Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Impian hans melompat ke depan

Pusat dokumentasi sastra hb yassin berusia 10 th. koleksinya tambah lengkap. dicari berbagai kalangan. bpppu di yogya & yayasan museum pers solo yang menyimpan koleksi tentang pers, tinggal kenangan.

30 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAINER CARLE sedang mempersiapkan disertasinya tentang penyair dan dramawan Rendra. Tapi kedatangannya dari Jerman ke Jakarta pada 1977 itu tak sepenuhnya dimanfaatkan mewawancarai Rendra. Juga tak berkutat di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, tempat Rainer mengharap bahan utama itu Rainer, setelah memesan bahan, lantas ia piknik ke berbagai tempat di Indonesia. Selesai piknik, bahan sudah tersedia. "Dan ia bawa pulang setelah biaya fotokopinya dibayar. Tak lama, disertasinya kelar," cerita Jassin. Menulis kesusastraan dan tokoh sastra Indonesia, tampaknya, jadi mudah dengan adanya Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) itu. Para peneliti asing yang sudah memanfaatkannya, antara lain, Henri Chambert-Loir dari Prancis dan David T. Hill, AS, (keduanya menulis tentang Mochtar Lubis). Kcmudian menyusul Yahaya Ismail (Malaysia) dan Liaw Yock Fang (Singapura). Di luar mereka, ada mahasiswa yang menulis skripsi, siswa SLTA untuk sebuah karya tulis, dan wartawan. Jumlah pengunjung per bulan rata-rata 300 orang. Belum lagi wisata studi, biasanya para siswa SLTA. Tetapi semua itu masih merupakan sebuah awal. Seperti dituturkannya kepada TEMPO. Hans Bague Jassin sebenarnya mengimpikan sebuah bangunan bertingkat-tingkat. "Dar tiap lantai berisi koleksi dokumentasi sastra suatu negara, tak terbatas Indonesia saja," ujar Jassin. Impian "Paus Sastra" ini memang berjangkau jauh ke depan - dengar akar tak dekat ke belakang - sejak itu menumpulkan karya sastra secara sungguh-sungguh, 1940. Pada 30 Mei 1977, Gubernur Ali Sadikin mcrcsmikan lembaga ini dengan nama Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Pengelolanya Yayasan Dokumentasi H.B. Jassin, yang didirikan pada Juni 1976. Semula di lantai IV Gedung Arsip DKI. Mulai September 1982 menempati ruang seluas 972 m2, di lantai II Gedung P3IS, di samping Planetarium, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pada ulang tahun ke-10 akhir bulan ini, tanpa pesta dan upacara - seperti di tahuntahun sebelumnya - PDS yang satu-satunya di Indonesia ini makin dibutuhkan orang. Koleksi bukunya berkisar 40 ribu judul. Tak melulu tentang sastra, tapi juga psikologi, sejarah, dan filsafat. Ada buku tua terbitan 1900, bekas milik ahli waris Haji Agus Salim, di antaranya kumpulan karya Goethe dan ensiklopedi Jerman. Majalah ada 650 macam. Belum lagi kliping dari berbagai media massa. PDS juga dititipi koleksi buku menyangkut studi kebudayaan Jawa, milik keluarga Adji Damais. Kini PDS memiliki pula perkakas canggih: mesin pemroses miro film berikut layar monitornya. "Peralatan tersebut belum bisa kami manfaatkan, berhubung ongkos untuk proses pembuatan mifo film-nya kami tak mampu menanggung," kata Jassin. Koleksi PDS merupakan aset mahal kendati belum lolos dari kekurangan dana. Ingat saja pada tiga tahun lalu, misalnya. PDS gelap gulita lantaran tak mampu bayar rekening listrik. Kemudian ada satu dua karyawan - yang bergaji antara Rp 50 dan Rp 100 ribu - tak tahan, angkat kaki. Sebuah ancaman atas impian perintisnya, yang kini sudah 70 tahun tetapi tak hendak patah semangat. Pemda DKI, sebagai pemasok utama menaikkan subsidinya dari Rp 6,5 juta pada tahun-tahun pertama ke Rp 10 juta. Kemudian jadi Rp 27 juta per tahun, sejak peristiwa listrik itu. Lalu ada subsidi Rp 10 juta per tahun dari Departemen Pendidikan & Kebudayaan, sejak 1982. Selain dari tambahan dana itu, ada tambahan dari pemakai dokumen, Rp 100 untuk selembar fotokopi dan Rp 100 untuk satu kotak dokumen (bisanya berupa sebuah atau dua buku, tergantung ketebalan bukunya). PDS juga dapat bantuan dari Unilever, berupa peralatan kantor, mesin offset mini, dan keperluan pendukungnya. Astra, perusahaan raksasa itu, sempat menyumbang Rp 100 ribu. Pengembangan PDS memang dikhususkan pada pendokumentasian sastra. Dan ini tak bergantung pada karya resmi saja. Malah, mengoleksi catatan harian, foto-foto pribadi sastrawan, dan bidang-bidang yang berimpitan dengan sastra, seperti filsafat dan psikologi. "Pernah ada usul agar kami bergabung dengan Perpustakaan Nasional. Kami keberatan, karena sastra itu luas kandungannya," tambah Jassin. Tetapi, bagi mereka yang memerlukan bahan yang lebih umum, ada PDIN LIPI, di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Lembaga yang semula bagian dari dokumentasi Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI) ini sekarang punya 5.000 anggota - tiap hari rata-rata dikunjungi 200 orang. "Dari surat yang masuk umumnya minta fotokopi tentang berbagai bahan pendukung karya tulis pengirimnya," tutur Direktris PDIN, Luwarsih Pringgoadisurjo, 57 tahun, pada Yusroni Hendridewanto dari TEMPO. Di luar itu, di Solo ada Museum Pers Nasional (MPN). Menurut H.S. Soemaryono, direkturnya, kepada koresponden TEMPO Kastoyo Ramelan, "Museum ini menyimpan benda bersejarah yang ada kaitannya dengan kegiatan pers." Kecuali memiliki perpustakaan dengan 12.908 buku dan koran-koran, seperti Utusan Rakyat, Kiao Pao, dan Harian Rakyat, MPN juga menyimpan pemancar radio masa perjuangan milik RRI. Juga disimpan perkakas terjun payung yang dipakai wartawan TVRI ketika meliput gerhana matahari. Sedangkan Yayasan Museum Pers Solo nyaris tinggal kenangan. Koleksi di sana, terutama berupa koran dan majalah tua, sudah sejak 1976 diungsikan ke Gedung Kebangkitan Nasional, Jakarta. Yang masih tersisa adalah koleksi pribadi Sawarno Prodjodikoro, 66 tahun, salah seorang perintisnya, berisi antara lain koran dan majalah Asia Raya, Guntur, Sinar Bar, dan Sinar Matahari, terbitan sebelum 1950. Para pemakai koleksi kebanyakan mahasiswa. Di Yogya ada Balai Penelitian Pers dan Pendapat Umum (BPPPU). Didirikan pada 1951 oleh beberapa tokoh pers, antara lain Sundoro. Lembaga ini semula bernama Yayasan Lembaga Pers dan Pendapat Umum. Pada 1980 balai ini diambil alih Departemen Penerangan, dan diubah jadi unit pelaksana teknis kegiatan penerangan dengan cabang di Surabaya, Ujungpandang, Bandung, Medan, dan lain-lain. Kekhususan sebuah pusat dokumentasi, seperti yang dirintis Jassin dan para tokoh pers itu, atau yang.dihimpun Yayasan Idayu di Jakarta, kini memang tak kekurangan konsumen. Hanya kemudahan yang disediakan memang berbeda. Dan tak semua gampang dilakukan sembari piknik, seperti di PDS H.B. Jassin itu. Mohamad Cholid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus