Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Dari mesin pemilu ke partai kader

Penulis: leo suryadinata jakarta : lp3es, 1992 resensi oleh: adig suwandi

17 April 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INTERPRETASI masyarakat awam atas buku ini mungkin akan sampai pada konklusi: inilah buku yang tergolong berani dalam membedah Golkar. Banyak pengamat menyebut Golkar sebagai kekuatan sosial politik, partai hegemoni, sejak kemenangannya dalam serangkaian pemilu selama Orde Baru. Berbeda dengan studi mengenai Golkar yang sudah ada yang cenderung melihat organisasi itu tak lebih dari sebuah mesin pemilu yang dikendalikan oleh kelompok militer untuk melegitimasikan kekuasaannya. Studi yang dilakukan Leo Suryadinata ini melihat Golkar sebagai organisasi politik yang mewarisi tradisi politik partai-partai abangan-priayi yang sudah ada sebelum Orde Baru. Meski kalangan militer cenderung membedakan Golkar dari partai-partai politik yang ada pada era Orde Baru ini. Karena pentingnya tradisi atau kebudayaan politik ini Suryadinata (yang kini menjadi dosen senior pada Departemen Ilmu Politik University of Singapore) menggunakan pendekatan budaya dan sejarah untuk membahasnya. Secara keseluruhan buku ini dibagi menjadi 9 bab. Berawal dari pengantar umum tentang kebudayaan politik Indonesia dan bagaimana itu tercermin dalam perilaku partai-partai politik. Kemudian kelahiran Golkar (dari Sekber Golkar) pada bab 1 hingga bab 9 yang mempertanyakan kemungkinan Golkar menjadi otonom. Dari sini kita mencoba memahami anatomi Golkar yang sebenarnya sebagai kelompok yang homogen. Ia punya tiga komponen: militer, pegawai negeri, dan orang-orang sipil. Sama dengan partai- partai pemerintah di negara lain, Golkar setidaknya telah berhasil mengontrol sejumlah besar organisasi. Pada Agustus 1978, misalnya, Golkar menyatakan telah membubarkan Kino dan mempersatukan organisasi-organisasi eks-Kino serta perhimpunan sejenisnya ke dalam federasi baru yang dibentuk. Menurut para pengkritik Golkar, pembentukan federasi-federasi ini dimaksudkan untuk memperkuat kontrol yang lebih efektif terhadap mereka. Apalagi pada mulanya memang militerlah yang tak begitu pasti apakah ingin mengembangkan Golkar menjadi mesin pemilu atau sebagai partai politik secara penuh. Ali Moertopo dan Darjatmo ingin membuatnya sebagai partai kader. Tapi tampak bahwa Ali Moertopo kemudian ingin membuat Golkar independen dari ABRI. Sedangkan Darjatmo dan Sumitro tak setuju. Tak mengherankan jika rencana faksi Ali Moertopo itu tak memperoleh dukungan dari ABRI, sehingga tak berhasil. Militer sementara itu enggan mengembangkan Golkar menjadi partai politik penuh. Partisipasi politik yang aktif hanya akan menciptakan ketidakstabilan sesuatu yang dihindari oleh ABRI. Kenyataannya Orde Baru dikenal berupaya melakukan depolitisasi massa. Kendatipun begitu, gagasan untuk menjadikannya partai kader muncul kembali pada 1980-an. Presiden Soeharto sendiri yang menggerakkan itu. Penting untuk dicatat bahwa meskipun militer merupakan komponen Golkar, pada kenyataannya ia memiliki identitas ganda: militer dan Golkar. Selama masa pemilu, mereka cenderung kampanye demi Golkar. Tapi seusai pemilu, mereka tampil sebagai anggota ABRI ketimbang Golkar. Baru pada Munas 1985, setelah Presiden Soeharto menegaskan akan perlunya Golkar untuk mereorganisasikan diri guna menghadapi tantangan masa depan dengan menekankan pentingnya kaderisasi, Munas mengamandir Anggaran Dasar 1978. Sekurang-kurangnya ada 4 amandemen penting. Salah satunya menyatakan bahwa Golkar adalah sebuah kekuatan sosial politik yang akan merekrut kader dari setiap angkatan tanpa menyoalkan latar belakang sosial, kesukuan, ataupun keyakinan agama sejauh mereka setia kepada ideologi negara dan program-program pembangunan. Pasal 6 Anggaran Dasar menyatakan bahwa Golkar akan semakin meningkatkan kerja sama dengan ABRI, terutama dalam hal dwifungsi demi terciptanya persatuan antara ABRI dan rakyat. Pasal 7 menyatakan Golkar berdasarkan sistem keanggotaan individual: anggota adalah kader-kader bangsa. Ada juga perubahan-perubahan penting dalam Anggaran Rumah Tangga: kekuasaan Dewan Pembina mempunyai hak untuk mengubah kebijaksanaan dan keputusan DPP. Memang masih terlalu dini untuk mengatakan apakah Golkar akan berkembang menjadi partai kader atau tidak. Tapi sejak 1984 Golkar berhasil merekrut sebagian besar tokoh masyarakat. Orang pun boleh berpendapat, telah terjadi Golkarisasi masyarakat Indonesia. Pada tahun 1987, misalnya, Ketua Umum Golkar Sudharmono pernah menyatakan bahwa Golkar punya 28 juta anggota dan 9 juta di antaranya kader. Akhirnya, seperti dikatakan Suryadinata, sejak 1971 Golkar berubah dari sekadar sebuah federasi yang longgar untuk mengimbangi kekuatan komunis menjadi sebuah kekuatan sosial politik sebagai mesin pemilu. Pertanyaan selanjutnya, mampukah Golkar bergerak ke arah otonomi di masa-masa mendatang? Adig Suwandi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus