Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsitektur

Bursa tanpa bau malam

Pada puncak acara lomba desain tekstil iii di balai sidang jakarta diadakan bursa desain tekstil batik dan tenun ikat. karya darmojo meraih juara i untuk kategori batik interior.

30 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANGAN separuh gelap dan dingin ber-AC. Pandangan sekitar tujuh puluh pasang mata mengarah pada layar. Dua proyektor sekaligus menembakkan slides, diiringi musik tenang mengalun. Sebentar-sebentar, dua gadis manis berseragam kain kebaya melintas mengacungkan sepotong kain. Sementara itu, Kris Biantoro, si pembawa acara, mengomentarinya satu per satu. Tak ada yang ribut - apalagi bersitegang leher d dalam ruang berlapis karpet tebal itu. Apa yang sedang terjadi? Inilah sebuah lelang desain tekstil yang sangat beradab. Setiap peminat mendaftar terlebih dahulu. Jumlahnya pun dibatasi tak lebih dari yang ditentukan. Nomor-nomor. yang diminati dicatat. Bila ada, lebih dari satu peminat untuk satu desain, maka lelang pun dibuka. Memang jauh dari bau malam dan teriakan penjaja kain di pasar Klewer, Solo, sebagai perbandingan. Sebab, ini adalah Bursa Desain Tekstil yang merupakan puncak acara Lomba Desain Tekstil III, yang diselenggarakan oleh Himpunan Wanita Karya pada 16 dan 17 Mei lalu di Balai Sidang, Jakarta. Bursa ini dibarengi penjualan baju jadi dan tekstil. Ini untuk Lebaran, sebagai sebuah upaya yang menarik untuk menjembatani kebutuhan akan karya-karya desain baru dari produsen, konsumen, dan para desainer tekstil. Dan ini, tentu saja, suatu hubungan yang diharapkan saling menguntungkan. Apalagi kalau kita lihat penghargaan untuk setiap karya baik yang menang maupun bukan pemenang, semuanya diberi harga yang berangkat dari puluhan hingga ratusan ribu rupiah. Bila tahun lalu yang dilombakan adalah desain tekstil cetak, maka tahun ini adalah desain batik dan tenun ikat untuk busana dan interior. Sebuah pilihan yang lebih cenderung ingin menghargai seni kriya, selain mungkin karena tenun ikat sedang ini. Menggunakan tenun ikat saat ini seakan suatu yang prestisius, seperti menggunakan hem batik di tahun 1970-an. Konsekuensinya adalah: jumlah peserta lomba surut besar, selain cukup banyak yang digugurkan. Sebab, salah satu dari persyaratan adalah melampirkan contoh produk jadi. Hanya orang-orang tertentu yang bersinggungan langsung dengan proses produksi seperti para perajin dan desainer yang tak hanya duduk di belakang meja saja yang bisa masuk. Hal ini terasa sekali pada tenun ikat, yang bila kepandaian menggambar tak disertai pengalaman menghitung benang dan efek dari tumpang tindihnya tak akan ada artinya. Jumlah yang masuk untuk tenun ikat kategori interior dan keperluan rumah tangga hanya dnsl empat karya, dan cuma satu yang orisinil. Sedang pada karya batik, kebanyakan peserta masih mencari-cari dan bereksperimen. Mungkin ini wajar saja. Namun, bila kita mau menggali kecanggihan dari pengolahan ragam hias batik tradisional, seperti teknik ukel, cecek, dan sawut, tanpa harus terbebani oleh "usaha melestarikan nilai luhur", maka ragam hias tidak miskin dan berada seputar meremukkan malam, atau mencoletnya dengan kuas saja. Misalnya karya pemenang pertama batik untuk kategori interior, Darmojo, memang pantas diacungi Ibu Jan. Dengan cerdik ia unggul, baik dalam teknik maupun bahasa desain. Sebuah rancangan untuk gorden kamar anak-anak berwarna merah jambu segar dengan teknik pencelupan ekonomis satu kali saja menggambarkan suasana tanah pertanian dengan garis-garis yang lincah dan jernih. Yang menarik adalah hamparan sawah yang memenuhi sepertiga desain gorden. Dibuat dalam multipola Sekar Jagat yang sarat simbol palawija itu, desain ini masih sangat mungkin di-"perpanjang" kegunaannya: jadi penutup alas tempat tidur, misalnya, atau taplak meja bila diberi lapisan quilt. Darmojo tampaknya cukup paham akan kemungkinan manifestasi desain dalam produk jadi. Memang masih timbul pertanyaan, apakah produk dengan teknik batik dan tenun ikat bisa memenuhi persyaratan teknis bagi kegunaan interior bangunan komersial, seperti hotel atau perkantoran. Yaitu, antara lain tahan cuci, tahan kerut, anti-static, tak menangkap debu. Dan yang terpenting, tidak mudah terbakar. Belum lagi perhitungan secara ekonomis, umpamanya untuk satu ruangan seluas 10 m2, dibutuhkan kain gorden puluhan meter - hingga buatan tangan tak ada nilai ekonomisnya dan belum lagi ketidakstabilan mutu. Untuk menunjang nilai eksklusif sebuah karya seni kriya mungkin kita perlu hati-hati dalam penempatannya, alih-alih menghidupkan kita malah bisa mematikannya. Dan ada baiknya pula mempertimbangkan bentuk kerja sama antara desainer dan produsen tekstil pada tahap yang lebih dini. Sebab, para peserta lomba itu hanya baru dibebani dengan contoh produk jadi, bila ia jadi semifinalis. Di situ, ia diperkenalkan dengan produsen, yang bisa bekerja sama - sekaligus menanggung beban biaya produksi - tanpa hasil jadi setengah-setengah, seperti yang ditampilkan oleh kebanyakan peserta yang kurang mampu. Ananda Moersid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus