Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menyimak <font color=#FF3300>Ginastera</font> di Kemayoran

Twilite Orchestra menggelar dua konser perdana. Termasuk karya komponis Argentina yang kaya dengan disonansi.

23 Agustus 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di atas panggung berbentuk elips gedung pertunjukan Aula Simfonia, Kemayoran, Jakarta, yang diselimuti akustik yang susah dicari tandingannya di negeri ini, praktis tak ada lagi yang menghalang-halanginya bersinar te rang. Tampil dalam empat dari enam nomor musik yang dipergelarkan di Aula Simfonia dengan setelan merah-merah menyala, Rama Widi, 24 tahun, merupakan bintang dalam pertunjukan Twilite Orchestra yang dipimpin Addie M.S. pada Jumat malam, awal bulan ini.

Harp Concerto Op 25, karya komponis Argentina, Alberto Ginastera, adalah musik yang memiliki karakter yang sering kita jumpai dalam pertunjukan jazz: untuk setiap instrumen disediakan ruang yang cukup luas buat menunjukkan kepriba dian atau keindahannya masing-masing. Pada partitur, Ginastera memang mengeksplorasi bunyi-bunyian itu dengan semangat empat lima, mungkin dengan sedikit geregetan. Puluhan instrumen Twilite Orchestra dimainkan, terkadang bu nyinya susul-menyusul, terkadang bersahut-sahutan, tapi ini yang istimewa dalam komposisi itu masing-masing tidak lantas kehilang an jati diri atau warnanya sebagai bunyi individu.

Meskipun begitu, dalam konserto ini Alberto Ginastera memperlihatkan sukacitanya yang tinggi kepada dua buah instrumen: harpa dan aneka macam perkusi. Maka malam itu, perhatian penonton yang memenuhi gedung megah berdaya tampung 1.400 tempat duduk itu pun langsung tertuju pada dua sejoli di titik pusat orkestra itu: Rama beserta harpanya yang kuning berkilau.

Tongkat di tangan konduktor Addie M.S. bergerak, dan Rama, sang solois dalam konserto itu, pun cepat terjun ke dalam suatu arena yang kelihatannya seperti pusaran konflik. Harp Concerto Op 25 bagian pertama dimulai dengan sepotong ”drama” yang mengejutkan: Rama Widi yang memainkan potongan melodi yang terdengar gagah dan ritmis itu tiba-tiba mendapati dirinya berhadap-hadapan dengan segenap anggota Twilite Orchestra. Dalam sebuah pitch yang jauh di atas normal, mereka menabuh alat musiknya serentak dalam satu entakan, seakan mengiris-iris melodi yang dibawakan sang solois.

Trompet yang dipampatkan dengan hammond mute (piring penutup), alat-alat gesek yang menghasilkan nada-nada tertinggi, dan perkusi mungkin mereka orang yang paling sibuk saat itu menyalak keras dalam permainan sinkopasi yang memukau. Harus diakui, bagian ini menuntut kepemimpinan konduktor yang baik dan juga koordinasi tinggi di antara para anggota orkestra. Apa yang hendak disampaikan sang komponis dalam karyanya ini?

Membagi konserto ini dalam tiga bagian (movement), Alberto Ginastera kemudian menyodorkan ”drama” selanjutnya yang mungkin lebih mendasar. Ia menghadirkan suatu rekonsiliasi yang mendamaikan solois dan orkestra, seraya menampilkan barisan gesek memainkan melodi Rama di atas, juga mengiringi sang solois dari belakang ketika ia melakukan eksplorasi musiknya. Ya, konflik dan rekonsiliasi silih berganti, dan barangkali itulah esensi hidup ini.

Harp Concerto Op 25 karya Ginastera adalah musik yang dramatis, dan dewasa ini, menurut Addie M.S., musik itu, ”Sering dijadikan musik wajib dalam kompetisi harpa internasional.” Dan Rama Widi telah menyelesaikan tugasnya selaku solois dengan penjiwaan prima, tanpa banyak melakukan ke salahan.

Alberto Ginastera (1916-1983) adalah komponis Argentina yang sangat energetik, tak pernah lelah mengikuti dorongan kreatifnya. Sepanjang pemerintahan Presiden Juan Peron yang populis tapi juga represif terhadap kebebasan artistik di negerinya, Ginastera menyingkir ke luar negeri demi kreativitas musiknya.

Malam itu Twilite Orchestra memainkan dua pergelaran perdana (world premier) Harp Concerto dan Gunung Agung. Gunung Agung karya komponis senior Trisutji Kamal, 82 tahun, yang sebelumnya digubah untuk piano dan kini disempurnakan lagi dengan orkestra penuh dan paduan suara. Dan berbeda dengan Ginastera yang memberikan perhatian istimewa kepada karak ter instrumen yang memainkan karyanya, Gunung Agung yang dimainkan secara utuh itu cenderung menomor duakan individu dan menomorsatukan persenyawaan yang kental di antara instrumen pendukung orkes.

Idrus F. Shahab

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus