Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah menanggalkan sehelai kain, Katsura Kan menaruh lilin dan seikat bunga di lantai. Serbuk putih melumuri sekujur tubuhnya yang bertelanjang dada, dari kepalanya yang plontos sampai ke mata kaki. Diiringi suara gamelan yang ditabuh pelan, seniman dari Kyoto tersebut berjalan ke tengah arena.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di bawah sorot lampu biru tua, di tengah suara desir air yang menggema dan menyeret imajinasi penontonnya ke dasar samudra, sang maestro butoh itu memulai pertunjukan karya tunggalnya berjudul Voyage. Karya berdurasi sekitar 20 menit itu menjadi pembuka acara "Solo Butoh #2" yang diadakan Studio Plesungan di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Kota Solo, pada Kamis malam, 19 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti janin yang berenang di dalam rahim, Katsura mengawali gerakannya dalam posisi jongkok. Kemudian dia mengangkat bokongnya secara perlahan hingga kepalanya hampir menyentuh lutut, sedangkan kedua tangannya terus mengayun seperti hendak menyelam lebih dalam. Sesekali Katsura mengangkat wajahnya, memperlihatkan ekspresi sedang menahan napas, lalu menyemburkannya kuat-kuat.
Saat kendang ditabuh cukup rancak, Katsura bergerak lincah seperti memeragakan jurus bela diri meski patah-patah. Beberapa kali dia juga menjatuhkan diri ke belakang, mendarat dengan punggung. Sedangkan kedua tangan dan kakinya masih terangkat seperti bayi.
Adegan itu diulang beberapa kali dan diakhiri dengan gerakan memutar dalam posisi tubuh tidur miring bersandarkan satu tangan. Setelah beberapa putaran, Katsura mengganti arah, seperti hendak melukis simbol yin dan yang di lantai arena.
Voyage sebelumnya dipentaskan di Meksiko pada 27 Juni 2018. Karya itu berkisah tentang perjalanan sosok manusia, dari yang diketahui hingga yang tidak dikenal, yang berpindah dari generasi ke generasi, menyeret cinta dan benci. Tarian ini menunjuk pada "cinta" dan "benci" sebagai "kanji" untuk saling membantu dalam membuat kehidupan yang lebih dalam.
Butoh adalah seni gerak yang awalnya dirintis di Jepang pada 1950-an. Berbeda dengan tari konvensional yang menggunakan tubuh sebagai media ungkap ekspresi artistik, butoh lebih mengeksplorasi tubuh dan gerak secara otonom.
Melati Suryodarmo, pendiri Studio Plesungan, mengatakan Katsura menekuni butoh sejak menjadi anggota Byakosha (kelompok butoh dari Kyoto) pada 1979. Pada tahun itu pula butoh pertama kali masuk ke Indonesia. Ia bersama kelompok Byakosha mengadakan pertunjukan di Taman Budaya Surakarta yang sekarang bernama Taman Budaya Jawa Tengah.
Sejak itu, Katsura banyak mengerjakan proyek studi bersama seniman-seniman Asia, termasuk Indonesia, lewat lokakarya dan pertunjukan butoh. Hingga kini, banyak seniman Indonesia yang mengadopsi metode ketubuhan butoh, di antaranya Melati Suryodarmo dan Tony Broer (Teater Payung Hitam Bandung). Menurut Melati, saat ini butoh sedang terseok-seok perjalanannya, dianggap kuno, dan lain-lain.
"Selama 40 tahun butoh sudah menyatu dengan seluruh aspek hidup Katsura, perjalanannya, spiritnya, spiritualnya. Buat dia, tari bukan lagi untuk show atau memamerkan skill. Pertunjukannya seperti tidak tersusun, tapi semua unsurnya masuk banget," kata Melati.
Selain Katsura, penampil lainnya adalah Kiyoko Yamamoto. Maestro butoh berusia 70 tahun ini ditunggu-tunggu penonton, terutama dari kalangan penari. Kiyoko menampilkan karya tunggalnya berjudul Dream Catchen yang bernapaskan butoh gaya tradisi lama.
Berbeda dengan karya Katsura yang terkesan muram, pertunjukan Kiyoko tampak lebih riang. Diiringi permainan musik yang lebih ramai, dari seruling bambu, sitar, hingga gamelan, seniman perempuan ini kerap memenuhi ruang dengan berlarian sambil menunjukkan ekspresi wajah riang. Mahkota dari rangkaian bunga berwarna mencolok yang dikenakannya tampak kontras dengan riasan putih pucat pada wajahnya.
Solo Butoh #2 yang diselenggarakan selama empat hari, 17-20 Desember 2019, menghadirkan lima seniman butoh dari Jepang. Selain Katsura Kan dan Kiyoko Yamamoto, ada pula Yuko Kaseki, Aki Bando, dan Noriko Omura. Selain dari Jepang, Solo Butoh #2 juga mengundang empat seniman Indonesia yang karya-karyanya juga mengandung roh butoh, yaitu Tony Broer, Suprapto Suryodarmo, Jamaluddin Latif, dan Wendy H.S.
Wendi H.S. menampilkan karya tunggalnya berjudul Sonic Bajamba. Seniman teater asal Padangpanjang, Sumatera Barat, itu menciptakan karya tersebut berlatarkan tradisi makan bersama dalam budaya Minang. Karya berdurasi sekitar 25 menit itu pertama kali dipentaskan Wendy dalam Asia Butoh Tree Project di Akita, Jepang, pada September 2019. DINDA LEO LISTY
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo