Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kerudung, Sepatu Bot, dan Sapi

Empat koreografer muda kita menampilkan karya terbarunya di Teater Salihara. Ada yang terasa tidak beranjak jauh dari karya sebelumnya, ada yang mengalami lompatan ide.

17 November 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERUDUNG dan sepatu bot. Dua atribut yang kontras itu dikenakan para penari Hartati. Hartati bisa disebut koreografer paling sibuk bulan-bulan ini. Ia mementaskan tiga karya yang berbeda dalam waktu yang berdekatan. Di Teater Luwes Institut Kesenian Jakarta, lalu di perhelatan Indonesia Dance Festival.

Namun, dibandingkan dengan Cinta Kita, yang dipentaskan di Indonesia Dance Festival, karyanya malam itu—berjudul Dua Kutub— terasa memiliki eksekusi yang lebih kuat. Dalam karya itu tecermin Hartati berani terus melakukan pembaruan dalam dirinya. Hartati dikenal sebagai penari yang memiliki basis ”ke-Minang-an”. Dalam beberapa karya terakhirnya ia berusaha keluar dari cakrawala itu dan membikin karya yang lebih bebas secara gerak dan bentuk. Malam itu, usaha tersebut mulai memperlihatkan hasil.

Karya itu sendiri sesungguhnya bertema sederhana: maskulinitas dalam tubuh perempuan. Hanya dua penari: Anggi dan Nur Hasanah. Mengenakan jaket kulit, mereka duduk berseberangan. Anggi merambatkan jari ke lutut, meraup-raupkan tangan ke muka. Nur Hasanah badannya mengejang, bergetar di kursi. Mereka lalu meraih kaus kaki hitam. Hartati ingin melukiskan bagaimana yang satu merasa nyaman dengan unsur maskulinitas, sementara yang lain ingin melepaskan tapi tak kuasa.

Dan puncaknya, mereka melakukan tindakan yang bisa ”melukai diri”. Mengenakan kerudung, kaca mata hitam, gaun tunik muslim, tapi tak mengenakan kain sarung, sehingga tungkai mereka yang jenjang terlihat. Dengan ”baju muslim sensual” itu mereka membawa tongkat. Bak seorang yang berlatih bela raga, mereka menyerang, menyabet-nyabet kursi.

Musik Syahrial memberikan bobot bagi pertunjukan ini. Syahrial, yang dikenal komponis yang menguasai khazanah instrumen Minang dan sering menciptakan alat musik sendiri, menyuguhkan kolase ”musik konkret” modern yang cukup utuh. Pada saat adegan ”militeristik” terdengar musik dari ramuan bunyi: pisau diasah, benda dikikir, suara silet, derum baling-baling helikopter, guyuran ember air, derap sepatu lars. Tapi akan menjadi lebih bagus bila Hartati menghindari ekspresi klise ketika menampilkan vokabuler gerak menyimbolkan kekerasan itu.

Hartati adalah salah satu koreografer yang tampil dari empat koreografer yang pentas di Teater Salihara malam itu. Selain dia, ada Hanny Herlina, Indra Zubir, dan Fitri Setyaningsih. Mereka semua dikenal sebagai koreografer muda kita yang potensial. Untuk pertunjukan mereka, kursi-kursi di teater black box Salihara diubah menjadi berbentuk arena. Selama rangkaian festival Salihara ini, untuk pertunjukan-pertunjukan sebelumnya, format panggung hanya satu arah. Ternyata, bila dibuat berformat arena yang memungkinkan penonton menonton dari tiga sisi: depan, samping kanan dan kiri, panggung masih sangat terasa lapang.

Hanny Herlina mengawali pertunjukan. Hanny dikenal memiliki minat pada tradisi Sunda. Dan tampaknya ia masih belum ingin melepaskan diri untuk mengambil gagasan dari khazanah Sunda, meski hal itu telah banyak dimamah baik oleh seni pertunjukan maupun ilmu sosial. Ia pernah mementaskan tari yang diinspirasi kisah Putri Bungsu Rarang. Waktu itu ia mengenakan topeng panji. Dan kini ia menampilkan Sinjang, yang bertolak pada dunia ronggeng.

Sinjang dalam bahasa Sunda berarti kain sarung yang biasa dipakai penari ronggeng zaman dulu. Ia sendiri muncul ke panggung dengan rambut penuh aksesori bunga-bunga merah dan kuning. Bersama tiga penari lain (Ratna Ully dkk) ia menebar-nebar uang logam dan kertas. Ia kemudian duduk di tikar membelakangi penonton. Satu per satu ia mencopot bunga di kepalanya.

Untuk karya ini Henny melakukan riset ke Karawang, Jawa Barat, mengamati kehidupan penari ronggeng, baik ketika pentas maupun di rumah sehari-hari. ”Sering bila di rumah sebagai ibu rumah tangga mereka menyamarkan identitas. Tapi ketika menari sepenuhnya milik penonton yang menyawer,” katanya. Menyuguhkan problem identitas ini, Hanny memanfaatkan elemen rambut yang panjang. Pada puncak adegan: dirinya dan ketiga penari lain bergerak ”liar” tanpa pola dan aturan dengan wajah tertutup gumpalan rambut. Mata, bibir, hidung, mereka tak tampak. Menyaksikannya kita seperti melihat campuran: sensualitas, kepe-rihan, takdir buta.

Akan halnya Indra Zubir, ia tampak ingin mengangkat problem hubungan manusia modern di perkotaan yang kerap tak kekal. Ia mengambil metafora orang-orang yang selintas bertemu di bangku-bangku taman. Mulanya ia dan penari Rury Avianti mengeksplorasi sebuah bangku panjang. Karya ini langsung mengingatkan kita pada karyanya beberapa tahun lalu, Saat, yang sangat berhasil mengeksplorasi bangku, penuh variasi, dengan teknik tinggi. Untuk karya malam itu ia berangkat dari puisi Goenawan Mohamad: Bintang Pagi. Menarik di tengah suasana ketergesa-gesaan, kesementaraan relasi yang ingin ditampilkan, tiba-tiba seluruh ruang gelap dan secara tegas lampu menciptakan hanya dua persegi panjang terang di lantai. Itulah Bintang Pagi.

Fitri Setyaningsih menampilkan Sabana Grande. Mengamati perjalanan koreografi Fitri, dari satu karya ke karya lain, tampak pikiran Fitri memang seperti terus bergerak, meski tema yang digelutinya sebelumnya tak didalaminya lagi. Ia pernah menari dengan ide daging bergantungan; ia pernah melakukan happening dengan berenang di sungai penuh sampah di depan Pasar Baru, ia pernah membawa belut di pentas.

Dan kini, untuk mengawali pertunjukannya, dua orang lelaki berkeliling panggung, membawa burung-burungan yang digantung di galah bambu. Sayapnya bisa bergerak-gerak. Lalu empat perempuan dengan baju tidur putih berbaring di matras. Mereka berdempetan, bergerak satu bergerak lainnya. Keluar kemudian bunyi oum… dari mulut mereka silih berganti. Seorang kulit putih (Emelia Javanica, aktivis teater dari Seattle, Amerika Serikat), kemudian berdiri, dan bak seorang yang tengah melatih vokal seriosa, ia melantun: oaaa.... Setelah itu mereka pindah tidur ke pojok.

Mengapa karya ini berjudul Sabana Grande? ”Saya berkunjung ke Spanyol. Saya terpesona sebuah lembah besar,” kata Fitri. Ia mengenang, sabana itu memiliki garis terasering simetris dan hamparan rumput luas yang indah tempat sapi berkeliaran. Fitri tak ingin memanggungkan sabana itu secara harfiah. Ia merasa lapisan rumput itu bagaikan selubung selimut yang kita pakai sehari-hari. ”Sabana bagi saya itu bisa serupa bedcover (penutup tempat tidur yang dilapisi busa duffet).”

Itulah sebabnya ada adegan tidur-tiduran. Harus diakui, dalam konstelasi koreografer kita, Fitri memiliki pendekatan yang lain terhadap apa yang dinamakan tari. Persoalannya, malam itu penonton tidak bisa meraba hubungan antara adegan tidur dan sabana. Relasi itu hanya terdapat dalam benak Fitri sendiri. Penonton kemudian lebih menciptakan asosiasi sendiri terhadap apa yang dihadirkan Fitiri di panggung. Menghadapi tarian Fitri memang harus siap menonton fragmen yang tidak berkaitan.

Juga kostum sering tak terduga. Ketika berenang di sungai Pasar Baru, Fitri mengenakan long dress dari botol-botol bekas. Atau dalam karyanya yang lain seorang penari laki-lakinya, dengan rambut tomahawk, mengenakan rok dan bersepatu lars. Malam itu ada adegan para penarinya menggunakan rok bertumpuk-tumpuk. Warna rok itu mencolok: loreng merah-putih. Mereka kemudian bermain tali. Tali hijau itu dibentang-bentangkan, membentuk persegi panjang.

Strategi koreografi yang dimiliki Fitri mengingatkan kita pada strategi visual para perupa kontemporer, yang mendramatisasi hal remeh sehari-hari. Obyek kecil yang dapat kita temui sehari-hari oleh para perupa sering diperbesar skalanya sehingga memiliki efek kejut. Oleh Fitri gerak sehari-hari yang sering kita lakukan sering dilaksanakan di panggung dengan kondisi tidak biasa. Coba lihat adegan ketika para penari membebat kepalan mereka dengan kain. Kain itu terjuntai ke bawah masuk ke cawan-cawan berisi air. Tindakan memeras, mencuci kain adalah umum. Pada Fitri menjadi unik karena ditampilkan dengan visualisasi lain.

Pada akhir pertunjukan, pun kejutan diberikan Fitri. Tiba-tiba ada sosok ”patung-patungan” berbentuk sapi lewat di panggung. Di dalamnya meringkuk tubuh Fitri. Ia tidur di perut sapi. Ia seolah janin besar. ”Tadinya saya ingin menghadirkan sapi betulan, tapi takut merusak repertoar lain,” katanya.

Tak ada yang betul-betul menyengat dari penampilan keempat koreografer malam itu. Namun mana yang terus memburu ide, mana yang terus gelisah mengolah bentuk, mana yang cukup mampu atau kesulitan mengeksekusi gagasan, bisa terlihat.

Seno Joko Suyono, Kurie Suditomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus