Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Berbagai kebijakan Sultan Hamengku Buwono X dinilai kerap tak sejalan dengan prinsip demokrasi.
Yogyakarta membidik status warisan budaya dunia dari UNESCO.
Peneliti politik UGM, Bayu Dardias Kurniadi, menilai legitimasi Sultan akan meningkat jika berhasil mendapat pengakuan UNESCO.
Jalan Malioboro di Yogyakarta memiliki segalanya. Dari penjaja makanan dan camilan, tempat nongkrong wisatawan serta warga setempat, delman yang berseliweran, hingga deretan pedagang kaki lima yang memenuhi trotoar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, pada Januari 2022, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, meminta lebih dari 1.800 pedagang kaki lima yang berjualan di sana sejak 1976 itu pindah. Sultan menyatakan kawasan tersebut milik pemerintah dan relokasi itu telah dirancang sejak 18 tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal pedagang kaki lima di Jalan Malioboro merupakan ikon wisata Yogyakarta. Pada Maret 2022, seluruh pelapak telah direlokasi ke dua lokasi. Di pasar baru beratap asbes tersebut, mereka berjualan di tengah suhu tinggi dengan pemasukan yang lebih sedikit.
Relokasi tersebut merupakan bagian dari program pemerintah daerah yang membidik status Kota Warisan Dunia dari UNESCO—Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Diajukan pada 2017, hasil penilaiannya belum kunjung keluar.
Pengakuan dari UNESCO akan meningkatkan legitimasi Sultan di mata masyarakat. Manfaat lainnya adalah peningkatan alokasi anggaran dari pemerintah pusat untuk program pelestarian kota.
Abdi Dalem menggotong gunungan saat acara Grebeg Syawal 1444 H Keraton Yogyakarta di Masjid Gedhe, Kauman, Yogyakarta, 22 April 2023. ANTARA/Andreas Fitri Atmoko
Di negara demokrasi seperti Indonesia, semua pemimpin dipilih oleh rakyat, dari presiden hingga kepala desa. Pengecualian hanya berlaku di Yogyakarta. Gubernur adalah sultan dari trah Hamengku Buwono.
Privilese Yogyakarta kian dikukuhkan lewat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang membolehkan mereka "menjalankan urusan pemerintahan di bawah kerangka Republik Indonesia", sebagai bentuk penghormatan terhadap Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam Perang Kemerdekaan 1945-1949.
Yogyakarta merupakan satu-satunya dari 38 provinsi yang menyandang status "daerah istimewa". Mereka berhak atas otonomi khusus di bidang budaya, pertanahan, dan birokrasi. Provinsi di tengah Jawa itu juga berhak atas alokasi anggaran negara untuk pelestarian dan promosi budaya mereka.
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi kerajaan terakhir yang tetap memegang kekuasaan politik dari 278 kerajaan dan aristokrasi se-Indonesia—penghitungan didapat saat Jepang menginvasi Hindia Belanda pada 1942. Kesultanan Yogyakarta bertahan tak lepas berkat penguasaan lahan milik keraton di tengah gonjang-ganjing politik yang datang silih berganti, termasuk kebangkitan Partai Komunis Indonesia pada awal 1960-an dan rezim Orde Baru.
Sejak 2012, Kesultanan Yogyakarta juga dapat memiliki lahan secara hukum. Hukum Indonesia tidak mengakui hak kepemilikan tanah oleh institusi tradisional lain. Pada awal penerapan desentralisasi, antara 2005 dan 2015, banyak kaum darah biru memanfaatkan latar belakang keluarga mereka untuk meraih posisi politik. Sebagian berhasil menjadi kepala daerah atau anggota Dewan. Hanya, dukungan untuk mereka kebanyakan bersifat temporer dan mereka maju tanpa pemahaman ekonomi-politik demokratis.
Berbekal Undang-Undang DIY, Sultan dapat memusatkan kekuasaan politik dan kebudayaannya tanpa gangguan berarti. Namun pemusatan kekuasaan tersebut berarti menyempitnya kesempatan untuk keberlangsungan check and balances, mekanisme wajib dalam pemerintahan demokratis.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Yogyakarta mengikuti dan memprioritaskan perintah Sultan. Dampaknya, lembaga eksekutif menjadi sedemikian kuat sampai-sampai bisa mengklaim pengeluaran di bidang lain sebagai biaya kultural. Contohnya, pada September 2022, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap bekas Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti dan dua orang kepercayaannya dalam kasus suap apartemen di situs budaya.
Abdi dalem Keraton Yogyakarta mengikuti upcara adat Tumplak Wajik di Kompleks Keraton Yogyakarta, 17 April 2023. ANTARA/Andreas Fitri Atmoko
Sementara itu, Sultan juga melarang warga keturunan Cina memiliki tanah di Yogyakarta. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Meski demikian, masyarakat Yogyakarta tetap menghormati Sultan. Kesultanan merupakan bagian dari identitas mereka. Menjadi orang Jawa berarti menjunjung tradisi budaya di bawah Sri Sultan.
Sebagai tempat lahirnya budaya Jawa, Yogyakarta terus menjadi magnet bagi wisatawan. Kondisi ini menguntungkan warganya, meski kebijakan Sultan tak selalu berpihak kepada rakyatnya.
---
Artikel ini ditulis oleh Bayu Dardias Kurniadi, peneliti politik dari Universitas Gadjah Mada. Terbit pertama kali dalam bahasa Inggris di 360info dan diterjemahkan oleh Reza Maulana.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo