Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"When Thomas Nast arrives, all politicians are shivering in their boots?"
Kalimat dari seorang anggota parlemen Amerika pada abad ke-19 itu menancap terus di benak Augustin Sibarani, karika-turis kugiran kita. Dari tahun 1951, kalimat itu membuatnya terus gentur menjadi "pengamat amatir" politik kita. Kini umurnya 78 tahun, pendengarannya berkurang, sisa-sisa kegagahan masa mudanya sudah pudar. Tapi tangan mantan karikaturis koran Sukarnois Bintang Timur ini?yang pernah disebut Ben Anderson sebagai karikaturis terbesar Indonesia?tiap hari terus bergerak, mendistorsi anatomi wajah para politikus kita.
Kalimat itu didapatnya saat bekerja pada 1951 di United States Information Services (USIS). Di perpustakaan ia menemukan sebuah buku berjudul History of American Graphic Humor. Ini sejarah lahirnya Amerika menurut kesaksian para karikaturis Amerika. Sebuah masa ketika banditisme, mafia, dan jango meruyak. Pejabat tinggi bisa dibeli, rel-rel kereta merampas wilayah Indian, perebutan wilayah antar-etnis, sikat-sikatan pemilihan gubernur. Sebuah Amerika pada era transisi.
Sibarani tertarik, bagaimana para karikaturis bisa memparodikan realitas politik secara menggigit dan bernas. Peran karikaturis untuk jalan menuju clean government sungguh besar. Ia terpikat terutama karya karikaturis bernama Thomas Nast. Gambar-gambarnya dikenal membikin keder para pejabat. Mereka yang digambarnya pasti menjadi obyek tertawaan publik. Ketika pemilihan presiden tahun 1885, Thomas Nast adalah karikaturis pendukung Partai Republik. Partai Republik saat itu mencalonkan Blaine. Sementara Partai Demokrat mencalonkan Grover Cleveland.
Partai Republik begitu yakin menang, karena memiliki Nast yang mampu menyindir habis-habisan Cleveland. Sebaliknya, Partai Demokrat bertahan dengan gambar-gambar karikaturis tangguh Joseph Keppler. Pers menyebut kampanye saat itu sebagai the war of caricature. Memang Partai Republik di atas angin. Tapi kemudian keadaan berbalik. Karena merasa tak bisa dibeli oleh Partai Republik, Nast menyerang, membuat parodi-parodi Blaine. Hingga akhirnya Blaine kalah, dan Grover Cleveland menjadi presiden pada 1885. Kejadian ini sampai disebut skandal besar dalam pemilihan Presiden Amerika.
Itu yang meneguhkan hati Pak Sib sebagai karikaturis politik. Bukan menjadi kartunis yang sekadar melawak. Menurut dia, zaman susah membedakan karikaturis dan kartunis. Kartun adalah gambar lucu yang bisa melawakkan hal sehari-hari, bisa membanyolkan gejala sosial. Sedangkan karikaturis harus ada unsur satir yang kuat, terutama satir atas percaturan politik. "Pada zaman Nast itu para mafia sampai wajahnya digambar mirip binatang."
Saat Sibarani bekerja di USIS, tugas pertamanya adalah membuat ilustrasi, gambar-gambar karikatural dari novel terkenal sastrawan Inggris George Orwell, Animal Farm. Sebuah novel yang beberapa tahun kemudian oleh mendiang Mahbub Junaidi pernah diterjemahkan secara bagus menjadi: Binatangisme. Ini cerita pemberontakan para binatang melawan kesemena-menaan sebuah pabrik. Dari situlah Sibarani belajar bahwa binatang, selain menjadi simbol lucu, juga bisa menjadi metafor bagi berbagai watak manusia.
Itulah sebabnya, bila sekilas kita amati karya-karyanya, ia banyak memermak wajah pejabat kita mirip-mirip wajah hewan. Ada menteri yang berbadan babi, nguikkk..., ada tokoh partai yang berbadan kerbau. Saat massa Soerjadi dan Buttu Hutapea menyerbu Kantor Pusat PDI tanggal 27 Juli 1996?. "Mereka saya gambar seperti tikus wajahnya," tuturnya. Soeharto malah sering digambarnya agak-agak seperti, maaf, monyet. "Waktu David Miauw..., yang menyerang kantor Majalah Tempo, dilepaskan pengadilan..., pikiran saya langsung menggambar wajah dia mirip miauuww..., kucing gitu," katanya.
Itulah sebabnya, ketika Sibarani diundang ikut serta pameran International Figuration Critique di Grand Arche de La Defence, Paris, Prancis, salah seorang pengunjung kemudian memberinya hadiah buku Ces Animaux Qui Nous. Ini sebuah buku terlaris dari karikaturis Prancis yang menampilkan wajah-wajah pejabat dengan wajah mirip hewan. George Pompidou, misalnya, parasnya digambar mirip tapir. Adapun mulut Chirac dilukis seperti moncong hiu.
Sibarani mengakui memang karya mereka lebih variatif: ada rupa mirip babun, tapir, kerbau, babi, kelinci, anjing, sampai simpanse. Namun kadang ia melihat itu hanya disesuaikan dengan bentuk anatomi wajah dari sang tokoh. Adapun yang ia inginkan adalah terutama "distorsi wajahnya" cocok dengan karakter sang tokoh. "Memang untuk karakter, idealnya menggambar langsung, mengamati gerak-gerik pejabat di sidang MPR, rapat Golkar, atau apa," tuturnya. Menurut dia, Thomas Nast bisa menggambar bagus dan hidup karena selalu berada di tempat-tempat peristiwa politik penting.
Dahulu, tahun 50-an, Sibarani masih suka kelayapan di event-event politik, sekarang ia mengandalkan televisi. Ia bisa tahan lama hanya untuk mencermati tokoh-tokoh itu berjalan, bergerak, tertawa. Untuk Amien Rais, selain di tv, ia selalu membeli lima buah koran untuk membanding-bandingkan fotonya. "Kalau wajah Soeharto sudah sangat hafal saya, enak betul gambarnya, pernah saya buat macam-macam, kupingnya pernah saya hilangin, hidungnya dipesekin, ha-ha-ha...," katanya. Ini yang disebutnya the cartoonist delight, apabila seorang kartunis telah menemukan permainan ciri esensial obyeknya.
Pak Sib baru saja ditinggal istrinya. Istrinya meninggal persis saat pembukaan pameran di Galeri Milenium. Tapi ia tabah. Keinginannya yang belum terealisasi sekarang adalah karyanya kembali bisa rutin tampil di koran. Setidaknya tiga kali seminggu seperti dahulu di harian Bintang Timur. "Honor adalah nomor dua. Sebab, menjelang pemilu sekarang, keadaan luar biasa, banyak yang bisa diparodikan," ujarnya. Pengagum Sukarno ini terakhir aktif menggambar satir-satir Mega. Sekarang ini, katanya, ide-ide pedas, elegan, penuh humor tentang kekacau-balauan politik kita, terus meluncur di kepalanya. Ia ingin itu ditampilkan di koran agar bisa dinikmati publik yang lebih luas. "Saya akan menjadikan koran itu berwibawa, menjadi ditakuti koruptor," janjinya.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo