Penulis menampilkan biografi Hatta sebagai penulis teks dan aktor politik. Sayang, pengaruh primordial yang sangat dalam tak ditampilkan. INDONESIA MERDEKA: BIOGRAFI POLITIK MOHAMMAD HATTA Penulis: Mavin Rose Penerjemah: Hermawan Sulistyo Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, 1991, 425 halaman KALAU saja penerbit dan penerjemah menjadikan penerbitan buku ini sebagai peringatan hari lahir Bung Hatta (12 Agustus), mereka tentu saja punya waktu untuk membereskan berbagai keteledoran dalam proses alih bahasa yang dilakukan. Bahkan dengan "melupakan" segala nuansa bahasa asli sebagaimana dikatakan oleh penerjemah dalam pertanggungjawabannya, dengan terjemahan yang "tepat" dan "sebagaimana adanya" saja, perbaikan yang sangat penting akan didapatkan. Tetapi sudahlah, terjemahan memang sering menimbulkan perdebatan. "Dosa tak berampun" dari terjemahan ialah, entah apa sebabnya, penerjemah terlalu gairah mengindonesiakan kembali kutipan-kutipan dari tulisan Bung Hatta yang telah diterjemahkan penulis (Mavin Rose) ke bahasa Inggris. Ini diakui si penerjemah sendiri bahwa hal ini tak tepat. Kealpaan yang tak perlu terjadi ini memang sangat disesalkan. Penerjemahan-balik ini telah menghilangkan otentisitas wacana politik Hatta dan sekaligus melemahkan pula ikatannya dengan suasana historis yang melatari wacana tersebut. Dan ini sangat tergantung pada pemahaman yang telah diberikan oleh penulis -- dengan dukungan penerjemah -- terhadap pandangan Hatta, yang diperkuat oleh kutipan-kutipan itu. Pemahaman akan pandangan seseorang hanyalah mungkin kalau kita merasakannya lewat teks yang dihasilkannya. Sayang sekali. Apalagi kalau diingat bahwa Bung Hatta adalah pula penulis ilmiah dan esai politik, yang kejernihan bahasanya sukar ditandingi sampai kini. Salah satu hal yang kadang-kadang bisa menyebabkan orang "meradang" politik ialah kalau Bung Karno dan Bung Hatta dibanding, apalagi kalau yang belakangan ini agak "dimenangkan" secara moral. Mana yang benar, entahlah. Yang pasti ialah buku dan tulisan tentang Bung Karno jauh lebih banyak. Sebaliknya, yang dihasilkan oleh Bung Hatta tampaknya lebih banyak dan lebih beragam. Buku karya Mavin Rose ini, setahu saya, adalah biografi panjang Bung Hatta kedua yang ditulis oleh ilmuwan asing. Yang pertama ialah tulisan Schulte Nordholt, dalam bahasa Belanda, yang terbit pada awal 1960, sebagai bagian dari buku yang juga memuat biografi Gandhi, Nehru, dan Mao Zedong. Dan tulisan ini, rupanya, luput dari perhatian Rose. Jika buku Dahm lebih memperlakukan Bung Karno sebagai penghasil "teks" -- jadi suatu tinjauan biografi intelektual -- sedangkan Legge lebih menekankan aspek kehidupan Bung Karno sebagai negarawan, Rose sebenarnya ingin menggabungkan kedua pendekatan ini. Bukunya ingin menampilkan perjalanan kehidupan Hatta sebagai pemikir dan pelaku. Kedua aspek itu ditempatkan dalam suasana publik -- bukan dalam kerahasiaan hati -- dalam konteks perjalanan sejarah bangsa. Meskipun kelihatannya sederhana saja, ia ingin bercerita tentang Hatta secara kronologis sebagaimana yang jelas terpampang di hadapan mata. Namun ternyata, ia juga membawa permasalahan metodologis yang penting juga. Sembilan dari tiga belas bab biografi yang dipakai, umpamanya, adalah sekaligus deskripsi kronologis dari sejarah bangsa. Manakah yang menentukan mana? Atau, apakah hidup seseorang hanya bisa dilihat dalam konteks sesuatu yang berada di luar dirinya? Tetapi, biarlah. Tantangan yang dengan berani dihadapi oleh Rose ialah usahanya untuk melihat kemungkinan ada atau tidaknya kesejajaran pemikiran dengan perilaku, antara "teks" yang relatif terbebas dari kendala politik dan " perbuatan" yang hanya mungkin terwujud dalam suatu konteks yang dipenuhi oleh berbagai kendala. Pendekatan ini telah menyebabkannya sampai pada kesimpulan akan konsistensi ganda yang dipunyai Hatta. Antara "teks" yang dirumuskan dan "perbuatan" yang akhirnya bisa dilakukan. Dan, antara landasan normatif awal dan pemikiran strategis yang kemudian selalu berkembang. Maka, Minangkabau dan tradisi keulamaan (ayah) serta perdagangan (ibu) akhirnya menghasilkan Hatta -- yang nasionalis dan berpendidikan Barat -- tetap seorang religius dan demokrat sejati, yang melihat masalah keadilan sosial pada pengaturan sistem ekonomi negara yang sesuai. Hanya saja, pendekatan kronologis menyebabkan Rose hampir tak sempat berhenti untuk mendalami hal-hal ini. Apalagi pengenalannya terhadap unsur-unsur "primordial" Hatta itu agak terbatas. Terlepas dari itu semua, biografi Hatta akhirnya tidak saja memperlihatkan proses penghadapannya yang penuh kecintaan dengan bangsa dan tanah air, tetapi juga perjalanan nasib seorang putra bangsa yang telah menampilkan dirinya sebagai "hati nurani bangsa". Ia juga merupakan pantulan yang autentik dari keluhuran cita-cita bangsa. Taufik Abullah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini