Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dari Prancis tanpa Alternatif

Kedutaan Prancis memutar film Le Bossu di beberapa kota. Sebuah film dengan seting Prancis abad ke-17 tentang kesetiaan.


9 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Le Bossu
Sutradara:Philippe de Broca
Pemain:Daniel Auteuil, Marie Gillain, Fabriche Luchini
Skenario:Philippe de Broca dan Jean Cosmos
Prancis pada abad ke-17 milik kaum ningrat. Duc de Nevers (Vincent Perez) memiliki segalanya. Paras tampan, kemahiran bermain anggar, dan sebagai anak seorang duke, kekuasaan dari ayahnya bakal segera melimpah kepadanya. Wanita mana pun mudah dijeratnya. Seorang wanita menak bernama Blance de Caylus yang kemudian membuahkan bayi wanita tanpa pernikahan.

Syahdan, secara diam-diam sepupu Nevers bernama Comte de Gonzague (Fabriche Luchini) mengincar seluruh anugerah yang dimiliki Nevers: harta dan Blance de Caylus.

Saat Nevers pergi ke kastil de Caylus untuk menikahi putri Caylus, ternyata Gonzague berhasil merayu punggawa Nevers bernama Lagardere (Daniel Auteuil) untuk membunuh Nevers. Terlibat dalam duel yang seru, Lagardere menyerah dan bersumpah setia kepada sang tuan. Nevers mengganjar kesetiaan itu dengan gelar Chevalier.

Kebahagiaan yang berlangsung sesaat. Pernikahan itu berubah menjadi ladang pembantaian antara Gonzague dan Nevers.

Semua tewas, termasuk Nevers. Yang selamat hanyalah sang istri, yang kemudian diboyong ke istana. Lagardere, yang disebut sebagai pelaku pembantaian itu, menjadi buron. Aurore, anak Nevers yang dianggap telah meninggal, dapat diselamatkan Lagardere dan tinggal bersama grup trubador asal Italia. Lagardere kemudian membesarkan bayi itu sambil tetap menyalakan api dendam selama dua windu, untuk menghabisi Gonzague seperti pesan terakhir majikannya.

Keserakahan, kebodohan, pengkhianatan, dan dendam menjadi benang merah dari Le Bossu, film karya Philippe de Broca, sutradara Prancis yang sudah menanjak ke usia 67 tahun. Jalinan simpul berbagai sifat manusia itu diracik dan disampaikan secara sederhana, sambil diselingi berbagai adegan kocak. Namun, lewat sosok Lagardere dengan anggar yang selalu tergenggam, kebenaran tetaplah menjadi pemenang. Anggarnya yang menusuk sebuah titik di antara dua bola mata menghabisi petualangan musuh-musuhnya.

Film ini adalah adaptasi dari cerita yang ditulis Paul Féval yang pernah dimuat koran di Prancis pada 1875. Dan sudah pernah dibuat film oleh Jean Delannoy pada 1944 dan André Hunebelle pada 1959. Dengan teknologi film dan properti yang lebih mumpuni dibandingkan dengan pendahulunya, Philippe de Broca—sebelumnya banyak berkiprah dalam produksi TV—berhasil merepresentasikan suasana Prancis saat menjelang kejatuhan Louise XIV. Busana yang mewah, arsitektur yang detail, dan keangkuhan kaum ningrat dihadirkan dengan visualisasi yang mampu menghadirkan kembali sebuah kejayaan monarki Prancis.

Namun, toh ada beberapa adegan yang terasa mengganggu. Agaknya, de Broca tidak cukup tangkas untuk mengungkap banyak detail yang semestinya bisa lebih sempurna. Mengapa seorang duke seperti Nevers menemui kekasihnya hanya dikawal seorang punggawa pemabuk macam Lagardere? Lalu mengapa film ini terasa penuh sesak dengan adegan pertarungan anggar yang muncul hampir dalam separuh pertunjukan? Agaknya, Broca masih menganut resep sukses pembuat film di kawasan Hollywood. Le Bossu menjadi sebuah film yang disesaki adegan pertarungan laga yang selalu berakhir dengan kematian si musuh, diramu dengan dagelan. Tampaknya, upaya itu berhasil. Penonton tertawa dan puas dengan kematian musuh. Ah, ternyata adegan kematian selalu menjadi penggenap sebuah kebenaran dan kepuasan.

Bagaimanapun, film ini tetap bersinar karena peragaan akting Auteuil, aktor kawakan yang memulai karirnya sejak 1977 dalam film Monsieur Papa. Aktor berusia setengah abad ini berhasil dan menampilkan berbagai watak: lugu saat menghamba pada Nevers; ayah yang bijak dan sosok yang konyol ketika menyamar menjadi akuntan kepercayaan Comte de Gonzague.

Akting Auteuil berpadan dengan si jelita Marie Gillain, aktris muda usia 24 tahun. Le Bossu menjadi pertemuan dua generasi perfilman Prancis. Kesempurnaan akting pasangan ini berdua diakhiri dengan kejutan. Tanpa sungkan, Aurore memagut bibir pria yang membesarkannya sejak lahir. Keduanya pun berpagut mesra.

Sebagai tontonan, Le Bossu jelas menghibur. Namun, untuk masyarakat yang telah terlibas Hollywood seperti Indonesia, film ini praktis tak memberikan tontonan alternatif. Singkatnya, andai dialog dalam film ini di-dubbing dalam bahasa Inggris, lengkap dengan slang-nya, jadilah ia sebuah film Amerika.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum