Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Rafly: ”Lagu-Lagu Saya Tidak Provokatif”

12 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rafly, 36 tahun, orang yang ngotot. Empat tahun lalu, ia dan rekan-rekannya membentuk grup band Kande dengan tujuan tunggal: mempopulerkan musik tradisional Aceh.

Rafly melihat, banyak penyanyi Aceh telah menelurkan album tapi masih sedikit album mereka yang bernuansa musik tradisional Aceh. Ada kerinduan akan musik berbasis kesenian etnis Aceh. "Lewat Kande, kami mencoba membuat komposisi musik kolaborasi etnis Aceh tanpa mengesampingkan alat musik modern," kata penyanyi kelahiran Desa Subarang, Aceh Selatan, 1 Agustus 1967 itu.

Sepuluh tahun silam, Rafly "hanyalah" guru madrasah ibtidaiah—setingkat sekolah dasar—di Panga Pucok, Teunom, Aceh Barat (sekarang Aceh Jaya). Bahkan, sebelumnya ia sempat bekerja serabutan sekitar dua tahun. Alumni program diploma keterampilan jasa Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, itu pernah menjadi kuli bangunan, tukang kayu, dan buruh kasar di sejumlah tempat. "Itu semua saya kerjakan karena tuntutan hidup," ujar ayah tiga anak—Safrullah, Aminullah, dan Raisyah Nabila—buah cintanya dengan Ernitati itu.

Jalan hidup Rafly berubah saat menjadi vokalis Kande. Album pertama Kande, bertajuk The Fighting Spirit, yang dirilis awal 2002, laris manis di Aceh, sekaligus melambungkan namanya. Dan nama sulung dari empat bersaudara itu kian meroket ketika ia merilis album solonya, Hassan-Hussein, pada tahun yang sama. Kaset album itu terjual lebih dari 50 ribu kopi. Sedangkan VCD Hassan-Hussein laku hingga 100 ribu keping. Lantas, pada pertengahan 2003 lalu, ia juga menelurkan album solo keduanya, Ainal Mardhiah.

Cukup fantastis, memang. Toh, Rafly tetap bersahaja. Senin tiga pekan lalu, saat ditemui Yuswardi Ali Suud dari TEMPO di rumahnya di Jalan Beringin, Banda Aceh, ia tampak sederhana. Mengenakan baju kaus, kain sarung cokelat, dan berpeci putih, Rafly bercerita tentang musik, yang diusungnya dengan santai.


Sebenarnya apa, sih, karakter musik yang Anda usung?

Yang kami usung adalah bahasa musik, bukan total bahasa syair. Misalnya, ketika kita mendengar lagu Metallica, Michael Bolton, Michael Jackson, atau Ricky Martin, banyak di antara kita yang tidak paham syairnya tapi tetap suka dengan lagu tersebut. Itu artinya ada kekuatan musik yang ingin dikedepankan.

Hal yang menarik, dalam senandung Aceh, ada yang namanya radat seu-ot (saling bersahutan antara vokalis dan backing vokal). Nah, itulah yang menambah harmonisasi lagu-lagu kami. Lalu, diperkuat oleh komposisi musik yang berbasis musik tradisional Aceh. Selain itu, kami juga memasukkan unsur-unsur modern. Jadi, bisa dibilang aliran musik kami merupakan kolaborasi musik etnis Aceh dan modern.

Lantas, apa tema yang diangkat dalam lagu-lagu Anda?

Untuk lagu-lagu dalam album Kande, syair-syairnya banyak berbicara tentang persoalan yang terjadi di Aceh khususnya dan dunia pada umumnya. Baik di Aceh maupun di dunia sekarang ini telah banyak terjadi pergeseran nilai. Misalnya, dalam syair lagu Mumang (Pusing), kami mengkritik para pejabat yang begitu gila jabatan. Terkadang mereka sampai harus membeli jabatan segala.

Lantas, lagu Hom (Entah). Lagu ini bercerita tentang persoalan yang terjadi di Aceh, terutama sepanjang 2001 hingga 2002. Saat itu, situasinya, banyak rumah, sekolah, dan bangunan lainnya yang dibakar, tapi tak jelas siapa pelakunya. Ada orang yang dibunuh, tapi tak jelas siapa pembunuhnya. Masyarakat menjadi gamang. Akhirnya, kita lebih banyak berkata, "Entahlah...."

Sedangkan di album solo—Hassan-Hussein dan Ainal Mardhiah—saya lebih banyak berbicara tentang nasib seorang anak manusia, kritik sosial, religi, roman, dan perdamaian Aceh. Dalam lagu Aneuk Yatim (Anak Yatim), misalnya, saya berkisah tentang seorang anak yatim yang tak tahu di mana kuburan orang tuanya. Nah, realitas-realitas seperti itu yang saya angkat ke dalam syair.

Ada sebagian kalangan yang menyebut syair-syair lagu Anda provokatif. Komentar Anda?

Sama sekali tidak ada unsur provokasinya. Itu terlalu dangkal penilaiannya. Lagu-lagu saya, baik di album Kande maupun album solo, berbicara tentang persoalan universal, berbicara tentang persoalan hidup manusia. Tidak hanya yang terjadi di Aceh, tapi di mana saja. Misalnya persoalan tentang perang, kerakusan manusia, sebuah pertikaian, dan lain-lain. Jadi, lagu-lagu saya tak berpolitik, tapi memiliki kekuatan politik. Artinya, kita tetap berada pada fungsi kontrol sosial dengan melihat realitas yang terjadi di Aceh.

Anda kaget ketika menjadi penyanyi terkenal?

Kaget, ya, kaget juga. Ternyata musik etnis masih mendapat tempat di hati masyarakat luas.

Apakah Anda sempat mengalami culture shock?

Insya Allah tidak. Sebab, landasan saya, semua itu takdir Allah, tergantung kita yang menyikapinya. Nyatanya, sampai sekarang kawan-kawan lama saya malah bertambah dekat.

Setelah menjadi penyanyi, apa yang berubah dalam hidup Anda?

Semua berjalan biasa saja. Hanya, kadang-kadang saya rindu ingin mengajar lagi, kangen pada anak-anak. Tapi saya tetap ingin berkarya di dunia nyanyi. Kalau sudah rindu pada anak-anak, kadang-kadang saya sempatkan diri untuk sekadar menjenguk anak-anak di Madrasah Ibtidaiah Negeri Setui, Banda Aceh. Kadang-kadang saya mengajar dan bernyanyi bersama mereka.

Masih ingin kembali menjadi guru?

Kalau mengajar, ingin. Tapi saya juga tetap ingin berkarya di musik.

Selain menekuni dunia musik, apa aktivitas Anda sekarang?

Sekarang saya bekerja sebagai pegawai Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Aceh, bidang penerangan masyarakat seksi siaran dan kebudayaan. Jadi, siang saya bekerja di kantor, malamnya bermain musik.

Anda punya penyanyi favorit?

Ada. Penyanyi favorit saya antara lain almarhum Mukhlis (vokalis grup musik Aceh, Nyawoung). Saya juga suka Iwan Fals, Hari Mukti, dan Utha Likumahuwa. Mereka itu memiliki karakter bermusik dan olah vokal yang bagus. Sedangkan untuk penyanyi luar negeri, saya suka vokalisnya Iron Maiden.

Ini soal lain. Beberapa waktu lalu penguasa darurat militer pernah menyeleksi dan melarang beredar lagu-lagu yang dinilai provokatif. Anda pernah dipanggil?

Alhamdulillah saya tidak pernah dipanggil. Itu salah satu bukti bahwa lagu-lagu saya tidak provokatif.

Apa pendapat Anda tentang sikap penguasa darurat militer tersebut?

Mungkin itu berniat bagus, karena ingin meredam gejolak persoalan yang sudah lama terjadi di Aceh. Hanya, kesannya berlebihan. Patut dicatat, seniman itu juga membawa misi sosial. Ada ruang sharing dan wilayah kreativitas seniman. Boleh dibilang, seniman itu tak berpolitik. Tapi, bila seniman menangkap kebenaran, ia akan menyuarakan kebenaran itu dengan nurani seniman. Lantas, kenapa tidak boleh?

Pernah dipanggil Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam?

Tidak juga. Mereka bahkan terkesan tidak punya apresiasi terhadap kesenian daerah. Perhatiannya sangat kecil. Padahal, kalau mau jujur, di Aceh belum ada keabsahan identitas musik Aceh sendiri. Berbeda dengan di Minangkabau, Batak, atau Jawa. Seharusnya ada perhatian dan apresiasi terhadap kesenian daerah supaya ada kesejahteraan para pelaku seni untuk keberlangsungan seni budaya itu sendiri.

Apa harapan Anda terhadap musik daerah Aceh?

Saya kira kita hanya minta apresiasi saja. Misalnya, kalau hendak mengadakan acara hiburan untuk rakyat, tak perlulah mendatangkan penyanyi dangdut dari Jakarta. Di sini masih banyak penyanyi Aceh yang sarat dengan pesan moral. Itu barangkali bisa jadi terapi musik. Jadi, sikapilah persoalan ini dengan nurani untuk kebersamaan. Tolong, kesampingkan kepentingan pribadi untuk Aceh ke depan. Ada hadis maja (peribahasa Aceh) yang mengatakan "Ubat ate Allah-Allah, ubat susah peyasan beuna". Artinya, obat hati berzikir, obat susah harus ada hiburan).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus