Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menikmati kimono biru

Chaerul umam tampil di tim 23 jan'78 untuk membacakan cerita pendek. hanya dilengkapi sebuah kursi, pengeras suara & lampu penerangan biasa. umam membacakan cerpen umar kayam, danarto & kuntowijoyo. (ter)

4 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUS melepaskan dekapannya dari Anggora, tetapi lantas tidak menghadap Wandi yang sekarang duduk bersila, nampaknya naik pitam lagi, dalam keredupan kamar itu. Mus tidur terlentang, matanya menengadah ke langit-langit kamar. Di sini tidak ada cicak, komentar Mus). "Apa kau masih ada kontak dengan bekas anak-anak laskar yang tempo hari terus-terusan kau kuliahi tentang demokrasi dan hak asasi? uh? Aku masih terus. Aku ongkosi sekolah mereka aku bantu mereka cari kerja. Aku belikan mereka buku-buku." Mus tidak menyahut. Dia melihat ratusan mobil yang macet, berderet, dikempesi bannya ditempelin kaca-kacanya ...... ITU sepotong dari cerita pendekUmar Kayam, Kimono Biru Buat Isten (Horison, Pebruari 1974) yang dibacakan Chaerul Umam, 23 Januari malam di Teater Arena TIM, di depan penonton yang memenuhi separoh kira-kira tempat duduk. (Memang banyak yang memastikan, kurangnya pengunjung untuk acara TIM juga disebabkan karena para pembaca sebagian koran yang sedang dibreidel, tidak mendapat informasi). Setelah pembacaan puisi sejak beberapa tahun menjadi tontonan, agaknya pembacaan cerita pendek segera menyusul. Padahal sebetulnya bukan barang baru. Di Jakarta dikenal Pak Dja'it (Mohammad Zahid) yang sering dipanggil keluarga yang sedang berhajat entah apa, untuk membacakan hikayat. Pak Dja'it telah tiada, dan kegiatan itu diteruskan anaknya, meski tak lagi sepopuler dulu. Sementara itu kita sudah sejak lama mendengarkan pembacaan cerpen di ladio Australia oleh Mohamad Diponegoro. Juga pcmbacaan cerpen dari RRI Jakarta dan RRI kota-kota lain, plus radio-radio non-RRI. Tapi agaknya menqang lain, mendengarkan pembacaan cerpen lewat radio dan menghadiri pembacaan cerpen. Yang nertama jelas, kadar santainya bisa lebih bcsar. Orang bisa mendengar kan sambil mencuci, menjahit, makan, atau juga mengumpat-umpat Sementara duduk di Teater Arena mendengar Si Umam membaca cerpen Kayam, memang dituntut untuk sedikit serius -agar tidak mengantuk dan kehilangan Jalan cerita. Tapi Mamang (nama panggilan bekas aktor drama yang sekarang mencari nafkah sebagai sutradara film) memang tidak memberi kesernpatan orang mengantuk. Volume suaranya enak. Tahu di mana harus membaca keras, lambat, bersemangat walau berbisik. Bahkan kalimat "sepotong lagu Garuda Pancasila" disambungnya dengan menyiulkan sepotong lagu tersebut. Dengan singkat, teater masuk di sini dan mengembangkan warna, seperti juga bila orang menikmati pembacaan puisi oleh Rendra. Arena Teater Arena yang hanya dilengkapi dengan sebuah kursi, corong pengeras suara dan lampu penerangan biasa, berubah menjadi medan imajinasi, di mana adegan-adegan cerpen silih berganti terbayang. Maka tak urung hadirin tertawa jika memang cerita yang dibaca sampai pada bagian lucu, dan tertawa dengan nada agak lain jika sampai pada adegan "serem" (yang juga tak sedikit). Bahkan seorang gadis tertawa terpingkal-pingkal sambil tangannya memukul temannya yang duduk di sampingnya. Memang mirip pertunjukan drama, meski mini. Kadang Mamang merentangkan tangan, agak membungkuk, atau menghentakkan kaki. Toh, secara visual dari sebuah pembacaan cerpen hanya sedikit yang bisa ditonton. Karenanya cerpennya sendiri menjadi unsur penting, di samping orangnya. Mamang sendiri bukan baru kali ini membaca cerpen. Pertama kali ia tampil membawakan cerpen Danarto, kedua cerpen Kuntowijoyo. Tapi apa si schetulnya yang menarik orang mendengarkan pembacaan cerpen? Apa karena kini orang malas membaca? Barangkali. Tapi memang ada kenikmatan sendiri. Membaca sendiri sebuah cerpen adalah menikmati suatu petualangan imajiner sendirian, atau paling-paling bersama pengarangnya--secara imajiner. Sementara mendengarkan pembacaan cerpen adalah menikmati petualangan imajiner secara bersama. Ada semacam pembagian kenikmatan. Dan itu juga berarti mendapat cara lain untuk berhibur. Kan orang lagi pada tegang. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus