Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tirai disibak. Dalam ruang berdinding putih yang luas, pengunjung ARTJOG 2022 di Jogja National Museum (JNM) disambut sosok makhluk air, Tardigrada alias beruang air. Di bawah miskroskop, ukurannya cuma 0,5 milimeter. Namun, di tangan perupa Christina Ay Tjoe, ia berubah menjadi jumbo, tinggi, dan panjangnya lebih dari 2 meter. Sekilas seperti badan gajah tanpa belalai dan kupingnya yang lebar, tapi berkaki delapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Makhluk itu berdiri di pojok ruangan di atas delapan kaki. Suaranya menggerung berulang dari lubang di bawah tubuhnya. Pengunjung tak balik kanan, justru beraksi untuk berswafoto atau sekadar menyentuh permukaannya yang empuk. Karya itu memang berbahan gumpalan dacron bertabur bulu-bulu angsa dan serat kelapa yang dibalut dengan jaring-jaring.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemampuan beruang air yang bisa hidup 10-100 tahun di lingkungan yang kering itu, bahkan 10 hari di ruang hampa udara, menginspirasi Ay Tjoe. Ia mengeksplorasinya dan menjadikan instalasi Tardigrada sebagai simbol atas respons dan adaptasi sebagian orang Indonesia dalam menghadapi pandemi Covid-19. Ada pesan untuk tangguh dan bertahan yang ingin disampaikan lewat karyanya yang dipajang di ruang pertama pameran yang berlangsung pada 7 Juli-4 September 2022 itu.
“Betapapun dahsyat krisis atau bencana yang melanda manusia, selalu ada daya hidup yang dapat membuatnya bertahan, bahkan bangkit dari keterpurukan,” begitu seniman cetak grafis yang sempat menjadi desainer tekstil itu menuliskan dalam sinopsis karyanya yang berjudul Personal Dinominator.
Karya Iwan Yusuf. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Tema pandemi juga tersirat dari karya instalasi Iwan Yusuf yang diberi judul Rumah dalam Rumah Farida. Iwan membuat wujud rumah berbentuk kotak 3 x 3 x 6 meter dari jaring hitam. Tak hanya dinding, atap, daun pintu, dan jendela yang berlapis jaring hitam. Meja-kursi hingga hiasan dinding pun berjaring hitam. Sepintas, dinding ruang pamer yang putih membuat instalasi di dalamnya itu serupa karya sketsa.
Iwan menempatkan siluet perempuan berambut pendek dan berkaus putih di dalamnya. Ia menatap ke arah pintu yang terbuka dan seolah-olah tengah menunggu. “Ia menghabiskan waktunya untuk menunggu dan menunggu sanak saudara yang pulang, lalu merelakan pergi,” tutur Iwan.
Karya itu terinspirasi oleh masa isolasi mandiri akibat pandemi. Aktivitas di luar rumah terhenti. Orang-orang menghabiskan waktu hanya di dalam sekotak rumah. Pengalaman itu mengingatkan Iwan tentang sosok sepupunya yang menghabiskan waktu 51 tahun di dalam rumah. Hanya tujuh kali ia keluar rumah, selebihnya hanya menunggu saudara yang datang. “Mungkin rumah baginya adalah tempat untuk merawat memori, menghangatkan energi persaudaraan, juga sumber ketenangan dan pembebasan.”
Namun, menurut kurator pameran, Bambang Witjaksono, tema-tema pandemi tak lagi dominan dalam perhelatan ARTJOG pada tahun ini. Seniman lebih mengeksplorasi ide karya untuk bisa menemukan titik temu dalam tema besar “Arts in Common-Expanding Awareness”. “Banyak yang mempertanyakan tema ini. Perluasan kesadaran kan luas banget,” kata Bambang saat dihubungi Tempo, 20 Juli 2022.
Tak mengherankan, ratusan calon peserta yang mendaftar dan gagal adalah yang karya-karyanya tak sejalan dengan tema yang diangkat. Ada 800-an pendaftar untuk kategori seniman muda di bawah usia 35 tahun dan 100-an pendaftar usia taman kanak-kanak hingga SMA. Total yang berpameran ada 61 seniman dan komunitas. “Tema itu inklusif. Kami beri wadah (perupa) yang selama ini tak dianggap,” kata Bambang.
Ini pertama kali ARTJOG menggandeng perupa-perupa difabel, lanjut usia, dan anak-anak untuk tampil. Mereka mengangkat ide-ide tentang kesadaran terhadap alam, spiritualitas. Perupa difabel yang mereka ajak berasal dari komunitas Jogjakarta Disability Arts (JDA) dan Ba(WA)yang dengan beragam disabilitas.
Karya Nadindra Danish Permata Unguku. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Sementara itu, salah satu anak yang berpameran adalah Nadindra Danish Permata Unguku. Bocah berusia 14 tahun itu menampilkan karya fotografi dalam enam panel. Dia menjadikan kaki-kaki kuda penarik andong sebagai obyeknya. Kaki-kaki kuda itu dipotret saat ia berangkat sekolah dengan berlatar mobil pribadi dan angkutan umum yang ada di sepanjang Malioboro.
Ada keprihatinan yang disampaikan atas nasib hewan tangguh yang menghabiskan waktu mengangkut orang dan barang di perkotaan itu. “Seharusnya mereka tinggal di hutan, sabana, atau rumput yang luas. Bukan menginjak aspal,” kata Nadindra.
Lain lagi dengan Darka Astatanu Hasmanto yang akan beranjak 6 tahun. Bocah penyuka permainan lego itu merespons huruf-huruf bermagnet yang biasa ditempel di kulkas. Karya itu terinspirasi oleh hasil mengutak-atik perangkat untuk belajar membaca, Magnetic Moveable Alphabet. Dia merangkainya menjadi aneka bentuk yang pernah dilihat dalam film, YouTube, dan aktivitasnya sehari-hari.
Bocah-bocah perupa yang karyanya dipilih dalam ARTJOG, menurut Bambang, tak sekadarnya. Harus ada hal-hal yang baru. Seperti Darka, kata Bambang, cukup mengejutkan karena memperlakukan huruf menjadi elemen untuk membuat gambar. “Jadi, maaf, bukan sekadar lukisan-lukisan sanggar yang gitu-gitu terus,” tutur Bambang.
Karya Nunung WS. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Sementara itu, perupa paling sepuh di ARTJOG 2022, Nunung W.S., 74 tahun, menampilkan lukisan akrilik berukuran 235 x 330 sentimeter. Ia membuat citraan garis kaligrafi vertikal dan horizontal dengan warna gelap dan kalem. Ia memilih warna hitam, merah tua, hijau tua, cokelat, juga putih dari warna kanvas itu sendiri. “Garis-garis itu merupakan hubungan antar-manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan,” demikian makna perenungan Nunung atas karyanya.
Karya perempuan yang mulai melukis sejak 1967 itu kian melekatkan konsistensinya sebagai perupa seni geomateris abstrak yang punya nama di tingkat Asia. Tak main-main, kekhasan itu sudah berlangsung 60 tahun lebih. Dia pernah mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta dalam pameran besar seni lukis Indonesia (1978), Ford Foundation's Indonesia Women Artist's Program di USA (1992), dan dari Menteri Negara Urusan Peranan Wanita RI karya terbaik "Krida Wanadya" (1994).
PITO AGUSTIN RUDIANA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo