Setan Mini Seks Remaja MASRI SINGARIMBUN AMERIKA Serikat dan masyarakat Barat sudah terseret jauh ke masalah seks remaja dengan segala akibatnya. Telah terjadi suatu revolusi seks yang melandanya. Kehamilan remaja, pengguguran, kelahiran anak di luar nikah yang merajalela. Juga penularan penyakit kelamin, apalagi AIDS, yang telah menimbulkan kekhawatiran dan keprihatinan secara meluas. Persoalannya menyangkut hal-hal yang mendasar dalam kehidupan manusia. Moralitas, sosial, ekonomi, kesehatan, reproduksi, dan filsafat hidup. Barangkali zaman edan telah tiba. Di Amerika Serikat, sejak awal tahun 1970-an, remaja yang punya kebiasaan berhubungan seks rata-rata semakin muda, di bawah 20 tahun. Penelitian di daerah metropolitan mengungkapkan bahwa pada 1971, 31,7% wanita usia 15-19 tahun telah menikmati hubungan seks sebelum menikah. Angka tersebut meningkat menjadi 45,2% pada 1982. Di masa lalu, ada norma ganda. Kaum pria dianggap dapat berhubungan seks dengan siapa pun, dan wanita sama sekali tak bebas. Kini nilai-nilai itu sudah bergeser. Tadinya laki-laki yang dianggap bisa "bebas terbang ke mana saja", sedangkan kini perempuan pun bisa. Sekarang sudah meluas anggapan bahwa wanita -- dalam hal seks bebas -- sudah sederajat dengan kaum lelaki. Bersamaan dengan itu, nilai keperawanan pun dikesampingkan. Memang di kalangan remaja Amerika pun ada perbedaan perilaku seks itu. Remaja kulit berwarna rata-rata melakukan hubungan seks lebih awal. Wanita kulit hitam, menurut survei 1979, pertama kali berhubungan seks rata-rata pada usia 15,5 tahun, dan yang kulit putih berumur 16,4 tahun. Yang menikmati seks sebelum nikah pun "didominasi" si kulit hitam (64,8%). Wanita kulit putih hanya menempati 42,3%. Dengan merajalelanya hubungan seks sebelum menikah itu, jumlah pengguguran janin dan anak lahir di luar nikah pun lebih banyak. Pada umumnya, mereka yang dari lapisan sosial terbawah dan berpendidikan rendah lebih rentan terhadap masalah seks. Seks telah membuat mereka terjebak ke dalam berbagai kesulitan. Banyak ibu muda tanpa suami. Mereka putus sekolah, tidak menamatkan SMA. Pendidikan rendah atau drop out itu mengakibatkan mereka terpaksa bekerja dengan upah rendah atau menganggur. Mereka terseret ke dalam lingkaran setan. Remaja yang berhubungan seks bebas, hamil pada usia muda, dan punya anak tanpa ayah, cenderung menghasilkan keturunan yang mengalami masalah seks serupa. Masalah orangtua diwariskan kepada anaknya. Hubungan seks pertama bagi para remaja semata atas dorongan nafsu scsaat, yang tak pernah direncanakan. Hanya 17% wanita dan 25% pria yang merencanakan sebelumnya. Logis bahwa mayoritas dari mereka tak menggunakan kontrasepsi. Memang cukup banyak di antara mereka yang tak berpikir panjang menggunakan alat kontrasepsi. Atau mungkin mereka tak tahu soal alat kontrakehamilan itu. Kalaupun tiba-tiba terpikir tentang kontrasepsi, jelas tak dapat diperoleh dengan mendadak. Ada lagi yang merasa, kehamilan tak mungkin terjadi kalau hubungan seks cuma sekali. Lebih dari sepertiga (36,6%) dari kehamilan remaja tersebut diakhiri dengan aborsi. Bagi wanita remaja (15-19 tahun) yang akhirnya melahirkan bayinya, sebenarnya ada beberapa alternatif. Sebagian kecil menikah sebelum bayinya lahir. Tapi ada pula yang menikah setelah anaknya lahir. Namun, yang menarik, sebagian terbesar (70,2%) korban "tabrak lari" itu memilih mengasuh anaknya tanpa ayah atau menghindari aborsi. Dibandingkan dengan negara Barat lainnya, perilaku seks remaja Amerika Serikat ternyata sama saja, walau latar belakang budaya dan kemajuan ekonominya berbeda. Dalam hal pola hubungan seks sebelum nikah, kaum muda Amerika tak jauh berbeda dengan rekannya di Inggris, Prancis, Belanda, dan Kanada. Namun, mereka ternyata kalah dengan kaum muda Swedia. Persentase remaja yang melakukan sanggama sebelum nikah jauh lebih besar. Mereka juga berusia lebih muda saat mencobanya. Memang, kaum muda Swedia dikenal sangat permisif dalam hal seks (E.F. Jones, Teenage Pregnancy in Developed Countries: Determinants and Policy Implications, 1985). Hal yang menarik, tingkat kehamilan dan aborsi di Amerika Serikat jauh lebih tinggi dibandingkan kelima negara maju tadi. Menurut data, tingkat pengguguran di kalangan remaja sering sejajar dengan tingkat kelahiran. Bila tingkat kelahiran di luar nikah tinggi, maka jumlah pengguguran pun besar. Yang berbeda cuma di Swedia. Tingkat kelahirannya rendah, tapi jumlah pengguguran -- walau masih kalah dengan Amerika Serikat -- tergolong tinggi. Tingkat kehamilan remaja, aborsi, dan proporsi anak jadah di Amerika tampak lebih tinggi dibanding negara maju lainnya. Ada alasan bahwa remaja di lima negara maju itu punya akses yang lebih baik terhadap kontrasepsi dan klinik keluarga berencana, dan juga tersedia fasilitas untuk aborsi. Dan umumnya, pendidikan seks untuk remaja pun lebih baik. Di negara-negara tersebut sikap terhadap persoalan seks remaja lebih terbuka dan lebih realistis dibanding di Amerika Serikat. Juga tak ada peraturan dan sikap yang beragam seperti yang ada di negara-negara bagian Amerika Serikat. Distribusi pendapatan yang tak merata di Amerika pun diduga punya hubungan dengan masalah perilaku seks itu. Ada kesepakatan umum bahwa kehamilan remaja tak diinginkan. Mereka memerlukan bantuan untuk mencegah kehamilan, dan bantuan untuk mencegah kelahiran bayi bagi mereka yang telanjur hamil. Di Prancis, Belanda, dan Swedia, pemerintah merasa perlu terlibat dalam pengadaan kontrasepsi bagi remaja untuk menghindari aborsi. Kiranya tak perlu dipungkiri bahwa bangsa Indonesia tambah hari tambah permisif. Apakah aktivitas seks remaja kita sebelum nikah akan terus meningkat, sehingga pada suatu waktu akan menyamai Amerika Serikat, Prancis, atau Belanda dewasa ini? Apakah pada suatu ketika kita merasa terpanggil untuk menggalakkan pemakaian kontrasepsi bagi remaja supaya mereka tak hamil di luar nikah atau supaya tak terjebak dalam praktek aborsi? Paling tidak, terpaksa memilih setan mini ketimbang setan maksi? Wallahualam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini