Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ayah Membawa Tubuh Nenek ke Kaki Gunung Fuji
Kak Ian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhirnya, tepat di musim semi tiba, kami sekeluarga memutuskan untuk pindah ke Saiko Iyashino Sato Nenba. Desa yang berada di dekat Danau Saiko dan di kaki Gunung Fuji. Bukan itu saja, di sana ternyata juga tinggal seorang perempuan tua renta. Dia adalah ibu ayahku sekaligus nenekku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebenarnya aku tidak keberatan bila harus pindah kembali ke rumah nenek. Apalagi sejak ibuku tiada karena melahirkan aku. Ayah sudah menitipkan aku untuk diurus, dijaga dan dirawat, serta diasuh oleh nenek saat diriku masih merah.
Ayah meninggalkan aku saat itu lantaran dia ingin merantau dan mengadu nasib ke Tokyo untuk bekerja. Sampai ayah pun menikah lagi dengan perempuan yang katanya rekan kerjanya. Kemudian mereka berhenti bekerja dan memutuskan membuka usaha bersama. Mulailah mereka merekrut orang-orang yang mau diajak bekerja sebagai pengemudi ojek online, di mana mereka sebagai pemilik usaha jasa itu.
Usai itu baru kemudian ayah memboyongku untuk tinggal bersamanya. Walaupun sebenarnya aku menolak untuk tinggal bersama mereka. Apalagi nenek tidak diikutsertakan. Aku sangat sedih sekali ketika tahu harus meninggalkan dirinya seorang diri.
Karena nenek tidak mau melihat aku bersedih, dia pun mencari cara menghiburku sekaligus merelakan aku ikut ayah. Walaupun aku tahu saat melihat mata tuanya menggambarkan penolakan agar aku jangan ikut! Tapi wanita tua itu pandai sekali menutupi kesedihannya. Aku tahu benar itu.
Aku masih ingat kejadian itu persis terjadi di mana salju turun begitu derasnya di luar rumah dan bunga plum 1) sedang tumbuh bermekaran dengan kelopak indahnya. Saat itu aku sedang makan chazuke 2) sebelum tidur dan nenek tidak ikut makan bersamaku. Katanya sudah kenyang.
Tapi, saat aku terbangun ingin buang air kecil, kulihat nenek sedang sembunyi memakan sisa-sisa nasi yang berada di panci kecil. Mungkinkah itu sisa-sisa dari sajian chazuke yang dia siapkan untuk aku makan malam?
Aku melihatnya melalui celah pintu sorong. Itu pun aku tidak sengaja saat ingin menggelar futon 3) terdengar suara berisik dari ruang dapur. Kebetulan ruang dapur dan di mana tempat aku beristirahat tidak jauh, hanya beberapa meter. Itu pun tanpa sekat atau pembatas ruang. Di sana kulihat nenek begitu lahap menghabiskan sisa-sisa dari sajian chazuke yang dia siapkan untuk aku malam itu.
Saat itu aku sadar dan tahu bahwa nenek begitu amat menyayangiku sebagai cucu satu-satunya yang dimilikinya. Dia rela kelaparan demi cucunya.
“Kalau kamu di sini terus, apa mau berteman dengan ayam dan bebek. Jika ikut ayahmu di sana kamu akan enak. Tinggal di tempat mewah dan bisa bersekolah juga. Katanya kamu mau bercita-cita menjadi komikus?” nenek menghiburku. “Jangan khawatirkan nenek! Di sini kan masih ada Hito, teman main kamu yang sering datang ke rumah. Nanti, jika kangen, nenek akan minta tolong ke dia untuk menulis surat,” ujarnya.
Oya, Hito adalah teman mainku walaupun aku dengannya bertempat tinggal sangat jauh. Dia tinggal di balik punggung Gunung Fuji. Aku mengenal dia tanpa sengaja saat dia melewati rumah nenek. Aku saat itu sedang memasukkan ayam dan bebek di saat sore hari tiba. Secara kebetulan aku pun melihat dia. Karena aku tidak punya teman, akhirnya kuajak dia ke rumah sambil mencicipi mochi 4) buatan nenek. Ternyata dia juga sebatang kara, hanya dirawat oleh kakeknya. Dari situlah akhirnya aku dan dia menjadi teman bermain sekaligus teman berbagi nasib yang sama-sama tanpa mendapatkan kasih sayang kedua orang tua.
“Shota pergi ya, Nek! Nenek jaga diri dan hati-hati di sini. Nanti Shota akan kemari bila musim libur sekolah tiba,” lirihku. “Oya, sampaikan salam aku juga buat Hito ya, Nek! Bilang Shota minta maaf tidak memberitahukannya. Nanti juga akan kembali menemuinya,” kataku agar nenek memberitahukan kepergianku yang mendadak saat itu kepada Hito.
Usai itu aku menuju ke mobil ayah untuk mengantarkan diriku ke Tokyo. Di situlah air mataku tidak terbendung lagi saat tangan keriput nenek melambaikan tangan melepaskan kepergianku. Aku yang sudah berada di dalam mobil pun terus-menerus menyeka air mata.
***
Siapa yang menyangka maupun menduga bila takdir seseorang itu kalau bukan dari kehendak Tuhan pula yang ikut campur di dalamnya. Mana mungkin dapat dan bisa memilih. Begitupun dengan takdir kami. Akhirnya takdir membawa kami ke desa ini, di kampung halaman nenekku kembali.
Ya, itu semua karena usaha ayah dan ibu sambungku kalah saing. Mereka bangkrut. Apalagi para rivalnya banyak memberikan potongan bahkan bonus besar-besaran ke para pelanggannya untuk mencari pelanggan baru ataupun pelanggan tetap yang sama-sama membuka usaha jasa ojek online. Padahal mereka sudah melakukan hal itu lebih dulu.
Sayangnya, faktor keberuntungan tidak berpihak kepada ayah dan ibu sambungku itu. Hingga mereka sampai-sampai tidak bisa membayar gaji para pengemudi ojek online sebagai pekerja mereka. Bukan itu saja, para pengemudi ojek online pun sama. Mereka juga mengeluhkan sepinya orderan. Jalan satu-satunya, mereka pun harus menutupi semua itu dengan menjual rumah serta aset yang layak dijual untuk membayar gaji para pekerjanya serta utang-utang lainnya.
Atas kejadian itu, mereka pun saling mengadu alibi. “Itu salah ibu sambungmu!” begitu kata ayah. Namun sebaliknya ibu sambungku malah menuduh ayah. “Ayahmu yang terlalu nafsu membuka usaha jasa transportasi itu!”
Padahal mereka berdualah yang salah. Karena tergiur oleh bisnis usaha semacam itu. Terlebih mereka buta persoalan bisnis macam itu. Maka mereka pun gulung tikar.
Akhirnya, dampak dari itu semua, aku pun kena imbasnya. Aku harus rela pindah sekolah dari kota ke desa. Kata ayah dilanjutkannya nanti saja di kampung halaman nenek. Padahal yang aku tahu jarak sekolah dari rumah nenekku itu cukuplah jauh. Terlebih dulu harus menuruni bukit, setelah itu baru dilanjutkan berjalan dengan bertelanjang kaki berapa kilo baru kemudian menemukan jalan raya. Setelahnya, baru naik bus umum yang searah dengan sekolah. Pokoknya sangatlah jauh.
Maka dari itu, saat aku dulu bersama nenek sejak bayi hingga berumur tujuh tahun, dia tidak mampu menyekolahkanku. Selain faktor jauh, juga tidak ada biaya untuk membayar sekolah. Jadi, saat ayah memboyongku ke kota untuk bersekolah, itulah kesempatanku. Aku langsung mengiyakan saja. Nenek pun begitu. Dia malah memaksa aku untuk menuruti apa kata ayahku saat datang ke rumah.
***
Setiba di Saiko Iyashino Sato Nenba, lebih tepatnya di rumah nenek, dia menyambut kedatangan kami dengan suka cita. Aku pun begitu. Kulari sekencang mungkin menghampiri nenek yang kini jalannya sudah tidak lagi selincah dulu saat dia masih mengurus, menjaga, merawat serta mengasuhku. Sedangkan ayah dan ibu sambungku di belakangku. Mereka memperlambat jalannya. Atau, mungkin mereka malu harus tinggal di desa?
Tidak lama kemudian, mereka bertemu dengan nenek. Setelah itu ayah mengutarakan maksud dan tujuannya ke kediaman ibunya itu. Walau aku tahu ayah sangat canggung dan kikuk saat ingin mengutarakan sebenarnya apa yang terjadi. Tampak kulihat dari rupa wajah ayah yang tidak mau bertatap mata langsung dengan ibunya sendiri. Ayah merasa malu.
“Tidak usah kamu dan istrimu malu untuk tinggal di sini! Apalagi kalian itu anak, mantu, dan cucuku. Jadi, untuk apa kalian sungkan berkata sebenarnya kalau kalian akan pindah ke rumah ini? Apalagi kamu, Kimura, sebagai anak lakiku satu-satunya, kenapa harus malu? Malah aku sangat senang sekali. Karena nantinya rumah ini juga akan menjadi warisanmu pula. Maka tempatilah dan tinggallah di sini sampai kapan pun kalian mau. Apalagi aku sudah renta dan sakit-sakitan. Aku mempersilakan kalian tinggal di rumah ini!”
Nenek akhirnya tahu panjang-lebar tujuan dan maksud kami untuk tinggal di rumahnya. Itu pun lantaran aku yang memberitahukannya maksud dan tujuan kedatangan kami. Bukan itu saja, aku juga menjelaskan penyebab kami harus pindah. Nenek pun akhirnya memahami dan mengerti keadaan kami.
Ayah dan ibu sambungku terdiam sekaligus terkejut dengan apa yang dikatakan Nenek. Mungkin mereka heran siapa yang memberitahukan semua itu. Akhirnya nenek kembali memberitahukan kepada mereka.
“Shota, cucuku yang memberitahukan semuanya itu. Ingat, jangan kalian marahi dia, tapi bersyukurlah memiliki dirinya yang cerdas dan pemberani!”
Saat hal itu diketahui, raut wajah ayah dan ibu sambungku pun seketika bersemu. Kami semua pun tersenyum bersama. Nenek benar-benar menerima atas kepindahan kami. Kami sangat-sangat bersyukur atas kemuliaan hati nenek.
Sejak itu kami menetap dan tinggal di rumah nenek.
***
Waktu pun bergulir cepat. Begitu pula dengan pohon sakura yang ditanam nenek dari kecil di samping rumah, kini sudah tinggi dan rimbun dengan bunga-bunganya yang bermekaran. Cantik dan menawan. Tapi berbeda dengan kehidupan kami yang saat ini hidup penuh dengan keprihatinan.
Begitu juga nenek saat ini sudah mulai sakit-sakitan ditambah hasil kebun yang kami tanam, daikon 5) dan komatsuna 6), gagal untuk dipanen. Banyaknya hama membuat hasil panen kebun kami tidak maksimal dengan baik. Kami hanya mengandalkan hasil kebun yang berada di belakang rumah. Kadang kala kami mengorbankan ayam dan bebek, peliharaan nenek, sebagai pelengkap makan kami sehari-hari. Tapi jika itu terus dilakukan, kami nanti makan apa selanjutnya?
Nenek yang melihat ayah dan ibu sambungku pun begitu cemas dan khawatir. Apalagi semua harta peninggalan warisan dari suaminya itu sudah terkuras untuk biaya hidup aku ketika masih bayi. Nenek selama ini memberikan aku makan dan pakaian serta obat-obatan itu karena menjual peninggalan suaminya. Kini melihat anak, menantu, dan cucunya, dia hanya bisa menatap penuh kesedihan karena hasil kebun tidak maksimal untuk dipanen. Dia merasa sebagai orang tua tidak berguna untuk kami. Padahal tidak.
***
Di malam hari, seperti biasa masih dihujani salju, aku pun diam-diam menghampiri ayah. Dia sedang berada di ruang tamu sambil minum uroncha 7) untuk menghangatkan tubuhnya.
“Ayah tidak akan membuang nenek, kan?” tanyaku membuka topik malam itu.
Ayah yang mendengar itu pun terkejut bukan kepalang. Saat aku berkata demikian.
“Kamu bisa bicara itu tahu dari mana, Shota?” ayah balik bertanya.
“Aku tahu dari sensei 8) di kelasku saat menceritakan tradisi ubasuteyama 9). Apakah ayah akan melakukan seperti itu?” aku pun kembali menjawab.
Kulihat ayah diam saja. Entah, diamnya itu apakah sebenarnya dia tahu atau tidak mau tahu. Mungkin dia tidak mau berpikir terlalu jauh hingga sampai ke hal itu. Semoga saja.
“Sudah malam, Shota? Kamu tidur sana!” tukas Ayah.
“Baik, Yah!” singkatku lalu menuju ke kamarku.
Tapi terlebih dulu aku melihat nenek di kamarnya. Dia sedang tidur nyenyak dengan kakebuton 10) yang membungkus tubuh ringkihnya menambah dia makin pulas. Walaupun diselingi batuk yang terdengar begitu sangat memiriskan sekali bila didengarnya. Seperti apa yang aku pikirkan kembali. Apakah ayah mau melakukan hal itu? Sungguh aku tidak tega bila demikian adanya.
***
Pagi harinya aku pun bangun telat. Pagi itu masih turun salju. Kulihat ayah di kamarnya sudah tidak ada. Hanya kulihat ibu sambungku saja yang sedang memasak di dapur. Setelah itu aku kembali ke kamar nenek untuk melihatnya. Dan…, astaga! Nenek tidak ada di tempat tidurmya. Padahal dia lagi sakit. Akhirnya aku pun kembali ke dapur untuk menemui ibu sambungku kembali menanyakan ke beradaan ayah.
“Ayah ke mana ya sepagi ini tidak ada?” tanyaku.
“Katanya mau ke Gunung Fuji!” tukasnya.
“Apa dia bersama nenek?” tanyaku lagi.
“Iya!”
Tanpa banyak berkata lagi, aku menyusuli ayah dan nenek yang pagi itu mau ke Gunung Fuji. Aku mempercepat langkahku. Karena banyak salju, aku pun memotong jalan. Aku lalui jalan pintas. Akhirnya aku bisa menyusul mereka.
Aku melihat ayah sedang menggendong nenek dengan tertatih-tatih. Aku melihat punggung tua nenek yang tak berdaya dibawa ayah.
“Ayaaahhh..., tunggu aku! Tungguuuuu!” teriakku yang beradu dengan jatuhnya salju. Ayah ternyata tidak mendengar teriakanku.
“Nenekkk! Tunggu akuuu…!” aku kembali berteriak.
Bersyukur pekikanku terdengar. Entah karena keajaiban atau apa, nenek terbangun dari gendongan ayah. Nenek menyuruh menghentikan perjalanan ayah. Kemudian Nenek melihat aku lari sambil menyingkiri salju yang menghadangku.
Tidak berapa lama kemudian aku pun tiba di hadapan ayah dan nenek. Aku menghela nafas. Uap salju dari mulutku keluar semua. Aku tersengal-sengal.
Setelah aku agak tenang, aku melihat ke arah ayah. Kutatap tajam matanya.
“Ayah ternyata lebih kejam ketimbang harimau. Dia walaupun buas tetap masih sayang pada anaknya. Tapi apakah pantas seorang anak harus membuang ibunya pula seorang diri ke Hutan Aikonagara 11) seperti ayah ini?!” amarahku memulai memuncak.
Nenek, yang mendengarkan ucapan lantangku, hanya tersenyum. Dia hanya mengulum bibir. Lalu dia minta diturunkan dari punggung ayah untuk menghampiriku.
“Cucuku tersayang, Shota! Ayahmu membawa nenek hanya menuju Danau Saiko. Kami di sana ingin mengenang masa kecil ayahmu dulu bersama nenek saat salju turun begini. Mana mungkin ayahmu yang penakut itu berani ke Gunung Fuji atau ke Hutan Aikonagara, bisa-bisa dia terkencing-kencing di celana,” akhirnya nenek malah menceritakan masa kecil ayah yang baru kuketahui.
Pradugaku ternyata salah. Ayah membawa nenek menuju ke Danau Saiko untuk mengenang masa mereka dulu, ketika saat itu ayah masih kecil. Di mana ayah lebih menyukai danau itu ketimbang pergi ke gunung maupun ke hutan. Walaupun ke danau hanya sekedar untuk melihat-lihat ikan dan bunga teratai yang sedang tumbuh bermekaran. Cantik sekali. Maka dari itu merupakan kesempatan nenek mengajak ayah ke danau yang berada di dekat kaki Gunung Fuji.
Aku, yang saat itu bagai memegang sekam, bahkan ingin sekali menghabisi ayah jika benar-benar mau membuang nenek. Aku bersumpah, ayah harus menghadapi diriku lebih dulu. Walaupun aku sebagai anak tetap akan kucegah bila ayah melakukan hal yang tidak manusiawi.
Tapi, lagi-lagi aku salah mengira. Hingga ketakutanku membuat aku makin dibayang-bayangi cerita dari sensei saat dia menceritakan sejarah Jepang di masa panceklik di dalam kelas ketika itu. Kini aku pun membuktikan sendiri bahwa hal itu tidak ada lagi. Itu hanyalah dongeng atau mitos semata buatku.
“Shota, kamu mau ikut ke danau, tidak?” Nenek membuyarkan lamunanku.
Aku tergeragap. Aku pun refleks menjawab. “Iya, Shota ikut, Nek! Shota ikut! Nanti saja dilanjutkan cerita ayah semasa kecilnya ya, Nek!”
Ayah hanya bisa menatap tajam ke arahku sambil melempar senyum kecut padaku. Sedangkan Nenek terkekeh-kekeh sambil menampakkan geriginya yang sudah tanggal semua saat melihat muka ayah ditekuk tiga. Karena dia tahu nenek akan berbagi cerita tentang di mana masa kecil ayah dulu begitu penakut padaku nantinya.
Kami akhirnya menuju ke Danau Saiko bersama-sama walaupun salju masih turun deras. Tapi kami bertiga begitu terasa hangat sekali karena dibungkus oleh kasih sayang mereka padaku khususnya, dan juga disaksikan oleh kokohnya Gunung Fuji, salju yang terus mengguyur kami, dan bunga-bunga plum yang tertutup salju. Mungkin mereka iri dengan kedekatan kami yang saling menyayangi satu dengan lainnya. Walaupun hasil panen kebun kami gagal dan menghantui kehidupan kami, tetap kami akan terus menjaga cerita ini abadi sampai ke generasi berikutnya.
Keterangan:
1. Plum: Dalam bahasa Jepang, bunga plum disebut dengan ume dan tersebar di berbagai negara di Asia Timur. Dilansir dari Tokyo Weekender, pohon bunga plum ini mekar di akhir musim dingin. Pohon ini memiliki nama Latin Prunus mume dan dikenal sebagai plum Cina atau aprikot Jepang.
2. Chazuke: Nama makanan Jepang berupa nasi putih dengan lauk sekedarnya yang dituangi air teh hijau dan dashi (air panas).
3. Futon: Alat tidur yang dibuat di lantai. Dalam bahasa Jepang, futon disebut juga dengan Shikibuton, yang artinya bantal yang diletakkan (di lantai).
4. Mochi: Kue yang terbuat dari beras ketan dan bahan-bahan lainnya. Rasa kue mochi begitu manis dan khas. Teksturnya kenyal sehingga akan terasa unik di lidah.
5. Daikon: Diartikan dalam bahasa Indonesia lobak. Tapi lobak Jepang berbeda secara tekstur, rasa, dan ukuran dibanding lobak Indonesia.
6. Komatsuna: Diartikan dalam bahasa Indonesia bayam. Tapi bayam Jepang memiliki tingkat kepahitan lebih rendah. Tidak hanya di Jepang, sayuran yang satu ini juga terkenal di Cina dan Taiwan.
7. Uroncha: Disebut juga oolong tea, minuman yang terbuat dari daun teh, sehingga memiliki manfaat serupa dengan teh hijau ataupun teh hitam.
8. Sensei: Guru.
9. Ubasuteyama: Tradisi membuang kerabat atau anggota keluarga yang sakit atau lanjut usia ke tempat terpencil untuk mati. Secara harfiah, ubasute sendiri berrati “pembuangan.” Dalam kisah masyarakat Jepang zaman dulu, ubasute berarti membuang orang tua. Tradisi mengerikan ini dilakukan di hutan, tepatnya di kaki Gunung Fuji, yakni di Hutan Aokigahara.
10. Kakebuton: Selimut tebal.
11. Hutan Aikonagara: Hutan yang dikenal dengan sebutan hutan bunuh diri, terletak di bawah kaki Gunung Fuji.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo