Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggodo akhirnya dikirim ke bui. Banyak orang bersyukur, walau kesalahan makelar kasus kelas berat itu kelak mesti dibuktikan di pengadilan. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Intinya, setelah ”puasa” keadilan masyarakat yang begitu panjang sejak rekaman pembicaraan Anggodo diputar Mahkamah Konstitusi tahun lalu, inilah saat ”berbuka”. Seteguk keadilan untuk memenuhi dahaga yang lama tertahan.
Persoalan memang belum tuntas. Komisi Pemberantasan Korupsi hanya memiliki waktu menahan 20 hari, paling banyak diperpanjang menjadi 40 hari, untuk meningkatkan status Anggodo Widjojo dari tersangka menjadi terdakwa. Untuk meningkatkan status ini, para penyelidik Komisi harus menyusun berkas sangkaan yang dapat diterima oleh penuntut umum. Polisi, yang sebelumnya memproses kasus Anggodo dan mencoba membidik dengan enam sangkaan, mengaku kesulitan memperoleh bukti dan menyerahkan perkara ini ke tangan KPK.
Untunglah, KPK lebih pintar ketimbang polisi—mudah-mudahan bukan karena polisi pura-pura kalah pandai. Penyelidik komisi antikorupsi menggunakan sangkaan yang (mungkin) luput dari perhatian polisi, yaitu Pasal 15 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi, ”Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal 14.”
Pasal yang belum pernah digunakan ini akan jadi andalan untuk menjerat Anggodo dan mereka yang diduga berprofesi sebagai markus alias makelar kasus. Sebab, dengan jerat hukum ini tak diperlukan lagi bukti makelar kasus pernah mengadakan kontak dengan pejabat dan memberikan atau menjanjikan sesuatu. Cukup dengan bukti bahwa sang makelar melakukan ”percobaan, pembantuan, atau melakukan pemufakatan jahat”, pelanggaran pasal 5 sudah terjadi dan memberikan hukuman minimal satu tahun kurungan serta denda Rp 50 juta hingga maksimal lima tahun dengan denda Rp 250 juta.
Bukti percobaan permufakatan jahat dalam kasus Anggodo pun sudah banyak diketahui umum. Pengakuan bahwa ia telah menerima uang dari sang abang—Anggoro, yang kabur ke luar negeri—untuk menyuap pejabat KPK adalah salah satu bukti itu. Pengakuan Ari Muladi, mitranya dalam profesi makelar kasus, yang menyatakan telah menerima sebagian uang itu dan menyalurkannya ke seseorang, adalah tambahan satu bukti lain.
Bahkan bukti yang paling kuat dan paling populer sudah disiarkan langsung ke khalayak luas oleh berbagai stasiun televisi dan radio. Itulah pembicaraan telepon Anggodo, yang tersadap KPK, dan diperdengarkan dalam sidang Mahkamah Konstitusi. Isi rekaman itu jelas menyiratkan sedang berlangsung sebuah permufakatan jahat untuk menyuap pejabat hukum dengan melibatkan para petinggi di kejaksaan dan kepolisian, bahkan menyebut-nyebut kalangan Istana.
Upaya jahat itu menjadi semakin laknat karena tak hanya berencana menutup kasus hukum sang abang, melainkan juga membangun tuduhan palsu bahwa pemimpin KPK melakukan pemerasan. Akibatnya, dua pimpinan KPK sempat ditahan polisi dalam skandal besar yang sekarang dikenal dengan istilah cicak vs buaya. Keributan hukum itulah yang menyebabkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa perlu membentuk Tim Delapan dan kemudian Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum.
Untuk membuat jera pelaku mafia hukum yang arogan seperti Anggodo ini, KPK juga menjerat dia dengan pasal 21 undang-undang yang sama, yaitu sangkaan melakukan perintangan pada upaya hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Ancaman hukumannya lumayan, yaitu paling singkat kurungan tiga tahun penjara dan/atau denda Rp 150 juta. Adapun hukuman maksimum 12 tahun penjara dan/atau denda Rp 600 juta.
Dengan ancaman hukuman seperti ini—mudah-mudahan ditambah pula dengan jaminan bahwa kehidupan ala hotel mewah di penjara bagi bandit berduit sudah tak terjadi lagi—efek penjeraan bagi para makelar kasus tentu akan terjadi. Apalagi bila Anggodo mau berterus terang menjelaskan siapa saja anggota jaringan mafia hukumnya. Selain untuk memperoleh keringanan hukuman, keterangan itu perlu sebagai bagian dari bukti pertobatannya.
Selanjutnya, keterangan Anggodo bisa membantu KPK membersihkan institusi hukum negeri ini dari aparat korup. Para pajabat tinggi yang terlibat dalam permufakatan jahat Anggodo jelas perlu juga diseret ke meja hijau. Mereka bahkan patut mendekam di bui jauh lebih lama daripada Anggodo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo