DALAM menilai kesatuan dan persatuan Indonesia, sering diadakan perbandingan dengan negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Prancis, Jepang, dan Malaysia. Perbandingan itu bukan perbandingan yang seimbang. Agar kenyataan-kenyataan yang bersangkutan lebih teperhatikan perbandingan itu seharusnya dibuat dengan keadaan penduduk di seluruh Benua Eropa, tempat terdapatnya -- seperti juga di Indonesia puluhan tahun yang lalu -- suatu gerakan untuk mengikat penduduk yang beraneka ragam. Apakah persamaan penduduk di wilayah negara kita dengan penduduk Benua Eropa? Pertama, seperti penduduk Eropa, penduduk Indonesia terbagi dalam ras berbeda-beda: ras pribumi, seperti Melayu dan Melanesia ras yang berasal dari luar kepulauan, seperti Mongol, Semit, dan Eropa dan penduduk campuran. Sesungguhnya, dalam kenyataan, sering sukar menggolongkan orang-orang tertentu ke dalam ras "asli" pribumi atau campuran, mengingat perkawinan antara orang pribumi dan orang dari luar telah berlangsung berabad-abad. Kedua, seperti penduduk di Eropa, penduduk Kepulauan Indonesia mewujudkan keanekaragaman bahasa dan kebudayaan. Dengan sendirinya penduduk yang dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan budaya daerah tertentu terbiasa dengan bahasa dan kebudayaan sendiri - seperti keterkaitan orang Prancis pada bahasa dan kebudayaan Prancis dan orang Jerman pada bahasa dan kebudayaan Jerman. Di Benua Eropa terdapat berbagai bahasa, dengan mula-mula bahasa Latin, lalu bahasa Prancis, dan sekarang bahasa Inggris, sebagai bahasa pergaulan antarbangsa. Di Indonesia juga terdapat bahasa yang berbeda-beda, dengan mula-mula bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan antarbangsa, dan sekarang bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Ketiga, seperti penduduk Benua Eropa, tidak sekalian penduduk Indonesia menganut agama yang sama, meskipun, seperti juga di Eropa, ada satu agama yang penganutnya paling banyak. Tapi, berbeda dengan penduduk Indonesia, penduduk Benua Eropa mewujudkan berbagai negara. Ketika pada hampir 60 tahun yang lalu para pemuda yang berkumpul di Jakarta menyatakan ikrar persatuan bangsa kita, di kepulauan kita pun terdapat berbagai negara. Di Sumatera negara Aceh telah ditumpas penjajah Belanda, tapi negara-negara Deli, Langkat, Serdang, Asahan, Siak Sri Indrapura, Pelalawan, Indragiri, masih ada. Di Jawa terdapat negara-negara Surakarta, Yogyakarta, Pakualam, dan Mangkunegara. Di Kalimantan terdapat negara-negara Pontianak, Sambas, Mampawah, Kutai, Bulungan. Di Bali, dalam pada itu, terdapat negara-negara Klungkung, Karangasem, Gianyar, Badung, Bangli, Buleleng, Jembrana, Tabanan. Di Nusa Tenggara terdapat Sumbawa, Bima, Dompo. Di Sulawesi terdapat negara-negara Bolaang Mongondow, Kaidipan Besar, Gowa, Bone, Wajo, Buol. Di Kepulauan Maluku terdapat negara-negara Ternate, Tidore, dan Bacan. Masih ada lagi berbagai negara kecil, di samping berbagai negara yang pernah ada tapi sudah ditumpas oleh kekuasaan Belanda, seperti negara-negara di Pulau Madura. Di Eropa pun, tidak semua negara berwilayah luas. Sudah sejak beberapa abad yang lalu muncul ide mempersatukan penduduk Eropa menjadi satu masyarakat, satu bangsa. Pengalaman pahit Perang Dunia I dan Perang Dunia II menambah keyakinan orang Eropa untuk memperjuangkan pembentukan suatu masyarakat Eropa yang lebih mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan negara masing-masing. Sampai kini, perjuangan persatuan Eropa hanya menghasilkan apa yang dinamakan Masyarakat Ekonomi Eropa, yang tidak beranggotakan sekalian negara di Eropa (bahkan negara-negara sosialis mempunyai masyarakat ekonomi tersendiri), dan suatu parlemen Eropa yang boleh dikatakan tidak banyak pengaruhnya pada kehidupan penduduk Benua Eropa. Di kalangan kita, para pemuda yang bercita-cita tinggi, bersama orang-orang yang lebih tua, memperjuangkan persatuan sekalian penduduk Kepulauan Indonesia dan pembebasan mereka dari kekuasaan Belanda. Pada akhir Perang Dunia II, kita berhasil mendirikan negara merdeka Republik Indonesia, yang hendak dipecah-belah oleh kekuasaan Belanda dengan penciptaan sejumlah negara boneka. Usaha Belanda gagal, dan pada 17 Agustus 1950 negara federal berubah menjadi negara persatuan kembali. Kita dapat bersyukur dengan keberhasilan kita dalam menumpahkan satu bangsa Indonesia yang bersatu, yang mempunyai satu ideologi nasional, satu undang-undang dasar, satu perangkat lambang nasional, satu bahasa persatuan, satu kebudayaan nasional satu hukum nasional, satu pemerintahan nasional, satu dewan perwakilan rakyat nasional, satu angkatan bersenjata nasional, satu sistem peradilan nasional, satu sistem pendidikan nasional, satu sistem ekonomi nasional, satu mata uang nasional, dan juga satu identitas nasional. Masih bertahannya bahasa daerah dan kebudayaan daerah tidak mengurangi kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia, malah menjadikan bangsa ini lebih kaya dalam ungkapan budaya. Di samping bahasa dan kebudayaan nasional yang mempersatukan kita semua "dari Sabang sampai ke Merauke", kita masih memiliki keanekaragaman ungkapan budaya. Yang merongrong kesatuan dan persatuan bangsa kita bukanlah keanekaragaman ungkapan budaya, melainkan geala-gejala psikologi dan sosial yang terwujud sebagai rasialisme. Rasialisme ini terasa dengan adanya anggapan bahwa bangsa Indonesia merupakan satu ras, sehingga orang-orang dari ras lain atau keturunan ras lain tidak dapat merupakan bagian bangsa kita atau, jika pun bisa, hanya dapat menjadi bagian yang harus diperlakukan secara khusus. Gejala merongrong lainnya ialah etnosentrisme atau kecenderungan menganggap kebudayaan daerah sendiri sebagai satu-satunya kebudayaan yang wajar. Dengan tetap mengingat kelemahan-kelemahan yang terwujud dalam pergaulan sehari-hari, rasialisme, dan etnosentrisme, kita masih dapat menunjuk kenyataan bahwa penduduk di wilayah negara kita memang telah menjadi satu bangsa yang, dengan usaha kita bersama, di kemudian hari akan lebih bersatu dengan tetap mempertahankan keanekaragamannya. Bandingkanlah dengan keadaan penduduk di Benua Eropa - agar masalah-masalah yang dihadapi para pejuang gerakan kebangsaan kita di masa lampau menjadi lebih jelas, dan keberhasilan yang dicapai sampai kini menjadi lebih nyata. Penulis adalah guru besar sosiologi dan sejarah masyarakat pada Universitas Indonesia, Jakarta. Tulisan ini akan ditanggapi oleh Mochtar Kusumaatmadja Mattulada, Harry Tjan Silalahi, A.A. Navis, Ajip Rosidi, dan Karkono Kamadjaja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini