Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dallas lewat kedai kaset

Film serial tv, dallas, yang bermutu dan digemari di banyak negara, baru beredar di indonesia lewat video, meski tidak begitu meledak. tvri belum berperan memilih film-film bagus yang diimpor lewat video. (fl)

29 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH selama enam tahun Dallas merasuk hati penonton Amerika dan 90 negara lain. Tapi baru Januari berselang publik Indonesia belajar kenal -- lewat kaset video -- dengan serial tv yang tersohor itu. Kita memang ketinggalan, bukan saja dari Brunei dan Arab Saudi, tapi juga dari Rumania, Yugoslavia, dan Zimbabwe. Jadi, manakala khalayak Amerika terpiuh-piuh hatinya melihat bagaimana keluarga kaya Ewing kehilangan putra tercinta, Bobby (diperankan Patrick Duffy), penonton di Jakarta masih asyik mencernakan episode terdahulu: Bobby diperebutkan oleh istrinya, Pamela (Victoria Principal), dan seorang bekas pacar, Jena Wade. Bagaimana pula Sue Ellen, istri tokoh utama, JR (diperankan Larry Hagman), masih sibuk dengan bayinya dan bukan pacarnya -- sementara penonton di AS justru melihat JR asyik bercintaan dengan Kristin Sephard, iparnya. Sejak pemunculannya yang pertama lewat jaringan tv CBS, April 1978, Dallas merenggut perhatian orang -- bukan saja karena temanya (tentang jutawan minyak Texas, Jock Ewing, dan putranya, JR (Junior) dan Bobby), tapi terutama karena berbagai petualangan, khususnya di bidang politik dan perminyakan serta (apalagi kalau bukan) cinta. Khalayak di Amerika mengakui serial itu telah dengan sangat pas memamerkan nafsu berkuasa dan keserakahan dalam bentuknya yang paling tidak masuk akal. Sekalipun Dallas -- menurut beberapa diplomat asing di AS mewujudkan nilai-nilai materialistis Amerika, di sebuah negeri Islam seperti Bangladesh ia merupakan pertunjukan tv nomor dua populer, sesudah satu serial lokal. Penonton di Timur Tengah, termasuk Israel, senang melihat bagaimana orang-orang kaya Amerika terperangkap dalam harta benda mereka sendiri. Publik Inggris semula kurang tertarik, tapi belakangan "menyerah" begitu pula penonton Australia. Di luar dugaan, Dallas tidak mendapat sambutan di Jepang. Sedangkan di Indonesia, serial itu mesti mengaku kalah pada serial silat Hong Kong, di samping film komedi Warkop. Mengapa? "Nggak ada actionnya," ujar Tedy, Kepala Divisi Video Rental Trio Tara cabang Hayam Wuruk. Itu, katanya, mungkin sekali karena kawasan Pecinan seperti Hayam Wuruk memang lebih berselera silat. Sebaliknya, di cabang Trio Tara Melawai, Kebayoran, Dallas "laku banget", kata manajer, Andrew Andi Wirawan. "Kebanyakan peminatnya kalangan menengah ke atas." Karena jumlahnya yang lumayan, ia yakin kaset itu akan mampu mengembalikan modal dalam 2-3 bulan -- satu rekor yang dicatat film Warkop di cabang Tara Hayam Wuruk. Tapi Dallas tetap saja belum bisa menandingi serial silat lainnya seperti Return of Undercover Agent. Ini karena "silat menjangkau kalangan lebih luas, tua-muda, menengah-atas, pintar ataupun tidak," kata Andrew lagi, tertawa. Tapi PT Indovi, yang mengimpor Dallas, tidak punya alasan tertawa. Memang, harga serial Amerika ini tidak lebih mahal dari harga serial silat Hong Kong. Toh Dallas tidak kunjung meledak. Sampai kini sudah 14 episode dilempar ke pasar, tapi paling tinggi tiap episode terjual 500 copy padahal untuk balik modal harus terjual 800. Dan penyebab "bencana" ini bukan cuma Warkop atau silat, tapi ini: "Pasaran kami diserobot kaset-kaset bajakan," seperti dikatakan Jonny Sjam kepada Putut Tri Husodo dari TEMPO. Kepala Bagian Pemasaran Indovi itu mengajukan fakta. Menurut Jonny, di seluruh Indonesia ada 2.000 kedai atau video rental, seperempat di antaranya di Jakarta. Penjualan Dallas tidak mencapai 800 copy per episode, tetapi "kalau dicek, kaset video tersedia hampir di setiap rental," ujarnya. Aneh, tidak? Dari situ ia memastikan praktek pembajakan yang dimaksudkannya. Apalagi kaset bajakan dijual cuma Rp 15.000, sementara yang resmi tidak bisa ditekan ke bawah Rp 27.500. Tingginya harga itu antara lain karena prosedur panjang yang harus ditempuh: lewat BSF (Badan Sensor Film), penggandaan di TVRI, juga penerjemahannya, ditambah sertifikat produksi yang mesti dibayar Rp 1 juta per episode. Sedangkan harga kaset kosong saja, dengan panjang 90 menit, Rp 10.000. Diakui Jonny, tujuh SK Menpen sudah benar-benar mencakup seluk beluk bisnis video -- tapi urusan pembajakan rupanya tidak sampai terjerat. Kalau saja -- andai kata -- TVRI lebih berperan dalam urusan film-film bagus yang diimpor lewat kaset video, tentulah harganya bisa ditekan. Yang akan diuntungkan memang bukan para pedagang, tapi publik yang lebih banyak yang bisa ikut menikmati. Tetapi Drs. Sa'dullah, kepala TVRI Stasiun Pusat Jakarta, mengajukan beberapa alasan: TVRI tidak membeli langsung, tapi lewat rekanan. Pilihan yang diajukan rekanan itu terbatas. Dan, paling penting, serial impor itu "tidak boleh mengganggu ipoleksosbud bangsa kita," katanya, seperti dikutip Gatot Triyanto dari TEMPO -- meskipun tidak jelas apakah Dallas dibanding yang lain-lain, akan lebih terkena aturan ipoleksosbud itu. Sa'dullah mengakui, TVRI terlalu ketinggalan dalam acara serial -- satu hal yang dicobaatasi kini dengan partisipasi TVRI pada tingkat seleksi, katanya. Sedianya lembaga ini condong menyuguhkan serial Indonesia, tapi untuk produksi, biayanya lima kali lipat dibandingkan serial impor. Perlukah sistem sponsor, kalau begitu? Bukan saja agar publik Indonesia bisa menyaksikan senyum berbisa JR, tapi terutama, omong-omong, agar seria pribumi bermutu seperti Losmen dapat di produksi lebih banyak. Memang, dulu juga ada sistem sponsor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus