Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inilah Afganistan sekarang. Para jurnalis mempertaruhkan nyawa untuk melaporkan kekerasan di televisi. Sekitar tujuh stasiun televisi, satu di antaranya milik pemerintah, saat ini mulai berani menyiarkan berita yang dulu dianggap tabu, termasuk kasus pemerkosaan dan pelecehan terhadap perempuan.
”Para perempuan yang jadi korban dan bahkan ayah korban kini berani bicara terbuka di televisi, menuntut pemerintah menangkap pemerkosa,” kata Nelofer Pazira. Siang itu, Senin pekan lalu, jurnalis dan pembuat film asal Afganistan yang membintangi film Kandahar besutan sutradara Iran Mohsen Makhmalbaf (2001) itu menyambangi kantor majalah Tempo.
Kepada wartawan Tempo, ia bercerita bagaimana kini geng-geng warlord Afganistan masih menculik, me merkosa, dan membunuh para perempuan. Tapi ia juga bercerita di Afganis tan sekarang muncul kesadaran baru. Para perempuan korban pemerkosaan dan keluarganya berani muncul di televisi, menuntut pemerintah Presiden Afganistan Hamid Karzai. Mereka tak segan tampil di muka televisi dengan risiko dihina secara sosial, bahkan diancam pembalasan oleh para mafia.
Hal semacam ini belum pernah terjadi di negeri itu sejak rezim Taliban berkuasa. Keberanian itu pada 2008 memaksa Karzai menandatangani surat perintah hukuman mati terhadap sembilan pemerkosa, meski di kecam badan-badan internasional dan negara-negara sekutunya.
Nelofer adalah presiden organisasi kebebasan berekspresi PEN Kanada. Semenjak kecil ia dibawa oleh keluarganya menjadi imigran di Kanada. Di Kanada, setelah dewasa, ia mendengar ada seorang ayah keturunan Pakistan di Toronto membunuh anak gadisnya yang berusia 16 tahun hanya karena tak mengenakan hijab dan berpakaian seperti gadis Barat. Ada juga laki-laki keturunan Afganistan yang membunuh istrinya karena dianggap membangkang.
Pada 1999, sebagai jurnalis dan pekerja film dokumenter, ia mengun jungi Afganistan, melacak asal-usul keluarga dan teman-temannya. Film Kandahar dibuat berdasarkan pengalamannya menyusuri Afganistan. Tahun ini ia meluncurkan film Act of Dishonour, yang disutradarainya sendiri. Film yang diputar di Teater Salihara, Jakarta Selatan, dua pekan lalu ini bertolak dari sebuah kisah nyata di Kabul tentang seorang suami yang membunuh istrinya gara-gara sang istri ikut bermain film.
”Harus ada yang berani bicara tentang masalah ini,” kata Nelofer siang itu di kantor Tempo. Menurut dia, melalui film Act of Dishonour, ia tak meng angkat kisah perempuan yang dibunuh itu secara khusus. ”Saya hanya memaparkan fakta bahwa seorang perempuan di sana bisa terbunuh hanya karena keluar dari rumah atau karena dianggap melanggar aturan.”
Nelofer Pazira lahir pada 1973 di India, ketika ayahnya, Habibullah, seorang dokter, bekerja di Organisasi Kesehatan Dunia yang bertempat di India. Keluarga yang tergolong berada itu kemudian pulang ke Kabul, Afganistan. Ketika Nelofer baru berusia lima tahun, komunis berkuasa. Ayahnya serta beberapa sanak saudaranya dipenjara untuk beberapa waktu.
Ia bercerita. ketika menengok ayahnya di penjara Baghlan, ia menangis. Tapi sang ayah berang. ”Aku tidak membesarkanmu untuk cengeng,” teriak sang ayah. ”Kamu tak boleh menangis. Kamu harus kuat dan menolong ibumu.”
Pertemuan itu memicu api dalam diri Nelofer. ”Ada revolusi di dalam diriku. Aku ingin jadi kuat, untuk merobohkan semua dinding dan jeruji serta membebaskan ayahku.... Mataku terbakar, seperti mata ayah. Tapi, sementara matanya terbakar dengan kemarahan, mataku dengan ketakberdayaan,” tulis Nelofer dalam A Bed of Red Flowers: In Search of My Afghanistan, memoarnya yang meraih penghargaan sastra Kanada untuk biografi terbaik—Drainie-Taylor Biography Prize—pada 2005.
Di Afganistan, Nelofer tumbuh dalam masa-masa konflik berdarah antara tentara Soviet dan pejuang Mujahidin yang didukung Amerika Serikat. Ia cepat dewasa. Saat masih berusia 11 tahun, dia dan teman-temannya melempari tank-tank Rusia dengan batu. Dia bergabung dengan kelompok pemberontak dan menyembunyikan senjata apinya dari mata orang tuanya.
Orang tuanya kemudian mencari tempat tinggal yang lebih aman. Mereka mengungsi ke Pakistan pada 1989, sebelum berimigrasi ke New Brunswick, Kanada, pada 1990. Di sinilah Nelofer menyelesaikan studinya di bidang jurnalisme dan sastra Inggris di Universitas Carleton dan meraih master di bidang antropologi dan agama di Universitas Concordia. Dia juga menerima gelar doktor kehormatan bidang hukum dari Carleton.
Pada 1998 Nelofer mendapat sepucuk surat dari Dyana, sahabat masa kecilnya di Kabul. Dyana menyatakan bahwa dia sudah tak tahan lagi hidup sebagai perempuan di negeri yang dikuasai rezim Taliban itu dan ingin bunuh diri. Nelofer berusaha kembali ke Afganistan untuk mencari Dyana. Usahanya tak berhasil, tapi pengalamannya inilah yang mengilhami sutradara Iran, Mohsen Makhmalbaf, membuat Kandahar (Safar e Ghandehar). Melalui film ini Nelofer meraih penghargaan Prix d’interpretation oleh Festival du Nouveau Cinéma de Montreal.
Pada 2003 Nelofer membuat sendiri filmnya, Return to Kandahar, yang mengurai pengalaman pribadinya tatkala mengunjungi Afganistan untuk menemukan Dyana. Belakangan Nelofer tahu bahwa Dyana telah bunuh diri. Untuk mengenangnya, Nelofer mendirikan Dyana Afghan Women’s Fund, yayasan yang membantu pe rempuan di Kandahar mengatasi buta hu ruf.
Menurut Nelofer, setelah 20 tahun tinggal di Kanada, ketika ia menjejakkan kakinya kembali ke Afganistan semuanya menjadi sangat asing dalam hal apa pun. ”Begitu juga dengan adat istiadat.”
Ia melihat perempuan Afganistan menjadi sosok yang paling menderita dalam konflik yang berkepanjang an di negeri tumpah darahnya itu. Dalam masa peperangan Afganistan pada 1979, ia melihat banyak perempuan kehilangan anak lelaki atau suami nya. Sebab, ada pandangan bila laki-laki yang ada di garis depan mati, pasti menjadi pahlawan atau syuhada. ”Ta liban lebih ekstrem lagi. Wanita tidak boleh belajar, tidak boleh ke luar rumah atas nama agama,” katanya.
Saat balik lagi di Afganistan itu, Nelofer ingin mengajak mereka melalui film agar tidak diam. ”Dalam Islam, jika kamu memperjuangkan ke adilan, kamu harus bertindak. Jika tidak bisa bertindak, bicaralah,” katanya. Namun Nelofer mengakui tidak mudah mewujudkannya.
Kesulitan itu tampak saat ia membuat film Act of Dishonour. Film ini separuh dibiayai Dewan Film Nasional Kanada, yang biasa mendanai film-film dokumenter. Separuhnya lagi dibiayai oleh dua sahabat Nelofer, yang disebutnya ”pengusaha yang tidak terlalu kaya tapi memiliki kepedulian tinggi terhadap persoalan kemanusiaan”.
Ketika berada di lokasi, Nelofer sadar bahwa sedikit orang Afganistan yang bisa dilibatkan secara profesional sebagai kru. Nelofer kemudian menyewa beberapa anggota kru dari Tajikistan, yang perkembangan industri filmnya lebih baik. ”Kami menggunakan kru film asal Tajikistan untuk bagian teknisi, pencahayaan, dan sebagainya, yang berkaitan dengan proses pengambilan gambar. Adapun untuk menangani masalah lain, seperti kostum, direktur seni, latar, juru masak, sampai sopir, kami mempekerjakan orang Afganistan, karena merekalah yang lebih mengerti budaya setempat,” katanya.
Walhasil, tim yang terlibat bera sal dari tiga negara dengan budaya dan ba hasa berbeda, yakni Kanada, Taji kis tan, dan Afganistan. ”Kadang kami me ngalami kendala dalam berkomuni kasi, apalagi kami cuma punya dua pe nerjemah, tapi semuanya bisa di ata si. Kami sama-sama belajar,” kata Nelofer.
Proses pengambilan gambar hanya memakan waktu 23 hari. Tapi tim itu harus bekerja sama selama dua bulan. Mereka harus berpindah-pindah lokasi yang cukup jauh dengan kondisi jalan yang tidak bagus.
Keamanan menjadi masalah utama tim itu. Menurut Nelofer, pengaruh Taliban sangat kuat di wilayah selatan Afganistan. Ia melihat orang-orang di sana tidak suka kamera karena barang canggih itu diasosiasikan sebagai kebudayaan Barat. Mereka juga tidak suka kru film tinggal di sana se bulan atau dua bulan. ”Di selatan, orang tidak bisa melenggang berkeliling dengan kamera selama berhari-hari untuk mengambil gambar,” kata Nelofer.
Menurut dia, itu berbeda sekali dengan wilayah utara, karena orang-orangnya lebih terbuka. ”Di utara kami bahkan melibatkan banyak penduduk desa tempat proses syuting berlangsung. Perempuan, laki-laki, sampai anak-anak kami libatkan. Mereka sangat membantu,” katanya.
Nelofer menyadari sebagai sineas filmnya tidak menghibur atau komersial. Filmnya adalah jenis film yang memiliki misi sosial. Ia ingat ketika menyelesaikan film dokumenternya yang pertama, seorang rekannya mengatakan, ”Tidak, kau belum selesai, tahap berikutnya justru baru dimulai, kau harus menjalaninya.”
Menurut Nelofer, selalu ada dua cit ra yang muncul di pers dunia tentang Afganistan: seorang perempuan lemah yang dipaksa hidup di balik burka dan seorang lelaki keras yang senang berperang, seperti gambaran para anggota Taliban yang berjanggut. ”Orang-orang mengira bahwa seluruh sejarah Afganistan dapat diringkas dalam dua citra ini,” katanya. Melalui film-film semidokumenternya, Nelofer berusaha mematahkan pandangan klise ini.
Namun, bila kita menonton Act of Dishonour, tetap kita tak bisa menghilangkan impresi bahwa kesaksian utama yang ingin dikatakan Nelofer: duka perempuan Afganistan.
Kurniawan, Nunuy Nurhayati, Ismi Wahid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo