SEBUAH harian baru lahir di Semarang: Wawasan. Muncul sejak 17 Maret lalu, surat kabar sore dengan delapan halaman ini diterbitkan oleh PT Sarana Pariwara Semarang. Koran baru ini masih satu keluarga dengan harian pagi Suara Merdeka. Pimpinan perusahaan Wawasan adalah Ny. Sarsa Winiarsih, istri Budi Santoso, pimpinan umum Suara Merdeka. Koran baru ini satu-satunya surat kabar yang terbit sore di Jawa Tengah. Pemilihan waktu terbit ini tampaknya didasarkan atas pengamatan yang jeli. "Kami melihat pasar di sore hari," kata Supriyadi, 38, pimpinan umum Wawasan. Maksudnya, banyak koran Jakarta yang datang di Semarang pada siang hari, dan baru dibaca sore harinya. "Artinya, pembaca sudah terkondisi membaca koran sore," ujar Supriyadi. Sebelum terbit, telah dilakukan penelitian kelayakan yang dilakukan oleh PT Multi Media. Dari situ diketahui, penduduk Semarang sekitar satu juta, sedang jumlah koran yang beredar baru 300 ribu. "Berarti kami masih punya pasar," tutur Soetjipto pimpinan redaksi Wawasan. Yang lebih penting, menurut penelitian itu, pembaca koran pusat ternyata juga pembaca Suara Merdeka. "Dengan penyajian Wawasan yang menyuguhkan berita problematik, kami optimistis mendapat pasaran," Soetjipto menjelaskan. Agar bisa bersaing dalam pemberitaan, Wawasan sengaja merekrut tenaga yang berpendidikan cukup. Para wartawannya rata-rata berumur di bawah 30 tahun dengan pendidikan minimum sarjana muda. Sebagian pengelola pimpinan diambil dari Suara Merdeka. Rupanya, Wawasan ingin memberikan penyajian yang lain dari Suara Merdeka. "Kami akan memberikan berita yang lebih," kata Soetjipto. Maksudnya, Wawasan akan mengurangi sraight news, dan akan lebih banyak mengajak diskusi pembacanya. "Sekarang koran tak lagi cukup memberi informasi saja, tapi perlu memberikan dimensi yang cukup dalam. Kami akan memberikan ulasan yang cukup dalam," ujar Supriyadi. Masa depan koran baru ini tampaknya cukup baik. Terbit tujuh kali seminggu, termasuk Wawasan Minggu, koran ini pada penerbitan perdana dicetak 20 ribu eksemplar. Menurut Supriyadi, kini sudah diperoleh sembilan ribu pelanggan. Koran ini akan memusatkan pemasarannya di Jawa Tengah. Diedarkan dari pusat perbelanjaan Simpang Lima Semarang, harian ini bertekad untuk bisa terbit dengan 12 halaman pada akhir tahun ini. Tampaknya, bukan hanya Wawasan yang ingin merebut pembaca di Ja-Teng. Di Solo, sebuah koran baru kini sedang ancang-ancang untuk terbit. Namanya pun khas Solo: Suara Bengawan. Harian ini diterbitkan oleh PT Bengawan Sakti. "Selama 30 tahun Solo tak punya koran harian. Dengan terbitnya Suara Bengawan, secara idiil akan memberi kesadaran baru pada masyarakat dan orang pers, untuk membangkitkan gairah mereka bahwa Solo kota pers. PWI 'kan lahir di Solo," kata H.S. Soemaryono, 53, pendiri koran baru ini. Saat ini, Solo memang hanya memiliki koran mingguan: Adil, Dharma Nyata, Dharma Kanda, dan Parikesit. Dua yang terakhir ini berbahasa Jawa. Koran harian terakhir yang pernah terbit di kota bengawan ini, Dwi Warna dan Dwi Warno, berhenti terbit pada 1955. Hingga akhir pekan lalu, SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) untuk Suara Bengawan belum keluar. Tapi Soemaryono yang kini menjabat Direktur Monumen Pers, Ketua PWI Solo, dan anggota Dewan Pers, optimistis SIUPP bakal segera keluar. Alasannya, segala persyaratan yang dikehendaki Deppen sudah komplet. "Para tokohnya loyal pada pemerintah, dana tersedia, dan lagi Solo lama tak punya koran harian," ujar Soemaryono. Ia menolak mengungkap nama para pemegang saham Suara Bengawan, dan hanya menyebut mereka adalah "tokoh-tokoh yang bonafide di Ja-Teng dan Jakarta". Dilihat dari persiapannya, koran ini tampaknya memang bonafide. Untuk kantor sementara, beberapa ruang di Monumen Pers disewa Rp 4,5 juta setahun. Sejumlah perlengkapan redaksi dan peralatan untuk percetakan -- koran ini akan dicetak di percetakan Jagalabilawa, Solo -- telah dibeli dan menghabiskan Rp 300 juta. Ini termasuk persediaan kertas untuk tiga bulan. Lantas ada simpanan di bank untuk tahap pertama Rp 600 juta. Ada 42 tenaga wartawan yang terpilih dari 946 pelamar. Mereka telah diterjunkan ke lapangan sejak Januari. Dan yang lebih penting adalah keyakinan Soemaryono: "Ja-Teng belum jenuh dengan koran baru." MUNCULNYA dua koran baru di daerah ini tampaknya membantah anggapan yang selama bertahun-tahun diterima: koran Ibu kota mengancam eksistensi koran daerah hingga menyebabkan hidup koran daerah kembang-kempis. Beberapa koran daerah yang dikelola secara baik dan profesional -- beberapa di antaranya beroplah di atas 100 ribu -- belakangan ini malah menyerbu Jakarta, seperti Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Singgalang, Waspada, Analisa dan belakangan ini Jawa Pos. Hingga sangat beralasan bila Budi Santoso, pimpinan umum Suara Merdeka, dalam diskusi "Pertumbuhan Pers sebagai Industri" yang diselenggarakan TEMPO dua pekan lalu, dengan lantang mengatakan, "Boleh saja koran ibu kota masuk daerah. Saya tidak takut". Dalam diskusi itu, Budi mengungkapkan strategi korannya, yang meniru taktik kesebelasan Italia dalam kejuaraan dunia 1982: pertahanan total dibarengi serangan balik yang efektif. "Saya akan melakukan pertahanan yang berlapis-lapis. Semua segmen akan saya penuhi kebutuhannya. Segmen tertentu yang di atas, silakan dimasuki Kompas," katanya. Menurut Budi, tidak mungkin Kompas bisa mengakomodasikan arus sosial budaya yang begitu banyak dan majemuk di seluruh Indonesia. Hanya segmen tertentu saja yang bisa dimasuki koran ibu kota: satu golongan masyarakat yang sudah terbuka cakrawalanya, dan dari segi kultur malah agak luntur. Sisanya, yang lebih banyak, merupakan segmen yang bisa dimanfaatkan koran daerah. "Karena itu, kita tidak perlu berkelahi. Kita bisa saling menghidupi dan saling berkembang bersama," kata Budi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini