Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dunia bentuk-bentuk yang bercerita

Sebuah dunia imajinasi yang menyuguhkan sosok-sosok aneh, warna cerah, yang lucu, riang, muram, kadang bisa juga garang dalam suasana yang hiruk-pikuk.

24 Juli 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SPONTAN, segar, warna-warna primer, bentuk-bentuk fantastis. Itulah kesan pertama melihat 16 karya lukis dan dua karya tiga dimensi Eddie Hara. Sedikit lama berada di Cemeti Gallery, Yog-yakarta, Anda pun akan disergap oleh dunia fantasi dengan sosok-sosok yang aneh, yang ramai, dan memikat, yang dipamerkan hampir selama sebulan, sampai 29 Juli pekan depan. Lihat, sebentuk sosok, dengan dua mata, mulut bergigi, tampak seperti punya antena di belakang kepalanya. Lalu tangan, dan seperti bentuk daun menempel di pundak kanannya. Kemudian, seperti bentuk cermin bulat telur, bergambar salib di tengahnya, jatuh di belakang sosok itu. Kemudian ikan melayang di tangannya. Di bawah ikan ada bentuk ''V'' dengan bulatan di kedua ujungnya, mirip sebuah headphone. Inilah karya berjudul Percakapan Terakhir (judul aslinya ditulis dalam bahasa Inggris). Tak salah kalau pengunjung mendapat kesan sosok-sosok dalam karya-karya ini mirip sosok yang sering dibayangkan orang sebagai makhluk angkasa luar, atau mungkin sebuah robot. Dan melihat susunannya, Eddie, 36 tahun, jebolan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia, rasanya ingin menumpahkan sebuah cerita di bidang gambarnya. Coba lihat, sosok makhluk hidup (hewan dan manusia) yang merupakan bagian besar objek lukisan Eddie Hara, seperti bertengkar, berpadu, atau berkumpul dalam sebuah keramaian. Atau kalau Anda mendapat kesan sosok-sosok itu adalah ikan (dan ini sah-sah saja, seperti halnya orang lain yang mendapat kesan bahwa itu kepala jangkrik, monster, anjing, kucing, atau lainnya), sepertisemuanya terkumpul dalam sebuah akuarium. Tapi jangan dibayangkan itu semua dalam bentuk yang rapi. Semuanya saja, muncul dari tangan Eddie, sosok-sosok itu peletat-peletot tak keruan, cenderung menjadi sosok yang menakutkan. Tapi, warna-warna primernya yang ''mentah'' seperti menetralisasi bentuk menakutkan itu, dan menimbulkan kesan riang dan kadang kala lucu. Kadang pula muncul kesan, lukisan- lukisan ini seperti menggambarkan fantasi kanak-kanak, yang bebas tapi tak sampai menjadi liar, yang ngawur tapi sebenarnya punya makna. Pokoknya, sebuah kesan hiruk-pikuk yang artistik. ''Saya senang menggali rasa humor, kesedihan, dan kegembiraan dalam karya saya,'' ujar Eddie Hara. Dan Eddie Hara memilih ekspresi visual semacam ini, yang dari caranya menaruh objek-objek bisa dibilang cenderung dekoratif, ingin memenuhi sepenuh bidang gambar dengan bentuk-bentuk, dengan sadar. Ia rupanya ingin melakukaneksplorasi bentuk habis-habisan. ''Wujud asli suatu makhluk hanya menimbulkan kebosanan,'' kata perupa ini. Dan untuk itu ia tak lagi mau dibatasi dengan batasan-batasan deformasi bentuk yang kuno: yang impresif, ekspresif, kubistis, minimalistis, futuristis, dan sebagainya. Lewat karyanya, Eddie pun bisa protes terhadap dominasi salah satu budaya Amerika yang diwakili oleh tokoh Walt Disney. Digambarkannya Mickey Mouse yang telinganya tetap khas itu, hitam hampir bulat bertengger di kepala, tapi yang wajahnya sudah menjadi tengkorak. Di bawah gambar itu Eddie menulis, ''Mickey's Dead''. Rupanya, Eddie Hara memang prihatin. Katanya, ''Mickey Mouse ada di mana-mana, sehingga anak-anak tak kenal lagi dengan tokoh-tokoh cerita lokal.'' Tapi rasanya Matinya Mickey ini termasuk karya yang terlalu jelas ''cerita''-nya. Meski ini cerita tentang kematian, rasanya jauh dari mengharukan. Komposisi bentuk-bentuknya yang tak centang-perenang cepat membuat kita boyak. Tak ada tantangan agar kita masuk ke dalam petualangan dunia mimpi Eddie Hara. Inilah salah satu kecenderungan pelukis masa kini Indonesia yang lahir pada akhir 1950-an atau awal 1960-an, yang berhasil membebaskan diri dari pengaruh para pendahulunya. Mereka tak lagi tertarik melahirkan karya nonfiguratif yangmenolak cerita. Mereka juga tak tertarik meneruskan kredo pendiri Persagi yang diakui sebagai Bapak Seni Rupa Modern Indonesia, S. Sudjojono. Yakni lukisan adalah jiwa tampak, dan karena itu goresan dan sapuan cat merupakan rekaman emosi perupanya. Ada yang lalu melahirkan realisme baru, yang mencoba memotret kenyataan dengan pendekatan lensa kamera, tapi kemudian mengguncangkan kenyataan itu hingga kaitan benda satu dengan lainnya tak lagi realistis. Jalan ini ditempuh oleh, misalnya, Dede Eri Supria. Ada yang menciptakan alam mimpi kembali seperti yang lazim disebut surealisme. Tentu saja, bentuk visual yang dimimpikan itu adalah masalah masa kini. Dahulu, pada tahun 1950-an, pelukis Soedibjo menggambarkan seorang penggesek biola yang melayang, sedangkan Ivan Sugito lebih suka melukiskan kemiskinan desa. Kemudian adalah mereka yang hendak menjadikan karya seni sebagai karya yang bukan merupakan wadah ekspresi, apalagi bentuk yang meniru, tapi yang ingin menciptakan bentuk itu sendiri. Di sini bisa dimasukkan Eddie Hara dengan ''cerita-cerita''-nya, juga Heri Dono. Juga Firman dengan karya-karya hitam-putihnya. Dan yang bulan lalu memamerkan patung-patungnya di Jakarta, Anusapati.Tentu, secara visual, bisa saja bentuk-bentuk itu ditemukan pula pada karya generasi sebelumnya. Sosok-sosok dalam karya Eddie Hara ini, umpamanya, bisa saja mirip sosok dalam karya seorang pelukis dari Sanggar Bambu bernama Abdulrahman. Bedanya, Abdulrahman menyelesaikan karyanya dengan tujuan menyuguhkan sesosokbentuk yang artistik, misalnya kepala kuda tapi yang sudah dimencang-mencongkan dan ditambah macam-macam. Kalau toh di sini terbersit cerita, itu sama dengan cerita yang tersirat dari sebuah lukisan potret,misalnya.Sementara itu, Eddie Hara lebih berniat bercerita dengan bentuk-bentuk itu, tak merasa terbebani harus menyuguhkan bentuk yang ''selesai''. Dalam ha berceritanya, karya-karya Eddie Hara bisa dibandingkan dengan lukisan Aborigin. Dari segi komposisi visualnya, inilah karya-karya yang terbebas dari masalah keseimbangan, simetri, gerak, dan aturan komposisi lainnya. Mendekati lukisan anak-anak? Begitulah kira-kira. Maka, dua sosok bermata, bergigi, bertelinga, berbelalai berdialog di antaragaris-garis pendek putih yang hampir memenuhi bidang di antara dua sosok itu.Inilah Adam dan Hawa dan Hujan Asam. Atau lihat sesosok bentuk mirip wayangkulit, yang kepalanya mirip kuda nil, dan ada bentuk hijau seperti sikat gigi.Inilah Monster Bernama Dono.Dan Selamatkanlah Mereka adalah sebuah keramaian sosok fantastis. Ada yang mirip kura-kura bergelantung dengan kaki yang panjang, mirip kucing memuntahkan lidahnya yang panjang, ada juga bentuk belut, dan lain-lain.Inilah semacam mitologi baru yang menyuguhkan sosok-sosok yang bercerita dalam bentuk, garis, dan warna yang lucu, riang, muram dengan hiruk-pikuk. R. Fadjri (Yogyakarta) dan BB (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus