Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kertas-kertas tipis mirip tisu berwarna putih dan tampak agak kusut itu berjuntaian dari langit-langit. Panjangnya tak seragam. Beberapa di antaranya hampir menyentuh lantai. Dari kejauhan, kertas-kertas yang tersampir di palang-palang kayu itu menyerupai sosok-sosok putih yang melayang-layang di udara.
Itulah salah satu instalasi karya Setiawan Sabana, 60 tahun, yang ditampilkan dalam pameran tunggalnya bertajuk Jagat Kertas di Bentara Budaya Jakarta, sepanjang 10-21 Mei lalu. Setiawan memberikan judul untuk karya terbarunya itu Ruh (Peradaban) Kertas.
Jagat Kertas dimaknai Setiawan secara kosmologis sebagai jagat kecil (mikrokosmos), jagat besar (makrokosmos), dan jagat gaib (metakosmos). Pemaknaan itu diambil dari dimensi alam dalam filosofi Sunda, yang mengenal semesta kecil, besar, dan roh. “Karya Ruh (Peradaban) Kertas merupakan metafora dari jagat gaib (metakosmos),” katanya.
Adapun metafora jagat besar tecermin dalam karya bertajuk Jagat Kertas: Pemandangan Langit. Dalam karya ini, di tengah sehelai kertas berukuran 70 x 90 sentimeter dengan kerutannya sebagai metafor ruang angkasa (makrokosmos), terdapat bola hitam sebagai simbol benda langit.
Lalu karya yang menjadi metafor jagat kecil (mikrokosmos) berjudul Tubuh-tubuh Kertas. Setiawan menampilkan cetakan-cetakan tubuh manusia. Tak hanya tubuh yang utuh, dari kepala sampai kaki, tapi juga potongan-potongan tubuh manusia, seperti kaki, tangan, dan kepala. Tumpukan cetakan potongan tubuh dari kertas itu berserakan di lantai. “Setiap manusia akan mati. Dan kematian merupakan jagat kecil,” ujarnya menjelaskan.
Jagat Kertas boleh dibilang merupakan refleksi perjalanan Setiawan sebagai manusia dan seniman kertas. Sebelumnya, seniman kelahiran Bandung, 10 Mei 1951, ini pernah mengusung tema kertas dalam dua pameran tunggalnya yang monumental, Monumen Kertas (1997) dan Legenda Kertas (2005).
Tapi, menurut Setiawan, dimensi kedua pameran sebelumnya berada pada tataran nilai kemanusiaan dan kebudayaan. Sedangkan dimensi Jagat Kertas mengusung medium kertas pada tataran transendensi. “Saya ingin mengembangkan lebih lanjut karya-karya bermedium dan bertema kertas menuju dimensinya yang lebih mendalam,” kata guru besar seni rupa Institut Teknologi Bandung yang sudah mengeksplorasi kertas sejak 1970-an itu.
Dalam pameran ini, Setiawan juga mencoba menangkap mulai tergusurnya kertas dari muka bumi setelah hadirnya era digital dan isu lingkungan tentang hutan. Kertas akan menjadi peradaban berikutnya setelah zaman batu dan perunggu. Dalam karya berjudul Kisah (Peradaban) Kertas 1, Setiawan menampilkan obyek buku tebal dengan tiga lubang seukuran yang berjejer vertikal. Bagi Setiawan, buku pernah mengantar pembacanya melihat dimensi lain di belakang sana. Tapi buku juga pernah diberangus yang dilambangkan dengan lilitan kawat pada Kisah (Peradaban) Kertas 2.
Sedangkan dalam karya bertajuk Artefak Kertas, berupa kubus berukuran 29 x 29 sentimeter dari olahan bubur kertas, Setiawan ingin memaknainya bahwa kertas mengandung potensi kefanaan. Suatu saat nanti akan hilang, sebagai sebuah artefak, dan tinggal menjadi legenda. Di tangan Setiawan Sabana, kertas memberi kita imaji-imaji sesuatu yang kudus, abadi, dan nisbi.
Nunuy Nurhayati, Anwar Siswadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo