Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kami akan jadikan peringatan Hari Ulang Tahun DKI Jakarta sebagai momentum evaluasi untuk membangun Jakarta,” demikian pidato Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dalam sambutan Apel Ulang Tahun Kota Jakarta ke482 di Lapangan Monas pada 22 Juni lalu.
Jika benar isi pidato Fauzi Bowo, evaluasi serius harus benarbenar diterapkan. Sebab, 80 persen pembangunan tata ruang kota tidak sesuai dengan tata ruang. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta secara sepihak mengubah peruntukan lahan, seperti dari kawasan permukiman menjadi kawasan jasa dan niaga.
Hal ini secara nyata terlihat pada rencana target pembangunan ruang terbuka hijau (RTH) yang terus merosot. Dalam Rencana Induk Djakarta 19651985, ruang terbuka hijau 37,2 persen, lalu pada Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta 19852005: 25,85 persen, namun dalam Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 20002010, malah turun jadi 13,94 persen. Fakta di lapangan ruang terbuka hijau hanya 10 persen (2009), jauh dari target ideal yang disyaratkan UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yaitu 30 persen.
Akibatnya, lebih dari 70 persen wilayah DKI Jakarta rawan banjir karena banyaknya ruang terbuka hijau berupa taman, hutan, dan situ sebagai daerah resapan air yang hilang. Yang menggantikan adalah jalan, gedung bertingkat, perumahan, dan pusat belanja yang megah. Okupasi ruang terbuka hijau dan buruknya jaringan saluran air kota berakibat makin luasnya areal yang tergenang, frekuensi banjir pun makin sering, dan waktu surut makin lama. Hujan dalam tempo satudua jam sudah cukup melumpuhkan Jakarta.
Di samping itu, berkurangnya kawasan hutan lindung pantai dan hutan bakau membuat kawasan pantai utara Jakarta terus digerus abrasi pantai 0,51 meter masuk ke daratan, per tahun. Permukaan tanah menurun 810 sentimeter per tahun. Penduduk Jakarta sudah lama kesulitan air bersih akibat intrusi air laut sudah mencapai 14 kilometer, atau menjangkau hingga sepertiga wilayah Jakarta—sampai sekitar kawasan Monas. Air tanah tercemar bakteri ecoli (80 persen), zat besi, dan mangan.
Kemacetan total lalu lintas yang diprediksi akan terjadi pada 2014 justru semakin mendekati kenyataan pada harihari ini. Pemerintah daerah tetap menjalankan kebijakan proekonomi ketimbang proekologi, dengan memutihkan yang hijau—mengubahnya menjadi kawasan komersial.
Agar terhindar dari semua ”bencana” itu, arah pembangunan Jakarta, sebagai habitat tempat hidup bersama harus berbasis pada pembangunan sistem jaringan transportasi massal (bus rapid transit, mass rapid transit, light railway, waterway) dengan bahan bakar alternatif. Karena transportasi dan tata ruang kota merupakan dua sisi mata uang, sehingga keduanya harus sinkron. Perumahan rakyat (rumah hijau), jalur pejalan kaki, dan jalur sepeda dibangun di sepanjang koridor busway atau dekat stasiun kereta api.
Ruang terbuka hijau harus memiliki porsi memadai (publik 20 persen, dan privat 10 persen). Perangkat infrastruktur lainnya juga dijalankan terintegrasi, seperti pengelolaan air bersih, pengembangan ekodrainase (zero run off—reduce, reuse, recycle, recharge, recovery) dan sampah ramah lingkungan (reduce, reuse, recycle), serta pengembangan kota berbasis energi alternatif (biogas, biofuel, surya, angin, air).
Sebagai upaya peremajaan kota, pembangunan kawasan terpadu (superblok, campursari) di pusatpusat simpul transportasi di tengah kota yang padat (kompak) akan berpotensi menurunkan penggunaan kendaraan pribadi dan lahan parkir. Penghuni cukup berjalan kaki di trotoar yang lebar, teduh, aman dan nyaman atau bersepeda di jalur sepeda menuju ke berbagai tempat tujuan (pasar, sekolah, kantor) dalam satu kawasan. Bebas macet, udara segar.
Jakarta tidak akan pernah mati, tetapi ia akan terus tumbuh dan berkembang menuju puncak peradaban kotakota di dunia. Untuk mencapainya, kita lihat apakah Gubernur Fauzi Bowo melakukan evaluasi dan menjalankan kebijakan sesuai dengan pidato yang dia ucapkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo