Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsitektur

Situku Sayang, Situku Hilang

Komunitas Peta Hijau membuat peta hijau situ di Jakarta untuk mengingatkan pentingnya situ bagi kelestarian kota. Enam situ telah lenyap.

20 Juli 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WARNA airnya hitam pekat. Di sepanjang pinggiran situ terlihat tumpukan sampah plastik, potongan sayuran, dan sisa makanan. Tumpukan sampah ini menjorok ke bagian danau dan memakan permukaan situ hingga lima meter. Sepintas, melihat kondisinya, Situ Ria Rio ini tak ubahnya kolam comberan raksasa. Aromanya pun sungguh tak sedap. Bau busuk berebutan menusuk hidung.

Tak hanya itu. Luas situ ini dari tahun ke tahun juga menyusut, dari sembilan hektare kini tinggal separuhnya saja. Selain itu, danau ini pun mengalami pendangkalan. Satu penyebabnya adalah got yang mengucuri situ itu membawa berbagai material yang membuatnya makin cetek. Air yang datang adalah buangan dari perumahan warga yang terletak di utara situ.

Pemandangan di situ yang juga disebut Situ Pedongkelan ini pun kian tak enak dilihat mata. Kakus kayu yang berderet di tepian situ adalah penyebab lain. Di sinilah, warga yang tinggal di gubukgubuk liar membuang hajat. Di balik tripleks setinggi 30 sentimeter, ditemani rokok dan kain sarung, mereka asyik buang air besar sambil menik­mati langit biru keabuabuan di metropolitan Jakarta.

Keadaan ini tentu saja berbeda dengan yang terjadi sepuluh tahun silam. Menurut seorang warga yang tinggal di permukiman pinggiran danau, saat itu keadaan danau ini masih terbilang asri. Tak beda dengan daerah wisata. Ada perahu bebek dan rumah makan. ”Dulu letaknya di seberang sana,” katanya menunjuk ke arah utara waduk.

Kondisi situ mulai berubah setelah bermunculan penghuni liar yang membangun gubuk di sepanjang situ. Pelan dan pasti, kehadiran mereka beserta anjungan hajatnya berhasil mengusir rumah makan dan air yang bening itu. Alhasil, kini yang tersisa hanyalah tumpukan sampah, anjungan buang hajat, dan air yang hitam pekat.

Itu adalah wajah Danau Ria Rio yang paling mutakhir. Relawan Peta Hijau Jakarta, yang menyambangi situ yang terletak di sudut persimpangan jalan yang biasa disebut perempatan CocaCola, tak jauh dari ITC Cempaka Mas, Jakarta Timur, pada Mei lalu, terpaksa menutup hidung sembari gelenggeleng kepala.

Danau Ria Rio merupakan salah satu situ di Jakarta yang bernasib buruk. Bila dibiarkan, tentu nasibnya tidak jauh dengan yang terjadi pada situ di Kelapa Gading Barat, Rawa Terate, Jatinegara, Ulujami, Cilandak Timur, dan Cilandak Barat. Situ di enam tempat itu kini hanya menyisakan kenang­an. Tanah yang cekung itu kini berubah menjadi lahan kebun bahkan berdiri bangunan.

Keberadaan situ di Jakarta mendadak menjadi perhatian banyak pihak setelah peristiwa Situ Gintung di Ciputat, Tangerang, Maret lalu. Tragedi yang berawal dari jebolnya tanggul situ tersebut menewaskan puluhan penduduk sekitar, dan menyadarkan betapa negeri ini menyianyiakan situ.

Padahal, menilik sejarahnya, situ dibuat pemerintah Belanda sebagai tempat resapan air, penyuplai air tanah, dan juga sebagai penampungan air hujan. Garagara pengelolaan yang keliru dan keteledoran masyarakatnya, tak pelak situ berubah menjadi sumber bencana.

Kenyataan itulah yang menggerakkan Komunitas Peta Hijau Jakarta membuat sebuah peta hijau dengan fokus pada situ Jakarta dan sekitarnya, yang dimulai sejak April hingga Juni. Mereka sebelumnya telah membuat peta hijau transportasi.

Seperti yang sudahsudah, dari penelusuran kelompok ini mereka menambahi berbagai informasi terhadap situ, termasuk kondisi situ secara keseluruhan. Mereka pun memberikan penghargaan terhadap sepuluh situ, dari 52 situ yang mereka survei, sebagai tempat yang dianggap menarik untuk dikunjungi.

Bekal mereka salah satunya adalah Peta Megapolitan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Karawang, Kota Cianjur, yang disusun Dr Radika Mastra, dan diterbitkan pada 2007. Dari peta itu pula 25 orang relawan mulai bekerja. Dengan tekun mereka menelusuri berbagai situ di Jakarta yang ada dalam buku peta itu.

Seperti adegan perburuan harta karun, para relawan asyik mencocokkan lokasi situ sesuai dengan petunjuk peta, dengan kenyataan yang ada. Para relawan pun tersenyum senang. Situ yang berada di kawasan Pulomas, Jakarta Timur, sungguh memikat mata. Situ yang terletak hanya satu kilometer dari Danau Ria Rio ini memiliki pemandangan yang permai nan sejuk. Air situnya beriakriak kecil. Di sekitar situ terdapat lapangan golf dan pacuan kuda. Akhirnya ditemukan juga situ yang ”hidup layak”.

Sayangnya, untuk masuk ke situ, pe­ngunjung harus memiliki izin dari pe­ngelola pacuan kuda. Tim penyusun peta pun memberikan catatan, meski terawat, situ ini tidak memberi penduduk akses ruang terbuka.

Begitu pula Situ Lembang, yang terletak di kawasan elite pada 1960an. Hingga kini situ itu tetap terjaga keindahannya, menjadi ruang terbuka yang ramai dikunjungi orang. Namun, setelah pukul sembilan malam, pintu menuju kawasan ini ditutup petugas keamanan.

Pada kesempatan lain, tim relawan mendadak kaget luar biasa. Salah satunya ketika mendatangi situ yang terletak di pinggir Kali Sunter. Dalam peta itu, danau ini ditandai dengan warna biru muda. Artinya, menurut legenda sebagai daerah air. Kenyataannya, di sana tak ada lagi genangan air. Yang ada hanyalah semaksemak yang ditumbuhi pepohonan dan dibatasi tembok. Setelah melongok ke dalam, di balik tembok itu hanya terlihat tumpukan sampah.

Keadaan ini jelas memprihatinkan. Situ sebagai ruang terbuka hijau sudah berubah menjadi tempat bermukim. Fungsi sebagai daerah resapan air pun lenyap.

Situ yang telanjur menjadi bangunan beton, kumuh tak terawat, atau kondisi lain yang menyimpang dari fungsi asalnya, merupakan kenyataan pahit betapa kacaunya perencanaan kota. Perubahan kondisi ini tentu saja memperburuk kualitas lingkungan di Jakarta. Menanggapi keluhan itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi DKI Jakarta Ir Nurfakih Wi­riawan mengungkapkan, untuk membenahi situ di Jakarta sebagai ruang terbuka bagi publik dibutuhkan biaya yang teramat besar.

Dia menunjuk contoh Taman Ayo­dy­a di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pembangunan fisiknya memang­ hanya membutuhkan biaya Rp 2 miliar. Yang mahal di luar itu. Menurut standar Bank Dunia, untuk kebutuhan relokasi mereka menetapkan angka Rp 1,3 triliun. ”Barangkali dibutuhkan lebih besar dari angka itu,” katanya.

Biaya itu dipakai untuk memindah­kan penduduk yang sudah telanjur mendiami kawasan itu, membebaskan lahan, menata infrastrukturnya, dan tentu saja untuk pembangunan dan perawatannya.

Memang, untuk hitungan masa sekarang, angka tersebut bisa dibilang mahal. Tapi sesungguhnya semua itu adalah investasi di masa depan, demi menciptakan Jakarta menjadi sebuah kota yang jauh lebih sehat dan juga indah. Dan investasi hijau selalu lebih murah ketimbang harga bencana yang diakibatkan oleh penyimpangan fungsi ruang terbuka hijau kota, termasuk situ.

Irfan Budiman, Iqbal Muhtarom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus