Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Berebut bisnis di sekolah

Sekitar 50% buku terbitan ikapi dibeli pemerintah untuk sekolah. bisnis diluar sekolah kembang-kempis. minat baca kurang atau buku tak bermutu?

24 Juli 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) berkongres dalam suasana prihatin. Dari330 penerbit anggotanya, selama tiga hari kongres di Hotel Indonesia, Jakarta,pekan lalu, hanya 205 yang hadir. Lantas, ke mana 100 lebih anggota yang tak hadir? Diduga, mereka sudah tak ketahuan nasibnya, entah bubar atau ganti usaha.''Mereka ini tak ketahuan kuburnya di mana,'' ujar Ketua Umum Ikapi, RozaliUsman, yang terpilih lagi untuk masa jabatan 1993-1998. Bahkan, menurut catatan Ikapi, yang berumur 43 tahun, anggotanya pernah mencapai 600 penerbit. Semakin susutnya anggota Ikapi diduga disebabkan oleh bisnis buku yang lesu berkepanjangan itu. Ini bisa dilihat dari buku yang diterbitkan. Lebih dari 40% penerbit, menurut Rozali, hanya mampu meluncurkan di bawah lima judul baru setiap tahun. Lalu, 30% menghasilkan 510 judul, 10% bisa 1015 judul, dan hanya 20% yang mampu memproduksi di atas 15 judul. Di luar Ikapi, ada sekitar 70 penerbit, yang diperkirakan kembang- kempis. Bisnis buku juga menyedihkan bila dilihat dari tiras yang terjual. ''Jarang ada penerbit yang berani mencetak 5.000 eksemplar untuk edisi pertama, seperti sebelum 1990,'' kata Rozali, yang juga bos penerbit Remaja Group. Daripada buku menggunung di gudang, kini penerbit paling banter mencetak 3.000 eksemplar. ''Itu pun dipasarkan untuk dua tahun,'' ujarnya. Apa penyebab lesunya bisnis buku, orang bisa berdalih macam- macam, misalnya minat baca yang kurang atau mahalnya harga jual buku. Soal minat baca masih bisa panjang debatnya. Mengenai mahalnya harga buku, Rozali menuding, itu karena harga bahan baku (kertas) tinggi, dan pengenaan pajak (PPN) hingga tiga kali, yakni untuk pembelian bahan baku, pencetakan, dan penjualan PPNpenjualan bisa dibebaskan setelah penerbit mengajukan permohonan ke Direktur Jenderal Pajak. Tapi, pembicaraan mengenai lesunya bisnis buku ini rupanya hanya berlakuuntuk buku ''serius'' yang dijual di pasaran. Buku bacaan, komik misalnya, terutama yang terjemahan, terbukti mendatangkan untung. Begitu pula buku yang dijual di sekolah. Tak mengherankan, dari kongres itu terdengar bisik-bisik bahwa sebetulnya para anggota Ikapi sering memperebutkan proyek buku sekolah. Lihat saja angka produksi buku anggota Ikapi tahun 1990 yang 57,3 juta itu. Dibandingkan dengan data 1981 20,8 juta buku itu jelas menunjukkan peningkatan. ''Tapi, lebih dari 50% buku itu merupakan pesanan Pemerintah,yang dikenal dengan Proyek Buku Inpres,'' kata Rozali. Begitu proyek selesai, bubar pula penerbitnya. Penerbit Rian Utama, Jakarta, misalnya, mengaku sempat berkibar ketika Pemerintah memborong buku, sekitar tiga tahun silam, yang dikenal sebagai Proyek Buku Inpres. ''Kami bisa mengeluarkan 25 sampai 35 judul setahun. Tiap judulnya bisa terjual 100.000 eksemplar,'' kata Mukhlis dari Rian Utama. Untuk tahun ini, katanya, penerbitnya tak mengeluarkan judul baru, tapi hanya menghabiskan stok di gudang. Direktur Sarana Pendidikan, Achmad Djazuli, mengakui bahwa tiap tahun pihaknya melalui sekolah dan kanwil di daerah memborong sekitar 20 juta buku pelajaran. Selain itu, masih ada buku pelengkap dan bacaan tiap sekolahmemerlukan sebuah untuk perpustakaannya. Tentu ini merupakan ladang bisnis empuk bagi penerbit. Selama ini, penerbit bebas mengajukan bukunya ke tim penilai buku, yang dikoordinasi oleh Direktur Sarana Pendidikan. Tim yang tiap tahun diperbarui itu, antara lain, terdiri atas ahli dari Lemhannas, Kejaksaan Agung, Pusat Sejarah ABRI, dosen UI, dosen IKIP, guru senior, dan dari lingkungan Departemen P dan K, termasuk Pusat Bahasa. ''Nama pengarang dan penerbitnya ditutup. Bisa dipertanyakan kalau hasilnya tak sesuai dengan kurikulum,'' kata Achmad Djazuli. Tahun lalu, masuk permohonan penerbit sekitar 3.000 judul buku. Tapi, hanya lolos 1.500 buah, termasuk 250 judul yang diedarkan tahun ini. Daftar buku yang lolos seleksi dikirimkan ke kanwil dan sekolah-sekolah. ''Di sini tergantung taktik pengedar buku,'' kata Mukhlis.Sekolah-sekolah yang tersebar hingga pelosok punya dana pembelian buku. SD, misalnya, tiap tahun punya anggaran Rp 700.000, yang boleh dihabiskan untuk rehabilitasi fisik dan pembelian buku. Untuk SMP, dana yang didrop Pemerintah lebih besar, dua hingga tiga juta rupiah, tergantung jumlah murid. Bisa dibayangkan berapa laba yang diraup penerbit bila bukunya lolos dari tim penilai. Jumlah SD di seantero Indonesia, misalnya, sekitar 170.000, dan SMP 20.000 buah. Ini belum terhitung SMA. Menurut Achmad Djazuli, untuk satu materi yang sama, soal pesawat misalnya,pihaknya biasa meloloskan dua judul. Lalu, untuk peredarannya, itu dibagi untuk Indonesia Bagian Barat dan Indonesia Bagian Timur, sehingga rata-rata satu judul untuk tingkat SD bisa dicetak 85.000 buah walau tiap judul rata-rata hanya dicetak sekali. Dari kongres itu terdengar desakan, sebelum masuk tim penilai, buku-buku itu terlebih dahulu direkomendasi Ikapi. Maksudnya, agar penerbit tak berebut dan hanya anggota Ikapi yang bukunya bisa dinilai. ''Sehingga, eksistensi Ikapi pun tegak,'' kata Humas Ikapi, Saiful Zein. Tapi, suara yang lain menyebutkan, kalau harus melalui rekomendasi Ikapi, itu berarti regulasi. Lain lagi menurut Achmad Djazuli: pihaknya, dalam menilai buku itu, tak melihat asal penerbit. ''Acuan kami adalah buku itu cocok atau tidak dengan kurikulum. Yang terbaik akan kami ambil. Penerbit mana tak jadi soal,'' ujarnya. Sementara itu, di pasar juga beredar buku, termasu terjemahan cerita asing, yang digemari anak-anak berduit. Bisa jadi, mutunya lebih baik walau tanpa rekomendasi. Ardian Taufik Gesuri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus