Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Perlawanan kelompok baru

Buku business and politics in indonesia karya an- drew macintyre menyoroti perubahan sektor-sektor tertentu perekonomian indonesia. tidak ada protes. andrew berkunjung ke indonesia.

20 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Business and Politics in Indonesia menampilkan perlawanan asosiasi ekonomi atas keputusan pemerintah. Tak diprotes seperti Yahya. BUKU Bisnis dan Politik yang ditulis Yahya Muhaimin sempat mengundang protes. Tapi buku serupa, Business and Politics in Indonesia, yang disusun penulis asing Andrew Macintyre, beredar lancar. Andrew Macintyre, pengamat Asia dari Griffith University Brisbane, Australia, nampaknya memang tak mau secara rinci menyinggung bisnis orang per orang. Buku yang merupakan disertasi untuk gelar Ph.D. di Australian National University itu lebih menampilkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi di Indonesia hanya menyangkut sektor tertentu. Dan sektor yang dianggapnya menarik adalah ekonomi. Asumsinya, pemerintah sangat berperan dalam sektor ini. "Saya melakukan studi kasus terhadap perbedaan kepentingan antara asosiasi industri dan pemerintah," katanya. Metode yang ditempuh adalah mengadakan penelitian langsung di Indonesia 1986-1987. Untuk latar belakang politik ia pun mengutip pendapat beberapa ahli Indonesia seperti Herbert Feith. Richard Robison. Daniel S. Lev, Benedict Anderson, William Liddle, dan Harold Crouch. Menurut Macintyre, yang Kamis pekan lalu datang ke Indonesia sambil "memperkenalkan bukunya", ada suatu perubahan dalam proses pengambilan keputusan pemerintah di beberapa sektor ekonomi. Lewat studi kasus atas tiga macam industri dan telaah untuk Kadin, Macintyre menyimpulkan adanya kekuatan baru di luar pemerintah yang punya peran dalam proses pengambilan keputusan. Namun, masing-masing punya tingkat pengaruh yang berbeda. Kadin, misalnya, dinilainya sebagai suatu organisasi tak lebih dari "perpanjangan tangan pemerintah". "Dari telaah selama ini, terlihat bahwa Kadin belum begitu berpengaruh dalam pengambilan keputusan di sektor ekonomi," katanya kepada TEMPO di Jakarta pekan lalu. Memang, setiap tahun ada pertemuan antara Kadin dan beberapa menteri ekonomi. Namun, biasanya, Kadin tak memberikan masukan apa-apa. Bahkan keputusan untuk menjalin hubungan ekonomi dengan negara lain -- misalnya setelah Kadin berunding dengan mitranya -- tetap saja di tangan pemerintah. Masih ada kelemahan lagi, Kadin belum menampung pengusaha Cina yang punya peran besar dalam perekonomian Indonesia. Di samping itu, katanya, pengusaha pribumi biasanya bisa sukses setelah mencantol pada patron-patron pemerintah. Sampai sekarang, Kadin masih saja tak lepas dari "binaan" pemerintah. Contoh paling gamblang, menurut Macintyre, setiap kali pemilihan pengurusnya, pemerintah selalu campur tangan. Kelompok lain yang dinilai Macintyre lebih agresif adalah in- dustri tekstil. Tahun 1978, para pengusaha tekstil membentuk Federasi Asosiasi Pertekstilan Indonesia (F-API). Tokoh yang berdiri di belakangnya adalah Frans Seda, Musa, Handoko Tjokrosaputro, dan The Nian King. Asosiasi tersebut dibentuk untuk memayungi berbagai organisasi pertekstilan. Asosiasi itu kemudian mendirikan Cerat Bina Tekstil Indonesia (CBTI). Saham terbesar dipegang F-API sendiri. CBTI, awal 1986, kemudian mendapat tugas dari Menteri Perdagangan Rahmat Saleh untuk menjadi pengawas tata niaga katun. Setelah itu, CBTI menguasai perdagangannya. Semua jual-beli katun dan serat sintetis hanya dibenarkan lewat CBTI. Kebijaksanaan ini kemudian mendapat tentangan dari Sekretaris Bersama Pemintalan (Sekbertal) yang dipelopori oleh Husein Aminuddin, salah seorang pemilik industri pemintalan. Lewat sejumlah surat yang dikirimkan kepada beberapa menteri, dan juga Kopkamtib, Sekbertal melancarkan protes. Akhirnya, ia berhasil menghapus monopoli CBTI dan ketentuan membayar pajak 0,125% dari nilai impor katun dan serat sintetis. Pengaruh asosiasi industri tekstil memang besar. Kebetulan sebagian besar pabrik dan kantor pusatnya di Jakarta dan Bandung. "Koordinasi tentu saja lebih gampang," katanya. Apalagi kemudian tekstil naik daun setelah pemerintah mengangkatnya sebagai salah satu "primadona" dalam ekspor nonmigas. Hal sama terjadi di bidang industri farmasi. Gabungan Pengusaha Farmasi (GPF) berhasil menekan pemerintah untuk meninjau kebijaksanaan Daftar Obat Program Bersama semasa Dirjen POM Midian Sirait. Semua industri farmasi harus tunduk pada ketentuan harga obat yang ditetapkan pemerintah. Keberhasilan GPF dalam mendesak sampai pemerintah mengubah keputusannya agaknya tak lepas dari dukungan Ikatan Dokter Indonesia dan Yayasan Lembaga Konsumen. Tulisan Macintyre yang diterbitkan oleh ASAA Southeast Asia Publications Series ini juga menyoroti masalah asuransi. Pengaruhnya sangat kecil. "Pemerintah tak melihat asuransi sebagai sektor penting, sehingga kurang mendapat perhatian," katanya. Terlepas dari perbedaan tingkat pengaruhnya, peran lembaga di luar pemerintah memang mulai tumbuh. "Kesimpulan saya, pemerintah masih punya posisi sentral," katanya. "Namun, tak berarti tak ada kelompok di luar pemerintah yang punya pengaruh." Usaha untuk mengadakan perubahan agar pemerintah tak terlalu menentukan segala-galanya memang sudah mulai tampak. Kecuali Sekbertal, yang bergerak setelah asosiasi lama dianggap "bermalas-malasan", ada lagi Gappri. Asosiasi pengusaha rokok ini mencoba melawan tata niaga cengkeh di bawah BPPC. "Walaupun kemudian ia dikalahkan, paling tidak sudah ada usaha untuk menentangnya," katanya. Adanya usaha perlawanan itu, menurut Macintyre, belum bisa dikatakan terjadi suatu demokrasi di bidang ekonomi. Karena pemerintah tetap saja menentukan segalanya. Liston P. Siregar (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus