Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dari Letusan di Suatu Siang

Musik Aceh itu sayup. Tak ubahnya sosok figuran dalam pergelaran terkenal tari saman ataupun tari seudati. Sosoknya nyaris tak terdeteksi, apalagi ketika Jakarta memberlakukan daerah operasi militer (DOM) di tanah Serambi Mekah itu. Kini DOM berakhir, dan dua titik tampak bersinar dalam musik Aceh: Rafly, seorang bekas guru ngaji yang popularitasnya menjulang; dan Komunitas Nyawoung yang kaya akan inovasi musik dan rajin menggarap tradisi lisan. Berikut adalah beberapa artikel tentang perkembangan mutakhir dalam musik Aceh.

12 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Krueng Arakundo mayet dum apong/ Lheuh nyan meusambong simpang KKA/ Teungku Bantaqiah di Ateuh Beutong/ Di rumoh geudong ureueng disiksa….
(Di Sungai Arakundo banyak mayat mengapung/ Setelah itu bersambung ke simpang KKA/ Teungku Bantaqiah seorang ulama di Beutong Ateuh/ Di rumah geudong banyak orang disiksa).

Seorang perempuan melantunkan lirik di atas. Suaranya deras bak sungai di pegunungan, tapi terdengar jernih di antara dengung serune kale (suling Aceh) yang berisik, gendang rapa'i yang bertalu-talu, dan bunyi bas yang bergedebum ritmis. Haro Hara, lagu bertempo cepat, irit nada, dan jelas sekali melodinya, memang tidak ditujukan untuk mengelus-elus telinga pendengarnya. Setiap kali ketukan jatuh, suara si penyanyi seolah ikut memberikan entakan. Entakan ritmis, dengan hitungan yang konstan, seperti layaknya detak jantung, seperti langkah-langkah orang berbaris.

Perempuan itu memang menyanyi, tapi juga bersaksi. Suaranya dingin, melukiskan satu siang yang tak nyaman di Desa Beutong Ateuh, Aceh Barat, pada 1999. Saat itu desa hiruk-pikuk oleh suara letusan di sana-sini—penyanyi itu tak memerinci sumber bunyi: entah petasan atau tembakan. Haro Hara, lagu yang dibawakan oleh Komunitas Nyawoung itu, hanya menyebut pendek meuketum meuketum beude teungoh cot aroe, adanya bunyi-bunyi letusan siang itu. Mereka hanya menyinggung "akibat" kejadian itu. Sebuah kejadian yang berpuncak pada kematian seorang ulama beken di desa itu, Teungku Bantaqiah, di halaman rumahnya.

Haro Hara sudah hadir di Aceh jauh hari sebelum Komunitas Nyawoung, sebelum tewasnya Teungku Bantaqiah. Ia lagu tradisional Aceh yang dilestarikan turun-temurun. Nurdin Daud, penulis lirik lagu Komunitas Nyawoung, memperkirakan: kedatangan balatentara asinglah yang ikut andil melahirkannya. Mungkin saat Perang Aceh dimulai, kala 3.000 anggota pasukan Belanda mendarat di Kutaraja, April 1873. Mungkin saat multinasional Eropa, VOC, dan British East India Company, disusul Kompeni (pemerintah Nederlandsch-Indie) mencoba menguasai kekayaan alam Aceh, akhir abad ke-19, awal abad ke-20.

Haro Hara muncul kembali dengan aransemen baru, lirik lama yang dibubuhi bingkai masa kini (kematian Teungku Bantaqiah). Mungkin sebuah era baru dalam perjalanan musik Aceh telah lahir—generasi baru sesudah lagu-lagu manis macam Bungong Jeumpa yang populer pada era 1980. Bungong Jeumpa, lagu dengan lirik yang memperlihatkan pesona pegunungan Aceh Besar. Liriknya tentang bunga yang berwarna-warni, putih, kuning, dan merah. Melodinya sangat manis, ringan, cepat memukau orang dewasa, mudah disenandungkan buat menidurkan anak.

Kita tahu, ada cara lain lagi memandang perbedaan Haro Hara dan Bungong Jeumpa. Memang tak ada pembatasan yang benar-benar mutlak. Tapi sepintas lalu bisa disimpulkan bahwa Haro Hara mencerminkan karakter musik pesisir yang ritmis, dan kaya perkusi, sedangkan Bungong Jeumpa adalah musik pedalaman yang cenderung melodius.

Jauhari Samalanga, seniman produser Komunitas Nyawoung, punya penjelasan lebih bagus. Musik dari daerah pesisir Aceh biasanya lebih kencang, beat-nya cepat, temanya patriotik, dan cengkok vokalnya lebih kuat. Sebelum menjadi vokalis yang baik, teriakannya harus mampu mengalahkan suara deru ombak di pantai. Sedangkan musik dari daerah pegunungan seperti didong lebih lembut, dan melankolis. Tema yang dibawakannya biasanya juga tak segarang musik pesisir. Tapi keduanya menuntut kemampuan vokal istimewa. Untuk menjadi vokalis didong yang baik, seseorang harus berendam dalam air dan berteriak sekuat tenaga. Jika suaranya terdengar sampai ke luar, ia punya potensi bagus. "Tapi cengkok pesisir tetap lebih kuat," kata Jauhari Samalanga.

Musik Aceh adalah musik dengan sebuah interupsi panjang, hasil intervensi kebijakan pemerintah pusat. Daerah operasi militer (DOM), kebijakan politik tangan besi pemerintahan Jakarta yang brutal itu, muncul pada 1989. Ketika itu musik Aceh tidak juga menunjukkan perkembangan luar biasa. Pada 1980-an musik Aceh banyak membahas hal biasa: perangai manusia yang berubah, pujian keindahan alam, dan perjalanan. Tapi, dalam perjalanannya, DOM yang begitu ketat mencekik kemudian mengakhiri perkembangan perlahan itu. Industri musik berhenti, dan tidak ada kreativitas yang pantas dicatat.

DOM dicabut pada 1998, setahun berselang Komunitas Nyawoung berdiri. Komunitas ini berpandangan kritis, tapi tak langsung menuding pelaku perbuatan angkara murka. Komunitas Nyawoung aktif menyidik dan menggarap musik Aceh: membawakan aneka tema lagu, termasuk tema religius tentunya, dan mengaransemen ulang musik tradisional Aceh. Selain Haro Hara di atas, mereka mengangkat Prang Sabil, lagu patriotik-religius Perang Aceh. Begitu juga Do Do Daidi yang bertempo lambat, dinyanyikan dengan iringan piano yang bersahaja. Do Do Daidi adalah lagu untuk menidurkan anak dengan pesan khusus: menanam kecintaan pada tanah air, sekaligus ajakan buat berkorban membelanya. "Sejak awal jiwa patriotik sudah ditanamkan pada anak-anak," kata Nurdin, penulis lirik lagu ini. Bahkan membela negara dinilai bagian dari jihad di jalan Tuhan.

Musik Aceh pasca-DOM, musik dengan dua titik bersinar: satu, Komunitas Nyawoung dengan segala kecenderungannya pada musik pesisir utara, Langsa dan Meulaboh; satu lagi, Rafly, bekas guru mengaji yang banting setir menjadi penyanyi. Ia membawakan syair-syair dari Aceh Selatan yang punya tradisi zikir kuat. Sementara Komunitas Nyawoung punya album Nyawoung, World Music from Aceh, Rafly punya Hassan-Hussein, Ainal Mardhiah (bidadari yang dijanjikan Allah untuk orang yang berjihad di jalan-Nya), dan satu albumnya yang istimewa, The Fighting Spirit. Keduanya sama-sama mengukuhkan sebuah tradisi baru: musik yang bisa berdiri sendiri, tanpa menjadi bagian dari tari. Selama ini musik Aceh seolah-olah figuran dalam seni; pelengkap tari seudati ataupun tari saman yang kesohor.

Rafly vokalnya kuat, melodinya sederhana, syairnya dominan. Beudoh tapeutheun maruwah bangsa, seureuta doa beurayeuk saba, asoe nanggroe meutuwah, bek le… gadoh lam dawa, tajak beusare... langkah beusapeu peugah (mari pertahankan harga diri bangsa, serta doa perbesar sabar, anak negeri bertuah, jangan lagi sibuk bertengkar, mari satukan… langkah dan bicara.) Dengan serune kale dan genderang rapa'i bergemuruh, Rafly menyanyikan kerinduan akan hidup tenang, hidup damai. Suaranya lincah, bermain-main, bergerak di antara nada-nada bersahaja. Musiknya sesuatu yang dijumpai sehari-hari, persoalan kontemporer: dari dunia yang berubah pesat, pengorbanan dan kepahlawanan Hassan-Hussein, dua cucu Nabi Muhammad saw, hingga rasa jenuh yang tidak tertahankan terhadap kekerasan yang begitu betah di tanah Serambi Mekah.

Rafly melantunkan lagu berjudul Hom, yang artinya "tak tahu". Musiknya merekam sebuah masa tidak menyenangkan: ketika kata-kata yang keluar dari mulut tiap-tiap bangsa Aceh selalu mengandung risiko. Ia terus bersenandung. Hom, katanya, terhadap aneka macam pertanyaan: siapa yang memukul? Siapa yang korupsi? Semua jawab berujung pada satu kata, hom.

Rafly memang hebat. Selain guru mengaji, ia mahir memainkan serune kale dan gendang rapa'i. Dua modal penting untuk memahami dan terjun ke dunia musik. Tapi itu saja tidak cukup. Guru yang lahir pada 1967 ini tak mudah menyerah. Targetnya satu: musik etnik Aceh diterima khalayak umum. Dan ia terbukti berhasil.

Popularitasnya cepat menjulang, melintas batas generasi, kelas, dan melintasi kubu politik. Ia sekarang memang tipe orang yang selalu dibuntuti anak-anak kalau kedapatan melenggang di jalan. Tapi ia orang yang diterima orang dewasa. Suatu kali Rafly sedang dalam perjalanan dari Lhok Seumawe menuju Banda Aceh. Karena mobil yang ditumpanginya melaju agak kencang di depan sebuah pos Brimob di kawasan Samalanga, Bireuen, Rafly sempat ditodong dengan senjata terkokang. Aparat Brimob kemudian membentak penumpang mobil, lalu mulai menggeledah. Sang petugas melihat kaset berserakan, dan dengan serta-merta kemarahannya mencair begitu mengetahui sosok di hadapannya. Rafly didaulat untuk menyanyi di pos Brimob yang notabene adalah pasukan non-organik.

Rafly memang telah menjadi sebuah ikon baru penyanyi Aceh. Ketika album pertamanya Hassan-Hussein itu diluncurkan, pegawai Kantor Wilayah Agama Aceh itu menjelma menjadi primadona. Hampir setiap angkutan umum, warung kopi, dan tempat keramaian lainnya memutar lagu itu. Album tersebut mencatat angka penjualan yang fantastis untuk kaliber penyanyi lokal, yakni 200 ribu keping (termasuk VCD). Album The Fighting Spirit terjual 12 ribu keping, sedangkan album ketiganya, Ainal Mardhiah, terjual 17 ribu keping. Hampir setiap ia manggung, penonton berjubel memadati lokasi konser. Chairiyan, manajer Rafly mencatat, jumlah penonton 2.000 hingga 7.000 orang.

Dunia menyambut Rafly. Ia diminta ikut menyanyi saat sejumlah partai politik melakukan kampanye. Ia menyanyi dalam acara kondangan dan hajatan. Sesuatu yang tak terlalu banyak dipenuhinya. Ia telah naik kelas? "Saya pikir masih banyak teman lain yang bisa. Hitung-hitung bagi-bagi rezeki," ujarnya. Dibandingkan dengan Komunitas Nyawoung, musik Rafly yang cenderung pop itu lebih banyak digandrungi.

Saat ini Rafly sedang mempersiapkan album baru. Empat lagu yang sudah dipersiapkan masing-masing Meukuta Alam, Meukon Droe Teuh (Kalau Bukan Kita), Sah Tuboh (Bisikan Tubuh), dan Meu utet (Cuap-Cuap Saja). Jika tak ada aral melintang, album ini akan diselesaikan pada awal 2005.

Aceh pasca-DOM: seorang primadona, sekelompok pemusik, dan kerinduan akan damai, akan dunia yang tenang.

Arif Firmansyah, Idrus F.S., Yuswardi A. Suud (Banda Aceh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus