Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Big Band ala Mery

Jarang komposer muda kita mengaransemen komposisi dalam format big band. Mery Kasiman melakukannya. Enak, meski kurang liar.

23 Agustus 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIUPAN para pemain brass section nyaring mengumandang. Dua trompet, dua trombon, dan dua saksofon melebur menjadi satu. Tak ketinggalan klarinet tiupan Eugene Bounty mewakili golongan woodwind. Bersama, mereka membuka lagu Giant Steps karya saksofonis Amerika, John Coltrane. Bergabung dengan tabuhan cepat drum Sandy Winarta, jadilah unsur ritmis dan harmoni meriuhkan ruang pertunjukan GoetheHaus, Kamis dua pekan lalu.

Lalu melodi gitar nan cepat mengalir dari jemari Robert Mulyarahardja. Denting piano Ali Akbar Sugiri memberikan rhythm yang didukung permainan bas Barry Likumahuwa. Tiba-tiba bas bermain solo. Betotan pemain bas yang menjadi bintang tamu ini begitu kuat. Kadang ia memetik dua senar bersamaan dalam tempo cepat. Tak mau ketinggalan, drum bermain solo dengan cepat di antara jeda pengulangan nada-nada dari musisi lain.

Sekitar 300 penonton pun terkesima menyimak lagu ini. Lagu ini seperti menjadi puncak penampilan para musisi yang tergabung dalam Mery Kasiman Project. Sang pemimpin, Mery, 28 tahun, yang biasa menjadi pianis, memilih menjadi konduktor pertun jukan. ”Saya ingin menikmati karya saya dengan utuh. Kalau main piano, malah tidak fokus,” ujar Mery, yang belajar piano sejak berusia 7 tahun.

Sembilan lagu, sebagian dibuat master musik dari Institut Musik Daya Indonesia ini sejak 2008, cukup mampu memanaskan penonton, yang sebagian besar anak muda. Dalam pertunjukan berdurasi hampir dua jam itu, penonton terus memberikan sambutan meriah.

Lima komposisi orisinal Mery di awal pertunjukan memang cukup menarik. Terlihat ia berusaha menonjolkan instrumen tiup. Ia menggandeng Harmoniadi dan Wisnu Fajar (trompet), Enggar Widodo dan Widiyekso (trombon), pemain saksofon tenor sekaligus flute, Boyke Priyo Utomo, dan saksofonis Arief Setijadi sebagai bintang tamu. ”Idealnya ada 13 pemain brass sebagai standar big band, tapi pemain yang ada sudah cukup memenuhi,” katanya.

Maka jadilah permainan harmonis para musisi tiup mewarnai seluruh pertunjukan. Semua bermain se suai dengan proporsinya, terasa pas. Kadang salah satu dari mereka membawakan lead melody, kadang pula mereka hanya memberikan tekanan yang memperkaya lagu. Dalam Lilac and Brown, misalnya, permainan trombon Enggar sempat menjadi lead melody yang kemudian digantikan klarinet. Saat gitar Robert bermain solo, brass section menjadi pengiring yang tak terlalu keras.

Pada bagian kedua, dimainkan dua lagu John Coltrane dan pianis Thelonious Monk yang diaransemen Mery. Kali ini, ia menggandeng bintang tamu Riza Arshad (akordeon dan pia no) serta gitaris Dewa Budjana. Dalam Monk’s Mood, kembali Mery menonjolkan brass dan woodwind. Lagu yang aslinya dimainkan dengan piano itu pun menjadi lebih semarak dengan sedikit perubahan birama di bagian depan. Permainan kontrabas Indrawan Tjin dengan bow ikut menghangatkan lagu.

Lalu bergantian Riza dan Budjana bermain solo. Keduanya menghadirkan melodi yang menyayat. Baik Riza maupun Budjana mengakui komposisi John Coltrane dan Thelonious Monk yang diaransemen Mery tak mudah diikuti. ”Aransemennya modern. Saya menemukan banyak chord progresif,” kata Budjana. ”Saya sampai begadang mempelajari aransemennya,” ujar Riza.

Meskipun memberi para musisi kesempatan bermain solo, komposisi yang dibawakan kadang terasa terlalu rapi, terlalu ”sekolahan”. Permainan kolektif yang liar kurang terasa hingga separuh pertunjukan, bahkan bisa terasa terlalu formal. Kadang para pemain masih menunggu aba-aba dari Mery untuk masuk mengiringi pemain solo. Baru setelah para bintang tamu tampil, permainan menjadi lebih meledak.

Debut Mery ini cukup mendapat pengakuan penonton. Satu lagu tambahan, Stella by Starlight karya Victor Young, dibawakan Mery karena penonton enggan meninggalkan tempat duduk. Para musisi senior menilai Mery bisa menjadi penting bagi perkembangan jazz. Apalagi tak banyak komposer muda menghasilkan karya untuk big band. ”Sepanjang dia konsisten, pasti akan jadi hebat,” kata Riza. Tentu, kita menunggu pembuktian itu.

Pramono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus