Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
I Wayan Mudita Adnyana dengan hati-hati membuka Lontar Sutasoma. Lontar itu ditulisnya sendiri. Ahli lontar berusia 86 tahun itu dikenal tekun menyalin lontar naskah-naskah Hindu-Buddha kuno. Ia telah banyak menyalin lontar tua dari Nagarakretagama sampai Sanghyang Kamahayanikan. Sore itu, 13 Oktober lalu, Wayan Mudita memulai pertunjukan Sutasoma dengan menembangkan bait-bait awal Lontar Sutasoma yang berisi permohonan Mpu Tantular kepada Sanghyang Buddha.
Musik gamelan Bali yang dipimpin I Made Subandi mengiringi suara Wayan Mudita. Lalu, dari bagian belakang, berjalan perlahan Tsumura Reijiro, 76 tahun. Ia seorang maestro noh, jenis teater tradisi Jepang yang para aktornya menggunakan topeng. Kemunculan pertamanya sudah menyedot perhatian penonton. Ia menggunakan ikat kepala dan topeng putih serta kimono berlapis seperti rompi cokelat. Dia juga berselimut kain dengan warna dasar hitam.
Pertunjukan Sutasoma secara bersahaja cuma dimainkan oleh tiga pemain. Mereka adalah Tsumura Reijiro; Ni Wayan Sekariani, penari Bali; dan Koyano Tetsuro, aktor Jepang yang dikenal anggota kelompok teater Hiroshi Koike Project. Tsumura menjadi Sutasoma, sementara Ni Wayan dan Koyano memainkan beberapa karakter.
Pada 2015, Sutasoma disajikan di Kuil Komano, Shimane, Jepang. Kali ini pertunjukan digelar di sebuah rumah kayu di Museum Topeng Setia Darma (Setia Darma House of Mask and Puppet) di Tegal Bingin, Tengkulak Tengah, Desa Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali. Museum Topeng memiliki beberapa rumah kayu yang masing-masing menjadi tempat dipamerkannya ratusan topeng tua dari berbagai sudut Nusantara. Sehari-hari rumah kayu tempat berlangsungnya pementasan Sutasoma adalah tempat disimpannya berbagai macam barong dengan ukuran besar, dari Barong Keket, Barong Macan, Barong Asu, sampai Barong Landung. Untuk pementasan ini, tempat dikosongkan dari segala barong.
Sutasoma adalah sebuah sastra Buddhis yang muncul di Jawa Timur pada abad ke-14. Kisahnya tentang seorang bodhisattva yang menunda masuk surga dan dilahirkan kembali sebagai seorang pangeran bernama Sutasoma. Maka Sutasoma adalah titisan Sanghyang Buddha. "Kisah ini tak ada di Jepang," kata Koyano Tetsuro. Mereka kemudian bekerja sama dengan I Wayan Mudita Adnyana, yang dianggap menguasai kisah Sutasoma. "Lontar Sutasoma ini 17 tahun lalu saya buat tatkala tangan saya masih kuat," ujar Wayan Mudita.
I Wayan Mudita mengatakan ia menyalin Sutasoma dari sebuah lontar tua Sutasoma berumur ratusan tahun yang disimpan di Desa Tenganan. "Lontar Sutasoma yang ada di Tenganan itu sudah rusak berat. Dimakan rayap. Tidak bisa dibaca lagi. Saya pinjam untuk saya salin," katanya. Dia membutuhkan waktu dua tahun untuk mengerjakan penulisan itu.
I Wayan Mudita menulis lontar sejak 1957. "Guru saya belajar Sanskerta adalah Profesor Hooykaas," ucapnya. Wayan Mudita ingat, saat Hooykaas beberapa puluh tahun lalu berada di Bali, ia membantu filolog Belanda itu memahami sebuah mantra. "Profesor Hooykaas tidak tahu mantra upacara pengabenan di Tenganan. Saya lalu mengajari Profesor Hooykaas," kata Wayan Mudita. Hooykaas kemudian menuntun Wayan Mudita untuk mengerti tata bahasa Sanskerta. "Saya ingat Profesor Hooykaas memberi saya kitab Agastya Parwa untuk kenang-kenangan."
Menurut Wayan Mudita, seorang penulis lontar harus mampu memahami kakawin (puisi) ataupun prosa. "Saya menyalin Mahabharata sudah sampai 8 parwa." Sutasoma sendiri adalah kakawin yang sulit. Harus teliti soal suku kata dan penggalan kalimatnya. Pengetahuan grammar Sanskerta adalah mutlak. Wayan Mudita sangat berhati-hati saat membuat Lontar Sutasoma. Ia yakin Sutasoma terbaik di Bali sekarang adalah salinannya. "Judul asli Sutasoma sebenarnya adalah Purusadhasanta atau Penaklukan Raja Purusadha," ia menerangkan.
Pertunjukan sore itu intinya adalah tentang pertempuran Sutasoma dengan Purusadha. Tsumura Reijiro menjadi Sutasoma saat muda dan Sutasoma setelah menggapai pencerahan. Ia berganti topeng dua kali. Adapun Ni Wayan Sekariani menjadi Durga dan Dewi Candrawati. Pada bagian pertemuan Sutasoma dengan Durga, Wayan Mudita melantunkan anugerah dewi Durga kepada Sutasoma. Kemudian terjadi interaksi bahasa Jepang dan Bali yang menarik. Vokal Tsumura Reijiro yang cenderung memberat direspons oleh suara Ni Wayan Sekariani yang melengking.
Sementara itu, Koyano Tetsuro memainkan lima karakter. Ia berganti-ganti topeng. Salah satunya menjadi Sumitra, paman Sudhana. Koyano bisa berbahasa Indonesia. Kemampuannya ini yang membuat pertunjukan terasa lancar dan menghibur. Tatkala bertopeng Bali, ia tiba-tiba berbahasa Jepang. Tatkala bertopeng Jepang, ia berbahasa Indonesia. "Jangan kamu ke Gunung Semeru," katanya saat memerankan Sumitra mencegah Sutasoma pergi ke Gunung Semeru untuk bertanding melawan raksasa Purusadha.
Adegan menarik tatkala Ni Wayan Sekariani sebagai Dewi Candrawati menggunakan kostum seorang dewi berusaha agar Sutasoma tak berkelana ke Semeru. Ia secara energetik dengan gerak penari Bali dan tembang Bali menghampiri Tsumura Reijiro dari berbagai arah. Dari arah belakang, depan, dan samping. Ia bersimpuh mendekatkan badannya mesra ke arah Tsumura Reijiro. Sedangkan Tsumura dengan topeng tetap duduk diam. Semadi. Diamnya Tsumura itu mempesona.
Tatkala bertempur dengan Purusadha, yang dimainkan oleh Koyano, Tsumura juga melakukan peperangan dengan hanya berdiri diam. Dengan kimono kuning dan topeng putih, dua tangannya mengatup ke depan dada. Sedangkan Koyano mengenakan topeng rangda, ratu para leak yang wajahnya merah. Matanya melotot dan bertaring. Purusadha mengibas-ngibaskan kain berusaha mengerubut ke badan Sutasoma dari berbagai arah. Dari belakang, ia hendak menangkupkan kain ke kepala Sutasoma. Namun badan Sutasoma tetap tak tersentuh. Diamnya Tsumura memainkan Sutasoma seolah-olah merasuk ke topeng. Dalam diam, topeng itu seakan-akan hidup.
Adegan yang tak terduga adalah tiba-tiba dari tangan Tsumura Reijiro keluar benda seperti benang- jerat putih untuk menghalau rangda. Tatkala adegan perang, riuh bebunyian ceng-ceng dan gambang bambu dimainkan oleh I Made Subandi dibantu pemusik Kawamura Kohey. Hal itu membuat seratusan penonton yang duduk dan lesehan dengan jarak dekat dengan para penari menjadi terhanyut.
Pertunjukan diakhiri kliningan lonceng dan tembang I Wayan Mudita. Dia melantunkan bagian Sutasoma yang menyebutkan Bhinneka Tunggal Ika. Tan Hana Dharma Mangrwa. Pada saat ia melantunkan itu, Tsumura Reijiro tetap berkimono kuning dan bertopeng bersedekap seolah-olah berdoa. Topeng putih itu seakan-akan tersenyum. Setelah mengakhiri tembangnya, Wayan Mudita membungkus lontarnya dan dengan hati-hati menyimpannya ke kotak.
"Atmosfernya sangat terasa," ujar Tsumura Reijiro seusai pentas. Mungkin penampilannya di rumah kayu di kawasan Tegal Bingin, Ubud, itu mengingatkannya saat ia menari di dalam kuil kayu atau rumah tradisi Jepang.
Seno Joko Suyono (ubud, Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo