BIARKAN BULAN ITU Pemain: El Manik, Rima Melati, Marissa Haque, Ikang Fauzi Cerita/Skenario: Arifin C. Noor Sutradara: Arifin C. Noor APA yang terjadi kalau seorang lelaki setengah baya benci dan takut pada rumahnya sendiri ? Lewat Bulan, sutradara Arifin C. Noor berusaha menjawab pertanyaan ini, antaranya dengan dialog yang kuat dan gambar-gambar yang bagus. Dalam filmnya terdahulu Matahari Matahari ia menampilkan wanita desa bisu (yang bisa ditafsirkan sebagai simbol the silent majority di Indonesia), sedangkan dalam Bulan ia merasa perlu menyuarakan hati nurani tokoh utama, pengusaha kaya bernama Dayan. Film justru dibuka dengan monolog itu, yang kemudian dalam beberapa bagian lain sambung-bersambung secara pas dengan dialog biasa. Satu hal baru yang menarik perhatian, meski porsinya terkadang agak berlebihan. Arifin C. Noor -- di samping Sjumandjaja adalah sutradara yang tekun mengangkat problem masyarakat ke layar perak. Dalam Matahan Matahari ia menyajikan masalah urbanisasi, dalam Suci Sang Primadona seluk-beluk kehidupan sandiwara rakyat, dalam Bulan mengetengahkan profil keluarga kelas atas di negeri ini. Terasa ada usaha menerobos ke semua lapisan, setidaknya untuk memotret kalangan elite secara khas Arifin. Sekalipun begitu, Bulan tidak murni gambaran elite Indonesia kini. Dayan, tokoh utamanya, (diperankan El Manik) berasal dari kelas bawah, beristrikan Anneke (Rima Melati) yang kebetulan anak keluarga kaya. Perkawinan mereka tidak direstui ibu Anneke, tapi film ini tidak bicara soal rumah tangga yang terancam bom waktu pertentangan kelas. Arifin justru menghadirkan tema paling laris dewasa ini (di dalam dan di luar film): broken home. Dan penyebabnya juga paling banyak diperbincangkan dewasa ini (di luar film terutama), yakni kesibukan wanita karier. Wajar kalau Arifin tergoda untuk memfilmkan, kendati yang muncul cuma Anneke yang berpakaian mewah, tiap kali pulang pagi, dan punya pacar gelap tentu saja. Penonton tidak sempat diperkenalkan pada karier yang digeluti Anneke (seminaris tok?) atau bidang usaha yang konon dibelanya habis-habisan siang malam. Monolog, yang pada dasarnya berfungsi untuk memberi informasi tentang kecamuk jiwa Dayan, ternyata tidak pula sepenuhnya bisa menunjang. Rangkaian sebab-akibat memang boleh saja disingkirkan, tapi penonton tetap saja diganggu pertanyaan lain. Mengapa Dayan, misalnya, curiga pada sikap hormat semua orang bawahannya, tapi pada saat yang sama bisa menerima dengan tulus layanan dan senyum berlebihan dari sekretarisnya, Dewi (dimainkan Marissa Haque). Mengapa ia perlu benar menghiraukan keadaan sekitar rumah rakyat nun jauh di bawah kantornya yang bertingkat tapi ia tidak berusaha mencari tahu di mana dan mengapa anak bungsunya, Ari, tidak pulang-pulang? Mengapa sekadar untuk seminar (tentang wanita dengan peserta semuanya wanita) Anneke baru bisa pulang ke rumah pukul 2.30 dinihari (tanpa informasi lain-lain) ? Film ini mengulangi kecenderungan umum: menempatkan wanita karier pada titik sentral keberantakan keluarga. Pada saat yang sama, Bulan tergelincir pada hal-hal ekstrem: menjadikan sang anak sebagai tumbal kebahagiaan ibu bapaknya (Ari mati, kepalanya ditembus peluru akibat permainan rulet Rusia) seorang sekretaris muda dan cantik, siap mental untuk menjadi tumbal demi kebahagiaan bosnya seorang pemuda idealis, Ferry (Ikang Fauzi), justru mengorbankan kekasihnya (sekretaris itu) untuk menjadi tumbal bagi kehormatan seorang anggota keluarganya yang telanjur dihamili pemuda lain. Dayan tidak pula kurang ekstrem. Seperti anaknya, ia senang main pistol, setidaknya ketika melampiaskan kejengkelan pada istri dan pemuda idealis yang mengaku sebagai makhluk ruang angkasa itu. Serba ekstrem itu juga bisa ditemukan dalam Matahari Matahari: Aom tidak cuma bodoh tapi bisu Warga, suaminya, lugu dan nekat dan si gadis gila itu bagaikan Socrates, cukup cerdas untuk mempertanyakan segalanya, tapi sayang, tidak cukup bijak untuk menemukan sendiri jawabannya. Jika ditelusuri ke belakang, Suci masih tetap potret yang terbaik. Di situ berbagai nuansa terolah dengan wajar, antara lain karena keruwetan sosial psikologis tidak digarap secara hitam putih. Ada ketajaman persepsi, ada pendekatan saksama terhadap tokoh-tokohnya, sesuatu yang tidak terlihat dalam Bulan. Jika saja Arifin menggarap film ini sebagai tragi-komedi atau barangkali juga komedi satire, mungkin akan lebih cocok. Kisah cinta segi empat (lima?) Dayan istrinya wanita karier sekretaris gila harta dan pemuda idealis itu tampaknya akan lebih mengena bila digarap dengan sentuhan olok-olok, yang dipertajam dengan sindiran di sana-sini. Skenarionya sendiri memungkinkan hal itu, sementara kekuatan dialognya justru membuat film ini jadi tontonan mengasyikkan. Apalagi kalau diperhitungkan bahwa Rima cukup teruji untuk peran kocak (Pinangan), begitu pula El Manik (Bintang Kejora). Tapi sutradara menghendaki sentuhan dramatis yang digerakkan semangat seorang hakim ketika menjatuhkan vonis. Maka, jadilah Bulan itu mirip dengan bulan yang selama ini kita kenal: dramatis, liris, dan, sekali-sekali, romantis. Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini