Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Awalnya dari Washi

23 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setiawan Sabana seolah tak bisa terpisahkan dengan kertas. Ketertarikan seniman grafis kelahiran Bandung, 10 Mei 1951, ini terhadap kertas mulai bertunas pada 1970-an. Saat itu Wawan, panggilan akrabnya, diundang sebagai artist in residence di Victorian College of the Arts, Melbourne, Australia, sekitar empat bulan. Suatu hari, ia mengikuti workshop pembuatan kertas yang digelar kampus tersebut.

Perkenalan pertama Setiawan dengan proses olah kertas itu ternyata begitu membekas. Dan itu berlanjut ketika ia mengunjungi Jepang beberapa tahun kemudian. Di Negeri Sakura, ia melihat berbagai jenis kertas tradisional Jepang, washi. Lewat kertas khas Jepang itu, Setiawan diperkenalkan dengan fungsi, keunikan, dan keindahan kertas--mulai dekorasi, seni, hingga spiritual. Dalam budaya Jepang, kertas dapat menjadi medium manusia dengan para leluhur. Kertas merupakan medium profan dan sakral sekaligus.

Setiawan kian akrab dengan kertas saat menempuh program master di Northern Illinois, Amerika Serikat, pada 1981-1982. Semasa kuliah, ia mengikuti workshop cukil kayu gaya Jepang dan pembuatan kertas oleh seorang seniman grafis Jepang, Yoshisuke Funasaka. Sejak itu, ketertarikannya pada kertas sebagai medium seni kian mendalam.

Sepulang ke Indonesia, dosen seni grafis Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung ini mulai memperkenalkan seni kertas di almamaternya. Beberapa tahun kemudian, seni kertas menjadi mata kuliah pilihan di Seni Rupa ITB. “Ternyata peminatnya banyak karena saat itu seni kertas belum populer,” ujarnya saat ditemui Tempo di kediamannya, Jalan Rebana 10, Bandung, Jumat dua pekan lalu.

Selain itu, Setiawan ikut mendorong kegiatan pembuatan kertas daur ulang. Kertas daur ulang olahannya juga dijual di sebuah toko buku sebagai bahan kerajinan. Lalu, pada 1994, Setiawan menggelar pameran tunggal khusus kertas bertajuk Menyapa Alam, Merambah Kertas di Galeri Hidayat, Bandung. Kertas menjadi medium utama semua karya yang dipamerkan waktu itu. Boleh dibilang, pameran ini menjadi tonggak sekaligus titik tolak langkah Setiawan menyuguhkan karya-karya dengan medium kertas, terutama kertas daur ulang.

Sejak itu, seni kertas kian dikenal dan diapresiasi. Selain terus berkarya dengan medium kertas, Setiawan sendiri kian giat dalam proses pengolahan kertas daur ulang. Limbah kertas ia campur dengan batang pohon pisang (gedebok) dan merang. Kini sudah lebih dari 100 jenis olahan kertasnya.

Pameran tunggalnya berjudul Jagat Kertas: Menelusuri Jejak Diri yang digelar di Bentara Budaya Jakarta pada 10-21 Mei lalu merupakan retrospeksi Setiawan selama memunculkan karya-karya olahan kertas daur ulangnya sejak 1994. “Melacak perjalanan diri dari metafor kertas,” ujar penerima penghargaan Satyalancana Karya Satya XX dari Presiden RI dan Ganesa Wira Adi Utama dari Institut Teknologi Bandung ini.

Jagat memakai filosofi Sunda, yang mengenal semesta kecil, besar, dan roh. Berbeda dengan pemikiran pameran karya sebelumnya, kali ini Setiawan melihat masalah kertas dari dalam dirinya sendiri. Inilah masa tergesernya kertas dari muka bumi setelah hadirnya era digital dan isu lingkungan tentang hutan. Kertas akan menjadi peradaban setelah zaman batu dan perunggu.

Kegalauan Setiawan soal hilangnya kertas, peradaban, dan fungsinya dalam kehidupan sehari-hari dirasakan sejak krisis moneter 1998. Saat itu, ia yang sedang menjadi seniman grafis mendapati harga kertas impor melambung. “Apakah seni grafis akan mati?” katanya membatin.

Kini, selain sebagai guru besar seni rupa ITB, Setiawan aktif mengelola Garasi 10, tempat menyimpan kendaraan di rumahnya yang disulap menjadi tempat kegiatan kesenian: mulai diskusi budaya, pameran seni rupa, bedah buku, hingga presentasi budayawan.

Anwar Siswadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus