Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penerjemah bahasa Korea di Indonesia masih sangat kurang jumlahnya.Â
Penerbit Indonesia menyayangkan minimnya ketersediaan penerjemah bahasa Korea.Â
Buku fiksi masih menjadi favorit pembaca sastra Korea di Indonesia.Â
BERMULA dari coba-coba, Dwita Rizki mencari lowongan penerjemah lepas bahasa Korea ke berbagai penerbit di Indonesia pada 2009. Saat itu, Dwita baru menjalani kuliah semester IV Jurusan Bahasa dan Kebudayaan Korea Universitas Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari situlah Dwita mengirim biodata diri serta surat lamaran ke berbagai perusahaan penerbit buku. Beruntung, ia lolos seleksi setelah mengikuti serangkaian tes penerjemahan. "Mulai bekerja sebagai pekerja lepas penerjemah komik ringan," katanya melalui pesan pendek, Sabtu, 2 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak saat itu, karier Dwita sebagai penerjemah bahasa Korea berlanjut hingga ia kelar kuliah, bahkan sampai sekarang. Dwita mengaku sudah tak terhitung berapa buku yang sudah ia terjemahkan dari bahasa Korea ke bahasa Indonesia.
Dwita bercerita, pada awal-awal menjadi penerjemah, pekerjaan mengalir begitu lancar. Maklum, saat itu belum banyak yang bisa menerjemahkan bahasa Korea ke bahasa Indonesia. Ditambah lagi lingkungan kerja yang menyenangkan, membuat rekan editor dan penerbit merekomendasikan Dwita ke perusahaan lain.
Hingga akhirnya Dwita mendapat tawaran dari Penerbit Baca untuk menerjemahkan buku karya penulis hebat Korea Selatan, Han Kang, berjudul Vegetarian dan Mata Malam. Bagi Dwita, sebuah kehormatan bisa menerjemahkan dua buku berkualitas tersebut.
Nama Han Kang makin dikenal publik internasional setelah ia diganjar penghargaan Nobel Sastra 2024. Prestasi bergengsi perempuan 53 tahun itu bermula dari karya-karyanya yang menentang trauma sejarah dan mengungkapkan kerapuhan manusia. Karya-karya Han Kang dikenal inovatif dan eksperimental, juga punya ciri khas paparan ganda rasa sakit.
Bagi Dwita, karya literatur Han Kang punya ciri menonjol. Tema yang diangkat biasanya dekat dengan kehidupan sehari-hari, tapi penceritaan dan kalimat-kalimatnya dibuat sedemikian rupa sehingga memberikan celah interpretasi setiap pembaca. "Dan mungkin saja memang menyiratkan sesuatu yang lebih dalam," kata perempuan 36 tahun itu.
Direktur Korean Cultural Center Indonesia (KCCI), Kim Yong-woon, menyebutkan penerjemah menjadi bagian penting bagi dunia sastra Korea Selatan. Terlebih penerjemah ahli yang bisa menerjemahkan tulisan hingga konteks sastra dengan tepat. Sebab, bila asal-asalan menerjemahkan, bukan tidak mungkin arti tulisan yang terkandung dalam buku tidak bisa disampaikan dengan tepat.
"Seperti karya Han Kang, belum tentu bisa mendapat penghargaan kalau belum diterjemahkan ke bahasa asing," ujar Kim ketika ditemui di kantornya di kawasan SCBD, Jakarta, Rabu, 30 Oktober 2024.
Kim menambahkan, jumlah penerjemah ahli di Indonesia masih sangat kurang. Menurut catatan KCCI, jumlah penerjemah ahli bahasa Korea di Indonesia tak sampai 10 orang. Penerjemah ahli yang ia maksudkan adalah penerjemah yang memiliki dasar pendidikan sastra Korea. "Kebanyakan lulusan program studi bahasa Korea dari UGM, UI, dan kampus lain."
Namun ada juga sejumlah penerjemah yang berangkat dari disiplin ilmu lain. Walhasil, mereka sudah menjalani proses belajar bahasa Korea secara mandiri. Karena keterbatasan tersebut, pemerintah Korea Selatan melalui Kementerian Budaya, Olahraga, dan Pariwisata merilis program Literature Translation Institute of Korea.
Suasana rak buku yang menjual novel asal Korea Selatan di Gramedia Matraman, Jakarta. TEMPO/Indra Wijaya
Dalam program tersebut, pemerintah Korea mendukung penerjemah sastra lokal ke dalam bahasa asing, seperti bahasa Inggris, bahasa Indonesia, serta bahasa lain di kawasan Asia Tenggara, Asia Timur, sampai Eropa Timur. Walhasil, novel-novel terbaru karya penulis Korea bisa dinikmati pembaca dari berbagai negara lain.
Belum lagi dukungan dari pihak perusahaan penerbit swasta yang menerima kerja sama dengan penerbit asal Indonesia. Dengan membeli hak cipta, penerbit Indonesia bisa menerjemahkan dan menerbitkan buku dari Korea.
Penulis, penerjemah, dan sastrawan Anton Kurnia mengatakan ramainya penerjemahan buku sastra Korea ke bahasa Indonesia merupakan fenomena yang baik dan menguntungkan. Sebab, lewat proses penerjemahan, para pembaca Tanah Air bisa mengenal karya sastra dari Korea tanpa sekat kendala bahasa. Terlebih banyak buku sastra Korea yang bagus secara kualitas.
Anton menyebutkan buku fiksi romantis dari Korea masih menjadi yang paling mudah diterima oleh anak muda Indonesia. Maklum, tema tersebut dekat bahkan ikut disebarkan lewat musik pop dan drama Korea. "Mungkin ada daya tarik dari segi tema dan kedekatan latar belakang sebagai sesama bangsa Asia," tutur Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta itu.
Namun, menurut Anton, buku sastra terjemahan di Indonesia saat ini bukan cuma berasal dari Korea Selatan dan bahasa Inggris. Selain itu, banyak karya baru yang berkualitas dan memiliki kekuatan tersendiri diterbitkan, misalnya karya Alejandro Zambra dari Cile dan Hiromi Kawakami dari Jepang. Banyak lagi karya bagus yang belum serta perlu diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia, misalnya karya-karya pengarang Eropa Timur yang kuat semacam Olga Tokarczuk, Mircea Cartarescu, dan Laszlo Krasznahorkai.
Pendiri Penerbit Haru, Lia Indra Andriana, mengatakan perusahaannya yang sudah berdiri 13 tahun telah menerbitkan 90-100 buku terjemahan dari Korea Selatan. Dalam proses penerjemahan, pihaknya bekerja sama dengan penerjemah lepas yang ahli dalam bahasa Korea.
Saat ini terdapat belasan penerjemah lepas yang menangani buku berbahasa Korea. Semuanya tergantung proyek judul. "Mereka bekerja sama dengan tim editor untuk memastikan kualitas terjemahan yang akurat dan sesuai dengan konteks budaya," tutur Lia.
Lia mengklaim buku-buku terjemahan Korea dari Penerbit Haru mendapat respons positif dari pembaca Indonesia, salah satunya karena adanya kesamaan dalam nilai-nilai budaya. Buku-buku ini sering menggambarkan tema keluarga, persahabatan, perjuangan hidup, dan pencarian jati diri—tema-tema yang dekat dengan kehidupan sehari-hari di Indonesia.
Menurut Lia, ada beberapa buku terjemahan Korea yang paling laku di pasaran. Buku itu berjudul I Want to Die But I Want to Eat Tteokpokki karya Baek Se-hee. Buku ini mengangkat tema kesehatan mental dari pengalaman penulis. Ada juga buku berjudul Minimarket yang Merepotkan karya Kim Ho-yeon yang bercerita tentang seorang tunawisma yang bekerja di sebuah minimarket, menghadirkan kisah yang menyentuh tentang pertemuan yang mengubah hidup.
Sementara itu, Executive Editor Fiksi Gramedia Pustaka Utama (GPU), Juliana Tan, menuturkan setidaknya ada lebih dari 35 judul buku fiksi dari Korea Selatan yang telah diterbitkan oleh pihak manajemen GPU. Sama seperti penerbit sebelumnya, buku-buku yang diterbitkan Gramedia harus melalui proses penerjemahan hingga memakan waktu setidaknya empat bulan.
"Tapi tergantung tema dan gaya bahasa penulis. Sebagian buku yag lebih sulit diterjemahkan membutuhkan waktu lebih lama," kata Juliana.
Meski begitu, Juliana mengakui jumlah penerjemah bahasa Korea yang dimiliki Gramedia masih sangat sedikit. Alasannya, cukup sulit menemukan penerjemah yang baik, yang bukan sekadar melakukan alih bahasa biasa, tapi juga menangkap konteks serta menerjemahkannya ke situasi lokal.
Juliana menambahkan, respons pasar terhadap buku-buku terjemahan dari Asia kini mulai diminati pembaca. Namun, harus diakui, Gramedia perlu waktu beberapa tahun untuk mengenalkan karya literatur Asia kepada pembaca. Adapun penjualan masing-masing buku tidak bisa dihitung sama.
Namun, dengan oplah cetakan pertama 2.000-3.000 eksemplar, saat ini sebagian judul sudah dicetak ulang karena permintaan meningkat. Adapun judul buku yang diminati pembaca antara lain buku thriller karya Jeong You-jeong serta buku yang menyejukkan hati para pembaca yang galau seperti Book’s Kitchen karya Kim Jee-hye.
"Kelebihan buku Korea itu ada di tema yang menarik, pengakuan global, keterkaitan pop-culture, sampai eksplorasi budaya," kata Juliana.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo