Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di atas panggung, ironi telah menjadi keniscayaan. Empat manusia seperti zombie. Mereka berjalan hilir-mudik di atas batas kotak putih seluas sembilan langkah. Suara serak Eric Clapton terdengar sayup. Somewhere over the rainbow, skies are blue, and the dreams that you dare to dreams, really do come true. Seharusnya ada harapan di sana. Namun lirik itu seolah mengejek kebekuan mereka.
Selama 20 menit, kepada penonton dihadirkan kepekatan adegan berjalan yang dilakukan Hijiri Yaegashi, Ayumi Imai, Ikumi Ohashi, dan Akihiro Nakajima. Akankah perjalanan mereka berakhir? Pertanyaan itu terus melekat di benak penonton hingga lagu Somewhere Over the Rainbow milik Judy Garland di film Wizard of Oz itu lenyap. Mereka terus berjalan di atas empat jalur dalam garis bujur sangkar di tengah panggung.
Inilah ketidakpastian, suatu situasi yang menantang penonton untuk mengikuti perjalanan tak berujung dalam pementasan Aruku. Di Graha Bhakti Budaya, kelompok teater DA.M dari Jepang mendedahkan gagasan tentang nilai filosofi Aruku (berjalan) di acara Art Summit IV, dua pekan silam.
Disutradarai Hiroshi Ohashi, pertunjukan berdurasi satu setengah jam ini mayoritas diisi gerak. Dialog dalam bahasa Jepang lebih banyak berisi racauan seorang perempuan di bagian tengah pertunjukan. Duduk di atas kursi, ia mengoceh banyak hal. Sebagian menceritakan situasi saat ia memutuskan berhenti makan tomat, merujuk pada lakon When we stop eating tomatoes, yang mereka mainkan di Festival Asia Meets Asia di Jepang (2001) dan Laokoon Summer Festival di Hamburg, Jerman (2002).
Sisa dialog lainnya lebih berupa ajakan berinteraksi dengan penonton. Mereka maju di ujung panggung meneriakkan nama mereka dan tahun 1999, 1998, dan 1997 dalam bahasa Inggris. Lantas satu-satunya pemain pria keluar panggung dan berlari di antara panggung. "Apa kabar?" tanya Akihiro Nakajima sambil berjalan di antara penonton.
Yah, itulah perjalanan yang mereka lakukan. Plot dibagi dalam babak-babak yang mudah dikenali perpindahannya. Diawali dengan perjalanan monoton maju dan berbalik, perjalanan mereka mulai mengalami variasi saat lagu Bamboleo dari Gypsy King mengalun. Lampu neon di atas panggung menyala gagap. Nakajima menari dengan langkah tersendat, kedua tangan dan kepalanya tengadah. Gerakannya tak seirama musik.
Tarian Nakajima mengawali khaos. "Dunia kotak" mereka mulai terintervensi. Di luar kotak, melintas seorang lelaki berjas hitam, dan seorang gadis belasan tahun. Muncul pula video tentang wajah-wajah manusia di layar. Suara percakapan berdengung dari pengeras suara. Lantas dari pinggir panggung, puluhan jeruk terlempar ke dalam panggung. Mereka memungutnya, mengu-nyah dengan lahap. Ada situasi menjijikkan tercipta saat bibir mereka berlumuran cairan jeruk.
Puncak kekacauan memunculkan interaksi fisik. Mereka bergulingan di lantai, berteriak, saling menyeret tubuh temannya. Kengerian bertambah saat Nakajima muncul dengan dada dan tangan berlumuran darah. Histeris menyelimuti panggung. Lampu neon yang berserakan di belakang panggung menyala bergantian. Terlihat pucat dan gamang, seolah bersetubuh dengan kegelisahan para pemain.
Aruku adalah sebuah anti-estetik yang diciptakan Ohashi dengan semangat eksperimental yang kuat. Ia tak peduli karyanya terlihat banal atau mentah. Baginya, bentuk inilah yang mampu menyuarakan lingkaran situasi kekerasan, ketakutan, kegelisahan, dan hasrat dalam hidup manusia.
Naluri menjadi elemen penting untuk mengekspresikan situasi kompleks ini. Caranya dengan membebaskan para aktor untuk memunculkan pengalaman personal, baik dari masa lalu maupun hasil interaksi dengan pemain lainnya di atas panggung. Bagi penggagas awal festival teater internasional Asia Meets Asia di Tokyo ini, reaksi apa pun yang muncul di atas panggung merupakan akting. "Karena toh mereka bisa melakukannya sebagai hasil dari plot atau struktur yang saya ciptakan," ujar Hiroshi Ohashi.
Hingga bagian akhir, Aruku mengusik penonton dan menarik mereka dari kemapanan. Termasuk soal pengulangan bagian awal di bagian akhir yang berisiko membosankan penonton. Namun Ohashi sengaja menempatkannya sebagai bagian dari konsep tentang sebuah siklus. Dengan cara ini ia menutup karyanya dengan manis, yakni menancapkan teror di benak penonton tentang pahitnya sebuah perjalanan.
F. Dewi Ria Utari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo