Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Bakti Sang Burung Aneh

Buku yang menggambarkan sisi humoris-manusiawi ilmuwan yang kerap tampil tanpa senyum dan dengan karya-karya yang ”kering” ini.

7 April 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejarah yang Memihak (Mengenang Sartono Kartodirdjo) Editor: M. Nursam, dkk. Penerbit: OMBAK-Yogyakarta, Maret 2008 Tebal: xvii + 507 halaman

Apa yang akan dikerjakan dua orang lelaki dan perempuan, dari Yogyakarta dan Solo, belum saling mengenal, tapi terpaksa menginap satu kamar di hotel? Sampai pagi hari berikutnya pasangan itu tidak kunjung masuk kamar untuk istirahat. Sepanjang malam keduanya tetap berdiri di depan pintu. Masing-masing hanya saling mempersilakan rekannya masuk kamar lebih dulu.

Anekdot mengambil latar etnik Jawa itu disampaikan almarhum Sartono Kartodirdjo kepada Sjafri Sairin, guru besar antropologi UGM. Sartono Kartodirdjo (15 Februari 1921—7 Desember 2007), yang oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif dijuluki Ayatullah Sejarawan Indonesia, dikenal luas sebagai ilmuwan yang serius dan mahal senyum sebagaimana terekspresi dalam karya tulisnya yang kering, dingin, dan hampir tanpa warna. Kegemaran Sartono berseloroh dan berkelakar, kata Sjafri Sairin, tentu melapangkan siapa pun, buat memahami buku-buku Sartono yang cenderung kering dan tandus.

Kesan tentang Sartono yang galak dan angker itu lumat di tangan pelbagai kontributor dalam antologi Sejarah yang Memihak. Antologi ini diluncurkan di UGM, Yogyakarta, Jumat 14 Maret silam, guna memperingati 40 hari sang begawan berpulang. Buku ini terdiri dari tiga bagian: kenangan keluarga, pribadi dan pemikiran, serta historiografi. Bagian pertama dan kedua sangat menyentuh, menggugah, bahkan menguras air mata. Ditulis dengan bahasa hati oleh istri, anak, menantu, cucu, kolega, sahabat, dan murid—kepada siapa Sartono pernah berhubungan intensif dan meninggalkan ingatan mesra.

”Tahun 1954, saat itu saya berumur 5 tahun, di tengah kesibukan sebagai guru SMA Tarakanita dan kuliah di UI, bapak selalu meluangkan waktu sore hari atau Minggu pagi mendudukkan saya di atas stang sepeda dengan kursi rotan keliling berkereta angin di sekitar jalan Gunung Sahari.” Ini ingatan belia Nimpuno, 59 tahun, anak pertama Sartono, mengenang bapaknya yang punya prinsip tidak goyah oleh bujuk rayu dalam bentuk apa pun. ”Orang yang tidak mau menyerah walau sejak 1957 harus bekerja dengan satu mata karena retina kanan mengelupas. Saking sayangnya pada pekerjaan, ia hampir tidak punya waktu untuk keluarga,” kata Sri Kadaryati, istri Sartono.

Sartono, sewaktu tinggal di Wassenar, Belanda, pada 1981-1982 untuk menulis 2 jilid buku Sejarah Indonesia Baru I: dari Imperium sampai Emporium dan Pengantar Sejarah Indonesia Baru II: dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, pernah membesarkan hati Julius Pour, wartawan senior yang galau ingin menjelajah negara-negara asing tapi cekak dana. Sartono bilang, ”Cowboy Amerika punya ungkapan have gun will travel. Pada zaman modern kata-kata bersayap itu diubah jadi have paper will travel.” Berkat nasihat itu, Julius Pour bisa berkelana ke delapan penjuru angin dunia.

Sebagai dosen dan pembimbing tugas akhir, Sartono juga dikenal kejam, menjaga jarak, dan sulit dilewati mahasiswa untuk lulus ujian. Almarhum F.A. Soetjipto sampai keluar-masuk rumah sakit gara-gara bab-bab ”kitab ujian” (disertasi) yang ditulis berbulan-bulan dikembalikan Sartono tanpa coretan. Dia mengembalikan naskah dalam keadaan bersih. Artinya, pembimbing meminta promovendus menulis ulang seluruh bab dengan membesut teori dan metodologinya. Sadar mahasiswanya dipagut hipertensi, Sartono pun luruh. Konsultasi dan bimbingan jadi lancar. F.A. Soetjipto pada 1983 meraih gelar doktor dengan disertasi ”Kota-Kota di Selat Madura Abad XVII sampai Abad XIX.”

Di forum sejarawan Leiden, Belanda, Sartono pernah dijuluki ”Rara Avis in Terris” (Burung Aneh di Planet Bumi) berkat kegigihannya memelopori sejarah petani under ground—berlawanan dengan arus utama sejarah yang mengagungkan raja, pengeran, hulubalang, permaisuri, selir, dan harem. Menjadi manusia bersahaja di dunia yang demikian brutal mendewakan materi merupakan usaha luar biasa dari manusia modern bernama Sartono Kartodirdjo.

Sartono dimakamkan di Astana Kadarismanan Ungaran, Jawa Tengah. Seperti dituturkan Harlem Siahaan, di dekat makam ada kandang ayam. Daging dan telur ayam simbol kegiatan produktif dan gemar berbagi. Ada pula pohon durian yang sedang berbuah lebat. Reputasi Sartono jelas lebih harum ketimbang durian.

J. Sumardianta, guru SMA de Britto Yogyakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus