Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Pendekar yang bermarkas di rawa-rawa

Pengarang: shih nai-an jakarta: pustaka grafitipers, 1986 resensi oleh: a. dahana.

14 Februari 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BATAS AIR Oleh: Shih Nai-an Terjemahan: A. Setiawan Abadi Penerbit: PT Pustaka Grafitipers, Jakarta, 1986, 271 halaman HINGGA jatuhnya ahala Qing, 1911, yang menandai berakhirnya sistem kekaisaran di Tiongkok, pemberontakan petani berulang terus di negeri itu. Jatuh-bangunnya sebuah dinasti memang lantaran pemberontakan petani tersebut. Proses keruntuhan ahala Qing (1644 -- 1911), selain akibat tekanan dari luar, misalnya karena datangnya orang Barat, juga dimulai sejak Pemberontakan Taiping, di pertengahan abad ke-19. Melemahnya kekaisaran itu diperhebat oleh Pemberontakan Boxer (Yihetuan), menjelang akhir abad silam. Demikian hebat pemberontakan petani (nongmin qiyi) yang populer itu, hingga para sejarawan Marxis Tiongkok melihatnya sebagai pemegang peran utama - kalau bukan satu-satunya - dalam dinamika sejarah politik dan sosial Tiongkok. Satu dari sekian dampak sampmg dari perang ini tercermin pula dalam kesusastraannya. Ccrita-cerita rakyat tradisional, ditaburi warna dongeng, yang diangkat dan sejarah: tentang para pendekar petani membela rakyat yang ditindas kaisar dan administraturnya. Para pendekar, umumnya, digambarkan sebagai jawara yang merampok orang kaya dan pejabat korup kemudian membagi-bagikan harta jarahan mereka kepada rakyat miskin. Pendeknya, mirip petualangan Robin Hood yang bergerilya di hutan Sherwood melawan kekejaman sheriff dari Nottingham. Batas Air merupakan cerita kepahlawanan yang membela rakyat kecil. Malah para ahli sastra Tiongkok, di Barat, menganggap novel ini setaraf dengan "Kisah Tiga Negara" (Sango Yanyi) yang klasik itu. Di Indonesia kisah ini lebih dikenal dengan judul Sam Kok. Batas Air mengisahkan 108 pendekar yang berjuang melawan kekejaman para penguasa daerah zaman ahala Song Utara (960-1127). Buku pertama, yang baru saja terbit, menuturkan terbentuknya sebuah gerombolan penyamun, sampai mereka bermarkas di rawa-rawa Liangshan (sekarang: Kabupaten Liangshan di Provinsi Shandong). Ceritanya diawali dengan munculnya tokoh-tokoh utama, seperti Song Jiang (dalam buku: Sung Chiang), Yang Zhi (Yang Chih), Shi Jin (Shih Chin), pendeta pemabuk Lu Da (Lu Ta), dan Lin Zho`ng (Lin Chung). Orang bisa pusing membaca cerita seperti Batas Air ini, karena banyaknya tokoh yang dikisahkan. Tapi ada yang membantu memperlancar, karena pada halaman-halaman awal kita bisa mengecek daftar jawara Liangshan, yang akan muncul pada bab keberapa. Ada pula daftar yang memuat nama-nama pelaku yang tak termasuk dalam gerombolan Liangshan. Tapi kesulitan mengingat nama-nama seperti itu adalah hal biasa bila kita membaca cerita silat. Banyak teori mengenai buku ini. Menurut sastrawan Tiongkok terkenal, Lu Xun, nama asli Nai-an adalah fiktif. Para pembaca, di kurun berikutnya, menambah riwayat buku itu dengan menyatakan bahwa Shi Nai-an adalah guru Luo Guanzhong, penulis atau penyunting sebenarnya buku itu. Ia, mungkin, hidup pada abad ke-13. Di kalangan rakyat, buku ini sangat populer dan sering diceritakan oleh para juru dongeng. Konon, selagi mudanya, Mao Zedong begitu gandrung pada cerita-cerita semacam Batas Air ini. Hingga, gagasannya tentang petani Tiongkok, yang kata Mao sebagai "sokoguru revolusi", diilhami novel-novel seperti itu. Setahun sebelum meninggal, pada September 1975, Mao mencanangkan komando kepada seluruh rakyat untuk mempelajari dan mengkritik novel itu. Menurut para pengamat, kampanye Mao itu sebenarnya ditujukan kepada dua tokoh pembaru yakni Zhou Enlai yang sedang sakit dan Deng Xiaoping yang baru saja dipecat untuk kedua kalinya. Tokoh novel itu yang dikritik adalah Song Jiang (Sung Chiang). Ia dicap sebagai sosok "kapitulasionis" terhadap "kelas tuan tanah dan feodal". Sebabnya ialah, Song Jian, begitu merebut pimpinan dalam gerombolan penyamun Liangshan, segera mengubah balairung Zhu Yi (bersatu mengadakan pemberontakan), menjadi balairung Zhong Yi (setia kepada kaisar). Novel yang judul aslinya Shui Hu Chuan, ini telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Versi Inggrisnya antara lain berjudul Water Margin, All Men Are Brothers, dan Men of the Marshes. Malah versi bahasa Jepangnya sudah terbit sejak 1728. Setiawan Abadi berhasil menyajikan novel klasik yang masyhur ini ke dalam bahasa Indonesia yang baik. Terjemahannya hidup dan lancar. Kalaupun dapat disebut kelemahan kecil, itu ada beberapa. Misalnya mengambil alih kata-kata Inggris asal comot saja. Setiawan telah menyajikan kepada kita "cerita silat sekolahan". Kita tunggu terbitan tiga jilid berikutnya. Mudah-mudahan tak lama lagi. A. Dahana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus