta," kata Hasan.
Menurut dia, tak ada tema khusus dalam apresiasi tahun ini. Setiap penulis cukup mengirim buku untuk dinilai oleh sepuluh juri. Mereka dipilih dari berbagai latar belakang, seperti kritikus sastra, penyair dan penulis prosa, serta akademikus. "Sebisa mungkin kami menghindari bias tua-muda, laki-laki-perempuan," kata Hasan. Dia menolak menyebutkan nama-nama juri tersebut.
Seperti pada apresiasi sebelumnya, buku pemenang yang dibeli oleh penyelenggara akan disebar ke sekolah, komunitas, perpustakaan, dan taman bacaan. Tujuannya agar lebih banyak orang membaca karya terbaik tersebut. Dalam Kusala Sastra Khatulistiwa 2025, ada tambahan fasilitas, yaitu penyediaan panggung diskusi buku di lima perguruan tinggi.
Penulis Dorothea Rosa Herliany (kiri) bersama penulis puisi, Joko Pinurbo, menerima piagam dalam acara malam pengumuman pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa ke-15 di Jakarta, Januari 2016. Dok. Tempo/Dhemas Reviyanto Atmodjo
Linda Christanty, satu pemenang penghargaan tersebut, mengatakan Richard Oh menggagas Kusala Sastra Khatulistiwa saat belum ada apresiasi sastra yang benar-benar membanggakan di negara ini. Sebab, dia melanjutkan, dewan jurinya dianggap sangat kompeten sehingga pilihannya pantas dipercaya sebagai puncak sastra Indonesia setiap tahun. "Walaupun, faktanya, tidak setiap tahun ada karya yang benar-benar memenuhi kriteria itu," katanya kepada Tempo, Kamis, 30 Januari 2025.
Linda, 54 tahun, menerima penghargaan Kusala kategori prosa terbaik lewat kumpulan cerpen Kuda Terbang Maria Pinto pada 2004. Pada tahun itu, ada dua pemenang kategori prosa, yaitu Linda dan Seno Gumira Ajidarma melalui novel Negeri Senja. "Karena pemenang kembar, hadiah Rp 100 juta dibagi dua," ucap Linda.
Linda kembali memenangi penghargaan itu pada 2010 lewat kumpulan cerpen Rahasia Selma. Nomine saat itu adalah Putu Wijaya (Klop), Agus Noor (Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia), Dewi Ria Utari (Kekasih Marionette dan 12 Kisah Lainnya), serta Leila S. Chudori (9 dari Nadira). "Pada 2010, hadiah pemenang turun menjadi Rp 50 juta karena kekurangan sponsor," ujar Linda.
Kala itu, Linda melanjutkan, belum ada penghargaan sastra dengan nilai hadiah setinggi itu. Richard mengakomodasi keluhan para sastrawan soal kecilnya uang dalam penghargaan sastra. "Dia lalu mencari sponsor dan bekerja sama dengan berbagai pihak sehingga uang hadiah masing-masing kategori Rp 100 juta," tutur Linda.
Sebagai perbandingan, Linda menerima Southeast Asian Writers Award (S.E.A. Write Award) pada 2013 lewat kumpulan cerpen Seekor Anjing Mati di Bala Murghab. Hadiahnya sekitar Rp 26 juta plus fasilitas menginap selama satu pekan di hotel bintang lima di Bangkok, Thailand, dengan makan-minum serta cuci pakaian cuma-cuma.
Namun, tentu saja, Linda tidak melihat Kusala Sastra Khatulistiwa dari uang hadiah. Keistimewaan penghargaan sastra ini, kata dia, adalah inisiatif individu, yaitu Richard Oh, untuk menumbuhkan kegairahan mencipta. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo