Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANG putih hampir 100 meter persegi itu mengingatkan kita pada rumah hantu dalam cerita-cerita klasik. Lukisan di dinding, pintu, meja makan, lalu tengkorak rusa semuanya saja putih, dan semuanya saja menciptakan suasana ”dingin” misterius. Pintu yang di bagian bawahnya meleleh, meja makan yang permukaan juga meleleh, pun kursinya. Sebuah kursi tidak meleleh tapi tetap ganjil: pada permukaan untuk duduk dipasang sejumlah benda berbentuk piramida runcing. Lalu sejumlah lilin yang meleleh di tempat lampu yang digantung di langit-langit di atas meja, dalam suasana seperti itu, mau tak mau lampu tersebut menjadi misterius juga. Padahal lilin meleleh adalah biasa. Dan tengkorak rusa itu juga meleleh, mungkin lebih tepat berlendir. Pun cangkir di meja bibirnya meleleh, juga lepek, alas cangkir itu. Hidangan di meja itu memperkuat kemisteriusan ruang ini: tengkorak-tengkorak mini—yang juga putih.
Adalah Syagini Ratna Wulan, 30 tahun, yang mengubah ruang pamer Galeri Vivi Yip di Jakarta Selatan itu menjadi putih dan misterius. Perupa lulusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung yang mengambil seni grafis sebagai kuliah utamanya, dan yang sempat melahap studi budaya di London, ini menggelar sebuah pameran seni rupa sedemikian rupa hingga karya-karya di ruang pamer itu membangun sebuah kisah. Bila ada novel grafis, boleh juga ini disebut ”novel rupa”.
Misteri itu pertama-tama muncul dari lima lukisan putih. Putih di atas putih tentu saja menjadikan gambar tidak jelas, meski ada nuansa keabu-abuan. Pada Mistears, misalnya, tengkorak itu muncul karena latar bidang gambar tak sepenuhnya putih melainkan sedikit keabu-abuan. Tangan yang membuka tirai meleleh agak jelas karena dibuat dengan, sepertinya, pelototan putih langsung dari tube. Setidaknya pada I Know What’s Mine ini garis yang membentuk tangan dan tepi tirai dibuat lebih tebal—menjadi lebih tampak meski tetap saja samar.
Beranjak dari satu lukisan ke lukisan berikutnya seolah membuka halaman per halaman sebuah buku. Pelan-pelan ”cerita” terbentuk, meski bukan cerita yang jelas, melainkan asosiasi-asosiasi: kerumunan orang berpayung yang entah sedang apa (Faraway SoClose); tiga kerangka yang sepertinya bangkit dari peti mati (Prince Charming); seseorang yang mencoba mengintip dengan menyingkap tirai (I Know What’s Mine); dan seterusnya.
Lalu karya instalasi pintu putih meleleh, yang menggantung pada dua tangan (I Love You but You’re Bringing Me Down) itu. Dan kemudian (mungkin) karya utamanya: karya instalasi seperangkat meja makan yang ambigu. Tidak jelas apakah ini meja makan sesudah pesta usai atau pesta baru akan dimulai.
Ruang pamer yang tak begitu luas, pas dengan jumlah karya, membantu kita mendapatkan imaji-imaji dari pameran bertajuk Love Affair Part 1 ini. Keseluruhan ruang bisa dilihat sekaligus dari satu sudut pandang, dan semua karya tertangkap pandangan. Ketika itulah pameran ini terasa benar sebagai ”novel rupa”. Karya demi karya Syagini bicara atas nama sendiri sekaligus sebagai bagian dari keseluruhan. Kita bisa menikmati satu demi satu karya, kemudian mendapatkan sebuah kisah.
Inilah pameran yang jarang, kalau bukan baru pertama kali ini: karya-karya membentuk satu kesatuan dan menyiratkan sebuah cerita. Kita segera menduga bahwa penciptanya memang sengaja dan terencana menyuguhkan semuanya ini dalam satu rangkaian.
Memang, karya-karya dalam suatu pameran tunggal yang membentuk satu kesatuan bukannya belum pernah diselenggarakan. Taruhlah Agus Suwage ketika menampilkan sejumlah potret tokoh dalam satu gaya: gaya Chairil Anwar, penyair Aku, yang sedang memegang sebatang rokok berasap. Namun satu gaya ini tak sampai merangkai sebuah kisah. Dalam pameran itu karya Agus tetap saja masing-masing berdiri sendiri, tanpa menjadi satu rangkaian yang membentuk kisah. Tiap karya mengacu pada potret Chairil, dan berhenti di situ—tidak ada kisah terbentuk dari karya yang satu dan yang lain. Atau pameran F.X. Harsono belum lama ini, The Erased Time, yang bertolak dari sebuah riset tentang pembantaian etnik Tionghoa di Blitar, Jawa Timur. Karya-karya di sini jelas berkaitan dan memang menyuguhkan sebuah kisah. Namun kisah pameran ini bukan datang dari hubungan karya-karya melainkan satu per satu karya mewakili kisah tersebut. Karya di sini lebih tampil sebagai dokumen: kisah itu berada di luar ruang pameran. Adapun dalam pameran Syagini cerita muncul di ruang pameran.
Tak lalu satu per satu karya Syagini tak bisa berdiri sendiri. Seperti juga sebuah novel grafis yang satu per satu gambar bisa dicopot dan dipajang di dinding, dan kita nikmati sebagai karya gambar. Dalam hal seperti ini, karya Syagini akan sebagaimana karya Agus Suwage atau karya Harsono: kisah tak hadir dalam ruang pameran, melainkan ada di luar, ada di ingatan kita.
Dalam hal seperti itu, katalog yang menceritakan kurang-lebih proses kreatif senimannya menjadi perlu. Tak sepenuhnya kita berangkat dari kosong ketika mengapresiasi sebuah karya seni. Pengalaman yang mengendap bagaimanapun akan muncul. Keterangan tentang sebuah karya yang menurut kita masuk akal akan menjadi acuan yang memudahkan dan mungkin membawa kita bisa lebih mendalami karya tersebut. Sebuah ulasan, sebuah kritik, juga sebuah katalog saya kira memiliki fungsi acuan seperti itu. Dan katalog pameran Love Affair Part 1 yang ditulis oleh Agung Hujatnikajennong, menurut saya, memberikan acuan yang pas.
Inilah salah satu pameran yang antara katalog dan karya berjalan seiring. Katalog ini tak mencoba menjelaskan-jelaskan, apalagi membela, karya-karya yang dipamerkan. Yang ditulis Agung adalah kesan dan pemahamannya terhadap karya Syagini, karya-karya yang tentunya memikat perhatiannya. Sampai-sampai Agung menulis sebuah kisah yang diberinya judul ”Perjamuan di Pelegosto”. Memang belum merupakan sebuah cerita yang selesai, melainkan baru gambaran para tokoh yang terlibat dalam kisah tersebut. Namun itu cukup membentuk fantasi kita untuk membayangkan sendiri cerita tersebut.
Dan bila Anda kembali mengunjungi pameran ini setelah selesai membaca tulisan Agung, bisa saja ”Perjamuan di Pelegosto” hadir dalam ruang pameran itu, bisa juga tidak. Katalog itu tak bernada memaksa, hanya berbagi pengalaman. Termasuk di dalamnya, keterangan bahwa Syagini sangat tertarik pada karya sastra semisal novel-novel erotis karya Anais Nin, sastrawati Prancis yang menerbitkan karya-karyanya pada 1950-an.
Dan sebenarnya Syagini merencanakan sebuah trilogi ”novel rupa”-nya. Pameran kali ini, yang akan berakhir pekan depan, baru bagian 1, dengan subjudul The Dining Room/White Lies. Apa yang akan terjadi pada benda-benda yang meleleh itu?
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo