Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
ARTSUBS 2024 adalah pameran dan bursa seni terbesar pertama di Surabaya
Pameran ini tiga kali lebih besar daripada ArtJog.
ARTSUBS 2024 menampilkan 200 karya dari 154 seniman.
DARI kejauhan, lima pilar merah bersusun tiga terlihat menjulang setinggi atap gedung Kantor Pos Surabaya di Jawa Timur. Disangga tiang-tiang besi, karya arsitek Rahmat "Kibo" Indrani itu akan menyambut pengunjung di halaman utama Pos Bloc Surabaya. Patung sosok laki-laki dan seolah-olah bayangannya berlomba mengejar waktu tengah mengayuh sepeda, juga menyongsong pengunjung yang datang. Itulah karya tembaga-kuningan berjudul Rush Hour II karya Nyoman Nuarta, pematung kondang negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya-karya mereka seakan-akan mengucapkan selamat datang kepada masyarakat Surabaya dalam pergelaran ARTSUBS 2024 di Pos Bloc. Acara pameran dan bursa seni terbesar pertama di Kota Pahlawan ini memanjakan mata masyarakat dan pencinta seni. Berlangsung pada 26 Oktober hingga 24 November 2024, masyarakat bisa menjelajah lokasi pameran yang luas, yang terbagi di tiga zona. Di sanalah 200 karya dengan berbagai material dan genre dari 154 seniman terpajang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nirwan Dewanto, kurator pameran, mengatakan ARTSUBS 2024 adalah yang terbesar. Bahkan event ini, menurut dia, mengalahkan ArtJog, kegiatan pameran seni serupa ARTSUBS yang ada di Yogyakarta. “Sama-sama artist fair, tapi yang ini skalanya tiga kali lebih besar dibanding ArtJog,” ujarnya pada Sabtu, 26 Oktober 2024. Nirwan menuturkan sejauh ini belum ada event pameran seni rupa seakbar itu di Kota Pahlawan.
Adalah Rambat yang “nekat” mengadakan kegiatan tersebut di kota yang ekosistem penikmat seninya tak semapan Yogyakarta, Jakarta, dan Bali ini. Pemilik Jagad Gallery di Seminyak, Bali, dan Jakarta itu menggandeng Nirwan sebagai kurator dan Asmujo J. Irianto sebagai art director.
Pemilihan tempat di Pos Bloc pun melalui perhitungan matang. Rambat bahkan tak segan merogoh koceknya lebih dulu untuk biaya memermak gedung tua bekas Kantor Pos Besar Surabaya seluas 3.900 meter persegi itu agar layak digunakan sebagai tempat pameran. “Ada beberapa alternatif yang bisa dipakai sebagai tempat pameran sebenarnya. Tapi, setelah saya survei, yang paling representatif untuk menyelenggarakan pameran berskala besar hanyalah Pos Bloc. Secara fisik, heritage ini juga menarik bagi kami,” kata Rambat.
Bangunan cagar budaya itu juga pernah dipakai untuk Hoogere Burgerschool Surabaya atau setingkat sekolah menengah pertama, tempat Bung Karno pernah bersekolah. Jauh sebelumnya, menurut buku Oud Soerabaia karya G.H. Von Faber, pada 1840-an tempat tersebut juga pernah digunakan sebagai pendapa Kadipaten Surabaya.
Karya Nyoman Nuarta berjudul Rush Hour II pada pameran ARTSUBS 2024 di Pos Bloc Surabaya, Jawa Timur, 26 Oktober 2024. TEMPO/Kukuh S Wibowo
Asmujo mengatakan awalnya dia dan Nirwan dihubungi Rambat agar bersedia membantu penyelenggaraan ARTSUBS di Surabaya. Asmujo memberi saran kepada Rambat, kalau mau membuat pameran seni di Surabaya, skalanya harus besar sekalian. “Supaya mendapat perhatian dari medan seni rupa kontemporer Indonesia. Kalau enggak besar ya enggak diperhatiin,” ujar Asmujo.
Setelah Rambat setuju dengan gagasan Asmujo, konsep pameran pun disusun. Platform pameran tersebut disepakati menyerupai ArtJog, yakni campuran antara artist fair dan biennale. Konsep itu dirasa lebih relevan karena memungkinkan ada wacana dan transaksi penjualan di dalamnya. Asmujo menyisihkan konsep galleries fair yang juga pernah dibahas dalam pertemuan itu.
Menurut Asmujo, ARTSUBS mesti dibuat besar karena publik Surabaya kurang terbiasa dengan pameran seni rupa seperti halnya di Yogyakarta dan Jakarta. Dengan perhelatan besar, ia berharap ARTSUBS mampu mencuri perhatian publik pencinta seni. Selain itu, kata dia, konsep campuran artist fair dan biennale ini dapat memetakan keragaman praktik seni rupa kontemporer. Sebab, menurut dia, seni rupa kontemporer dikenali dari ciri-ciri mediumnya yang plural.
“Sehingga kami dapat memetakan mana yang karya otonom atau individual murni dan mana yang kolaborasi, partisipatori, interaktif, new media, video art, dan lain-lain,” tutur Asmujo.
Meski demikian, tidak ada tema khusus yang diangkat. “Ways of Dreaming” sendiri, menurut Asmujo, merupakan tema generik. Bagi Asmujo, seni rupa pada dasarnya adalah mimpi para seniman. Ada seniman yang bermimpi jauh, bermimpi buruk, dan bermimpi utopia. “Tajuk itu dimaksudkan untuk menggambarkan satu aspek ironi bahwa bangsa Indonesia ini kekurangan imajinasi karena tidak didorong untuk mencintai kebudayaan dan keseniannya sendiri.”
Dia menuturkan salah satu tujuan ARTSUBS 2024 adalah memetakan praktik seni rupa kontemporer. Karena itu, semua aspek keragaman seni harus terwakili di dalamnya, meski secara keseluruhan jumlah karya yang ditampilkan ratusan. Namun, ujar Asmujo, proporsi karya seni yang ditampilkan tetap disesuaikan dengan praktiknya. Dengan begitu, seni lukis yang paling banyak dipamerkan. “Video new media ada, tapi tidak banyak. Patung serta material-material lain, seperti keramik dan tekstil, juga ada. Tapi jumlahnya juga tidak banyak."
Asmujo menambahkan, agenda ini juga untuk mengakomodasi banyak kepentingan, seperti publik penikmat seni, kolektor baru, dan kolektor besar. Panitia juga menyediakan art terminal untuk transaksi jual-beli karya seni yang bisa dibawa pulang. Harga karya berkisar Rp 5 juta hingga miliaran rupiah. Dengan demikian, bisa diketahui besaran transaksi dari bursa seni kali ini serta upaya peningkatan ekosistem seni di Surabaya.
Pengamat seni Irawan Hadikusumo mengapresiasi pameran ini. Sebagai warga Surabaya, ia sering bermimpi kotanya tak hanya menjadi kota dagang terbesar kedua di Indonesia. Dengan adanya perhelatan ini, kata dia, sebagian mimpinya terwujud. “Pameran seni kontemporer seperti ini sangat dibutuhkan.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Dian Yuliastuti dari Jakarta berkontribusi dalam penulisan artikel ini.