Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Claire Holt, Perempuan yang Mengungkap Estetika Nusantara dari Lukis Sampai Tari

Buku Claire Holt menjadi pijakan tema BWCF 2021, yakni "Membaca Ulang Claire Holt: Estetika Nusantara, Kontinuitas, dan Perubahannya".

2 November 2021 | 21.01 WIB

Borobudur Writers and Cultural Festival atau BWCF 2021. Dok. BWCF
Perbesar
Borobudur Writers and Cultural Festival atau BWCF 2021. Dok. BWCF

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Borobudur Writers and Cultural Festival atau BWCF 2021 akan berlangsung pada 18-21 November 2021. Dalam penyelenggaraan yang kesepuluh tahun ini, panitia BWCF mengangkat tema "Membaca Ulang Claire Holt: Estetika Nusantara, Kontinuitas, dan Perubahannya".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam keterangan tertulis pada Senin, 1 November 2021, panitia Borobudur Writers and Cultural Festival 2021 menjelaskan sebab mengangkat tema tersebut dan siapa Claire Holt. "Buku Claire Holt, Art in Indonesia: Continuity and Change yang terbit pada 1967 menjadi dasar pijakan kami merumuskan tema-tema diskusi," kata penyelenggara BWCF 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Claire Holt adalah seorang jurnalis perempuan keturunan Latvia yang menjadi warga negara Amerika. Dia lahir dengan nama asli Claire Bagg pada 1901 di Riga, Latvia, dari keluarga menengah atas Yahudi. Claire Holt adalah anak kedua dari lima bersaudara. Setelah menikah dengan guru bahasa Inggrisnya, mereka berdua pindah ke New York, Amerika Serikat.

Di kota "Big Apple" itu, Claire Holt kuliah di Brooklyn Law School, Cooper Union New York, dan mengikuti kursus mematung di studio Alexander Archipenko, pematung kontemporer Amerika kelahiran Ukrania. Pada Mei 1929, suami Claire Holt tewas karena kecelakaan. Claire bersama anaknya lalu kembali ke Riga, Latvia.

Satu kali, Angelica Archipenko, seniman yang juga istri Alexander Archipenko, menjenguk Claire Holt di Latvia. Dia kemudian mengajak Claire keliling dunia. Kebetulan Angelica mengenal pelukis Walter Spies yang bermukim di Bali.
Pada 1930 akhirnya, mereka menuju Indonesia (saat itu masih Hindia Belanda) dan mendarat di Bali. Claire Holt segera menjadi bagian dari lingkaran pergaulan Walter Spies. Dia bertemu WF Stutterheim yang mengajaknya meneliti candi-candi dan kebudayaan bendawi kuno Nusantara.

Stutterheim, Mangkunegara VII, dan guru tari klasik Jawa Pangeran Ario Tedjokusumo putra Sultan Hamengkubuwono VII, boleh disebut mentor-mentor Claire Holt untuk memahami budaya Jawa. Claire Holt juga menjadi murid tari Krido Bekso Wiromo, sekolah tari yang didirikan oleh Pangeran Tedjokusumo 1918.

Claire Holt menulis laporan berkala untuk Office of Strategic Services (belakangan menjadi Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat/CIA). Claire kemudian bergabung dengan George McT. Kahin di Universitas Cornell di Ithaca dan ikut mendirikan "Proyek Modern Indonesia".

Antara tahun 1930 sampai 1939, Claire Holt lebih sering tinggal di Pulau Jawa. Ia kembali untuk meneliti atas dukungan dana Rockefeller Foundation pada 1955-1957. Terakhir, dia mampir ke Indonesia pada 1969. Hanya saja, kondisinya saat itu sudah sakit-sakitan. Walaupun demikian, dia tetap memaksakan mengunjungi sejumlah situs candi dan pura di Jawa dan Bali.

Setelah kembali ke Ithaca pada April 1969, Claire Holt mengalami kelelahan luar biasa. Kesehatannya merosot. Ia wafat pada 29 Mei 1970.

Lima puluh satu tahun setelah kematian Claire Holt, dunia seni dan studi-studi arkeologi Indonesia telah berkembang. Pada waktu menulis bukunya, contoh-contoh seni prasejarah Indonesia yang dikemukakan Claire Holt adalah gambar-gambar pada batu dan gua-gua di Papua, Kepulauan Kei, Seram, Sulawesi, dan Kalimantan.

Dalam buku itu, Claire Holt masih menyebut umur gambar-gambar tersebut lebih muda dari gambar-gambar pada batu dan gua prasejarah di Eropa, antara lain di Font de Gaume, Dor dogne, dan Altamira. Sekarang, data-data baru arkeologis menyingkap fakta bahwa gambar-gambar di gua-gua di Maros-Pangkep (Sulawesi Selatan) dan Sangkulirang (Kalimantan) lebih tua dari gua-gua seperti di Goa Lascaux, Prancis atau gua manapun di dunia.

Gambar-gambar figuratif-naratif anoa, babi hutan, dan lain-lain di Goa Leang Bulu Sipong 4 yang baru saja ditemukan ditaksir berumur 44 ribu tahun. Penemuan ini sebetulnya bisa mengubah catatan sejarah seni dunia.

"Topik-topik seperti inilah yang nanti akan menjadi bahasan dalam acara BWCF tahun ini," demikian pernyataan panitia Borobudur Writers and Cultural Festival 2021. Ada pula topik asimilasi budaya atau osmosis budaya dalam dunia seni pertunjukan Nusantara yang menurut Claire Holt merupakan salah satu kekuatan seni pertunjukan Indonesia yang bisa menyerap berbagai pengaruh unsur-unsur menjadi kekuatan sendiri.

YINOLA CRISSY ELENROSE HADRIAN

Baca juga:
Pelukis Srihadi Soedarsono Mendapat Penghargaan di BWCF 2021

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik Tempo.co Update untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram lebih dulu.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus