Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Dunia kang-ouw

Buku "108 pendekar gunung liang san" saduran dhyana dari buku shui hu chuan, kurang serius penyajiannya dibanding buku "batas air" terjemahan a setiawan abadi. keindahan sastranya tidak muncul. (bk)

14 Februari 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUAT pembaca Indonesia khususnya penggemar cerita silat, kisah perjuangan 108 satria Gunung Liang Shan Po ini sudah lama dikenal. Buku Shui HM Chuan setidaknya sudah dua kali diterjemahkan, sebelum Batas Air terjemahan A. Setiawan Abadi ini. Dan selain itu beberapa waktu lalu sebuah film silat Hong Kong yang mengisahkan awal-awal kisah, juga beredar di Indonesia. Terjemahan terakhir, oleh Dhyana (dibantu Yue Hwa), pada 1971 berbentuk serial dengan bentuk dan gaya cerita silat. Seperti banyak cerita silat lain, penerbit buku terjemahan ini tidak jelas. Sang penerjemah, selain memberi pengantar, yang antara lain memberikan latar belakang sejarah dinasti Sung, melengkapi dan mengolah terjemahannya dengan beberapa literatur tambahan, terutama tentang sejarah dan sastra Cina. Akibatnya, ini lebih merupakan saduran. Penerjemah, selain menyingkat cerita, juga banyak sekali menyusupkan komentar-komentarnya dalam karyanya. Bahkan Dhyana tak segan-segan mencantumkan fotonya dalam salah satu seri terjemaban ini sembari mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri.... Dengan begitu, dibanding Batas Air saduran Dhyana jauh dari serius. Hingga keindahan karya sastra abad ke-13 ini sama sekali tidak muncul, seperti yang tampak pada terjemahan Setiawan Abadi ini. Dhyana, yang juga banyak menulis cerita silat, memberi judul 10 Pendekar Gunung Liang San pada sadurannya ini. Semangat sadurannya adalah semangat cerita silat, hingga yang muncul kemudian memang cerita tentang dunia kang-ouw. Dalam Batas Air, misalnya, disebutkan seorang yang mahir "ilmu militer", tapi dalam 108 Pendekar Gunung Liang San ia disebut mahir bersilat. Jika Setiawan Abadi mentah-mentah menerjemahkan penguasa gunung sebagai "bandit", Dhyana menamakannya hoohan (orang gagah). Ini yang sangat membedakan kedua buku ini. Cerita silat saduran Dhyana memang bersifat kepahlawanan, dan jelas mengungkapkan bahwa para jagoan yang berkumpul di Gunung Liang Shan memang bersatu melawan kezaliman dan penindasan. Dan tentu saja para jagoan tersebut cukup lihai, mahir "ilmu mengentengkan tubuh", dan bisa memukul dengan tipu silat Thay San Ap Teng alias Gunung Thay San Menindih Batok Kepala - yang sama sekali tidak bisa ditemukan di Batas Air. Di dunia cerita silat Indonesia, 108 Pendekar Gunung Liang San digolongkan dalam "cerita silat sejarah", seperti juga Sam Kok. Mungkin karena tokohnya begitu banyak dan adegan silatnya kurang menarik, di kalangan pecandu cerita silat Indonesia buku ini kurang laku. Terbitnya Batas Air jelas akan lebih memperluas jelajah pembacanya, termasuk mereka yang selama ini anti membaca cerita silat. Susanto Pudjomartono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus