Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tein Saputra punya istilah menarik tentang kawasan Kelapa Gading. ”Kota jadijadian,” demikian menurut lakilaki 43 tahun yang bekerja sebagai petugas keamanan kawasan bisnis dan hunian terpadu di Jakarta Utara itu. Sebab, menurut Tein, yang penduduk asli kawasan itu, hingga 1985 Kelapa Gading masih penuh sawah dan rawarawa—lengkap dengan tumbuhan berduri setinggi dua meter—yang menjadi penampungan air. Pemandangannya lebih mirip hutan. ”Maling masuk tidak terlihat,” katanya.
Masruri, 50 tahun, yang tinggal di Kelapa Gading sejak 20 tahun lalu, pun memiliki kesan serupa. Pada 1990an saja, menurut dia, rawa dan sawah masih membentang. ”Dulu masih gelap, tahutahu gedung tumbuh satu per satu,” kata Masruri, yang sekarang membuka kios rokok di emperan pertokoan.
Kelapa Gading seperti hasil sulap. Rawarawa yang dulu mendominasi kawasan seluas 1.600 hektare itu berubah menjadi hutan beton. Ruang terbuka hijau di kawasan itu tinggal sejumput, digantikan bangunan komersial, perkantoran, dan hunian.
Adalah pengembang PT Summarecon Agung Tbk. yang menjadi perintis. Pengembangan kawasan itu adalah proyek pertama Summarecon, yang berdiri pada 1975. Awalnya hanya 10 hektare yang dibangun, sekarang menjadi 500 hektare. Pertokoan, perumahan, perkantoran, pusat olahraga, semua yang menjadi ciri kota besar, ada di sana. Rawa dan sawah terlupakan sudah.
Pada awal Februari 2007, kawasan itu lumpuh dalam waktu hampir sepekan. Air setinggi badan menggenang, masuk rumah, merendam kendaraan, menutup jalan. Meski banjir bukan cerita baru di ”kota baru” itu dalam 10 tahun terakhir, setiap tahun Kelapa Gading menjadi daerah langganan banjir ketinggian air meningkat dan meluas dari tahun ke tahun. Sewaktu banjir besar pada 2002, genangan air masih setinggi lutut, tapi kini sudah setinggi badan.
Salah siapa? Jelas, pihak pengembang tidak mau disalahkan. Direktur Utama Summarecon, Johanes Mardjuki, menolak jika dianggap menyalahi pedoman tata ruang. ”Jelas kami mengikuti prosedur dan mengantongi izin pemerintah daerah,” katanya. Daya dukung lingkungan pun tetap dipertahankan dan ditingkatkan. Salah satu wujud komitmen adalah pembentukan town management, divisi khusus yang mengelola masalah lingkungan.
Yang dikatakan Johanes masuk akal. Tidak mungkin, pengembangan kawasan dari hanya 10 hektare menjadi 500 hektare tak melalui izin pemerintah. Namun, sudah menjadi rahasia umum bahwa dampak lingkungan memang tidak menjadi prioritas dalam pengembangan dan pemberian izin suatu kawasan. Seperti kata ahli tata kota Yayat Supriatna, faktor lingkungan dalam konteks pengembangan kawasan kerap terpinggirkan oleh faktor ekonomi. ”Tapi pemerintah masih malumalu mengakui lebih memprioritaskan ekonomi,” katanya.
Menurut Yayat, rawarawa yang ampuh menahan air pun dianggap berharga rendah. Sawah juga lebih tidak bernilai ekonomis ketimbang pusat niaga. Dalam hitungan Yayat, lahan satu hektare di Jakarta bisa menghasilkan pendapatan hingga Rp 3 miliar jika difungsikan menjadi lokasi komersial.
Kekuatan kapital memang dahsyat. Meski menjadi langganan banjir, menurut Direktur Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda, nilai aset di Kelapa Gading tahun ini justru naik 11 persen. Harga satu unit hunian mencapai Rp 1 miliar, dan aset properti komersial tentu lebih mahal, hingga Rp 4 miliar. Menurut Ali, tingginya permintaan itu karena lokasi yang sudah terbentuk dan potensi pengembangan yang masih tumbuh. ”Paling cuma saat banjir pindah sementara,” katanya.
Bagi sebagian orang, pilihan berinvestasi di Kelapa Gading juga tak lepas dari posisi ”kepala naga” yang disandangnya, menurut perhitungan feng shui. Posisi itu diyakini membawa hoki. ”Kelapa Gading memang kawasan bagus, ’kepala naga’ hanya kiasan,” kata ahli feng shui, Yun Xiangyi Hong.
Suatu kawasan disebut bagus terutama jika aksesnya bagus. ”Paling jelas ya yang tersambung jalan tol,” tutur Xiangyi. Sedangkan daerah Kemang, Jakarta Selatan, misalnya, dinilai lumayan bagus karena akses ke daerah pusat relatif dekat. Faktor yang menentukan bagustidaknya kawasan adalah gabungan dari akses, permukiman, lingkungan, dan kondisi sosial ekonomi penduduknya.
Yang jelas, daerah di Jakarta yang terkenal atau dipercaya sebagai daerah ”kepala naga” memang menjadi incaran, dan akhirnya berkembang menjadi sentra bisnis. Menyebut di antaranya, selain Kelapa Gading, adalah daerah Kemang, Pondok Indah, Jakarta Selatan; Pluit dan Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Banjir, polusi, dan macet sepertinya tidak relevan lagi.
Perburuan mendapat tempat di area ”kepala naga” tadi pun kerap meminggirkan peruntukan kawasan yang benar. Daerah Kemang, misalnya, pelanpelan beralih fungsi dari daerah permukiman menjadi komersial. Meski pemerintah daerah sudah menyatakan pembangunan kawasan Kemang banyak yang menyimpang dari peruntukan, toh otoritas resmi itu hingga kini belum bisa memutuskan tindakan apa yang akan diterapkan di Kemang. ”Belum, jalan keluar untuk itu belum diputuskan,” kata Kepala Dinas Tata Kota, Wiryatmoko, kepada Tempo.
Nah, karena sudah banyak ketelanjuran, untuk pemerintah, sebagai ”penjaga gawang” tata kota, Yayat mengusulkan kebijakan untuk memberikan disinsentif kepada pengembang suatu kawasan setara dengan perusakan lingkungan yang ditimbulkan. Disinsentif bisa berupa pengelolaan limbah atau penggantian aset lingkungan kawasan semisal ruang terbuka hijau. ”Itu yang paling realistis,” katanya.
Kebijakan yang ideal untuk kawasan menyimpang sebenarnya langkah penyegelan, pembongkaran, dan pemulihan. ”Tapi apa mungkin?” katanya. Menurut dia, pilihan kebijakan realistis bersandar pada pertimbangan bahwa perencana tidak bisa menutup mata terhadap pesatnya perkembangan.
”Jangan ngomongin yang dulu, kondisinya jauh berbeda,” kata Wiryatmoko. Perkembangan Jakarta yang pesat, termasuk pertambahan kendaraan dan penduduk, jelas mendorong terbentuknya kebutuhan terhadap ruang baru. Dan Wiryatmoko meyakinkan, dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah 20102030, akan ada hukuman bagi para perusak lingkungan. ”Intinya, pemerintah menjemput perkembangan baru,” katanya.
Harun Mahbub
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo