Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Hati-Hati, Gus, Lampu Kuning

IMF menangguhkan kembali pencairan pinjaman untuk Indonesia. Gus Dur bereaksi dengan mengumpulkan jajaran menteri

9 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK biasanya menteri kabinet berbondong-bondong ke Bina Graha pada akhir pekan. Tapi Sabtu lalu, sekitar pukul 10 pagi, kantor kepresidenan telah ramai oleh kehadiran sebagian anggota kabinet. Tampak di antaranya Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Kwik Kian Gie, Menteri Eksplorasi Kelautan Sarwono Kusumaatmadja, Jaksa Agung Marzuki Darusman, serta Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nurmahmudi Ismail. Menteri Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla, yang baru mendarat dari Afrika Selatan, juga tampak di antara rombongan.

Ada reshuffle? Begitulah bisik-bisik yang sempat beredar. Abdurrahman Wahid kabarnya marah besar. Presiden, kabarnya juga, kecewa karena para menteri tak becus menyusun skala prioritas. Pada saat Dana Moneter Internasional (IMF) menunda pencairan pinjaman, eh, para menteri malah ngacir ke luar negeri. Ada yang mengikuti kunjungan promosi dagang, ada juga yang menghadiri sidang OPEC. Pokoknya, penundaan utang itu seperti tidak direken alias dianggap sepi.

Tapi ternyata penundaan pencairan pinjaman ini punya buntut panjang. Rupiah sempat terjerembap. Harga dolar, yang biasanya di bawah Rp 7.500, tiba-tiba terdongkrak menjadi Rp 7.630. Investor asing yang masih setia bermain di Bursa Efek Jakarta ikut ketar-ketir. Situasi ini rupanya membuat alarm di telinga Gus Dur berdering. Ia langsung mengundang anggota kabinet untuk bekerja lembur: rapat maraton mengatasi penundaan pencairan utang dan dampak-dampaknya.

Dalam pertemuan itu pula Gus Dur memutuskan untuk melarang para menteri “pesiar” ke mancanegara sampai urusan utang ini beres. Gus Dur juga langsung mengambil alih tampuk pimpinan untuk bernegosiasi dengan IMF mengenai pencairan utang. Reshuffle? Meskipun semula banyak dugaan, hingga rapat itu ditutup, tak ada tanda-tanda seorang menteri pun akan diganti.

Penjabat Sekretaris Negara, Bondan Gunawan, bahkan memastikan tidak ada sesuatu yang “serius” dalam pertemuan itu. “Tidak ada reshuffle,” katanya tegas. Gus Dur marah? “Bahkan kecewa pun tidak. Gus Dur malah memuji respons para menteri yang cepat tanggap,” kata Bondan seperti ingin memadamkan api.

Tapi, padam atau tidak, asal-muasal bara penundaan pencairan utang itu akan tetap mengancam nasib perekonomian kita di masa datang. Kepala Perwakilan IMF di Jakarta, John Dodsworth, memang tidak terus terang menyebut penyebab penundaan pencairan pinjaman senilai US$ 400 juta itu. Ia hanya mengutarakan, para petinggi IMF baru mengkaji hasil program perbaikan ekonomi Indonesia pada 11-17 April mendatang. Karena itu, masuk akal jika pencairan utang baru bisa dilakukan setelah sidang itu berakhir.

Namun, mau tak mau harus diakui, penundaan pencairan pinjaman itu terjadi gara-gara kelambanan pemerintah memenuhi jadwal program pemulihan ekonomi yang telah disepakati bersama IMF, Januari lalu. Berdasarkan kesepakatan itu, IMF sepakat mencairkan pinjaman US$ 5 miliar selama tiga tahun. Dari total pinjaman itu, US$ 400 juta di antaranya cair awal April ini.

Hanya, pinjaman itu bukan tanpa syarat. Pemerintah harus menggelar serangkaian program ekonomi dengan tenggat yang telah ditetapkan kedua pihak. Akhir Maret ini, misalnya, pemerintah harus menuntaskan penawaran saham BCA yang masih berada dalam kamar perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) kepada publik.

Selain itu, BPPN mesti berbenah dengan membentuk kerangka kerja baru untuk mengejar target Rp 18,9 triliun dari penjualan aset bank-bank bermasalah yang dikelolanya untuk tahun anggaran 2000. Tugas baru BPPN ini, antara lain, juga mencakup tindakan hukum terhadap para pengusaha pemilik bank take-over (BTO), yang mestinya rampung pada akhir Februari silam.

Namun, hingga tenggat terlampaui, sedikitnya ada sekitar 30 target yang tak bisa dipenuhi pemerintah. Coba tengok saja. Departemen Keuangan, misalnya, cuma mampu memenuhi satu dari 16 target yang harus diselesaikan per 1 April 2000: penyederhanaan cukai rokok.

Departemen Keuangan tampaknya memang kedodoran dalam memenuhi target penyehatan perbankan nasional. Lihat saja bagaimana target rekapitalisasi perbankan, yang mestinya selesai awal tahun ini, molor terus tak ketahuan kapan ujungnya. Rekapitalisasi Bank BNI dan Bank Niaga, yang mestinya selesai akhir tahun lalu, misalnya, baru disetujui DPR akhir pekan lalu. Sementara itu, rencana penyuntikan modal terhadap Bank Bali, yang sedianya beres awal tahun lalu, hingga kini tak jelas selesainya menyusul keputusan pengadilan tata usaha negara (PTUN) yang menetapkan pengambilalihan Bank Bali sebagai tindakan ilegal.

Keputusan PTUN terhadap Bank Bali ini memperpanjang daftar “kegagalan” BPPN dalam menyelesaikan kasus utang-piutangnya melalui pengadilan. Kegagalan memailitkan Tirtamas Comexindo bisa menjadi contoh yang lain. Kelompok usaha milik Hashim Djojohadikusumo ini lolos dari jerat pailit setelah hakim mengabulkan permohonan Tirtamas menunda pembayaran kredit US$ 200 juta selama enam bulan. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Kepailitan, kelonggaran waktu bagi Tirtamas mestinya cuma 45 hari.

Kemandulan BPPN (dalam menyelesaikan utang macet) melalui pengadilan ini menjadi salah satu poin minus dalam penilaian IMF. Ditambah dengan pelbagai kelambanan yang lain, wajar jika kemudian IMF menunda pencairan pinjamannya.

Tapi, menurut Bondan Gunawan, kegagalan para menteri memenuhi 30 target itu, “Amat dimaklumi oleh Gus Dur.” Lo? Menurut Bondan, Abdurrahman paham bahwa para menteri yang belum berpengalaman itu tidak memiliki bayangan seberapa berat sebenarnya tugas-tugas yang harus mereka pikul. Jadi? “Ini cuma karena para menteri itu kurang teliti. Itu saja,” katanya. Untuk menyelesaikannya tidak sulit. “Ya, kita tawar-menawar lagi dengan IMF. Jadwalnya diatur kembali,” ujar Bondan.

Kalau memang benar demikian, pertanyaannya kemudian: mengapa tidak dari awal para pembantu Gus Dur itu menakar kemampuannya sendiri? Ekonom muda dari Universitas Indonesia, Mohammad Ikhsan, menggambarkan para menteri yang terseok-seok memenuhi target IMF itu sebagai mobil yang berjalan terlalu pelan di Jalan Sudirman. “Enggak salah kalau ada mobil lain yang nabrak kita,” katanya.

Ekonom Adrian Panggabean dari Nomura Securities Singapura menambahkan, selain karena kelambanan kerja, gagalnya target-target penyehatan ekonomi itu disebabkan oleh salah diagnosis. Baik pemerintah Indonesia maupun IMF, kata Adrian, lengah dalam membaca kondisi. Target yang disepakati oleh kedua belah pihak, misalnya, tidak memperhatikan faktor-faktor kelembagaan seperti kemungkinan adanya menteri yang tak berpengalaman dalam birokrasi hingga pertarungan kepentingan dalam kabinet. “Ini menyebabkan agenda reformasi ekonomi kita terseok-seok,” katanya.

Tapi penundaan pinjaman ini tak mengkhawatirkan Menteri Keuangan Bambang Sudibyo dan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Kwik Kian Gie. Alasannya, pencairan pinjaman itu bukan dipakai untuk membiayai anggaran, melainkan untuk memperkukuh cadangan devisa. Padahal, cadangan kita masih US$ 16 miliar, cukup untuk membiayai tujuh bulan impor. Jadi, meskipun pinjaman itu ditunda, pengaruhnya terhadap anggaran praktis tak ada. Kwik menegaskan, penundaan pencairan pinjaman seperti itu lumrah terjadi, juga di negara-negara lain. “Jadi, tidak ada yang luar biasa,” katanya.

Betulkah? Sekretaris Dewan Ekonomi Nasional, Sri Mulyani Indrawati, tak sependapat. Betul, ia setuju bahwa pembekuan pencairan pinjaman IMF itu mungkin tidak menjadi ancaman bagi anggaran ataupun cadangan devisa. Tapi ia menilai penundaan ini sebagai peringatan alias lampu kuning. Jika para menteri itu tidak becus juga, jika target-target reformasi itu terus tertunda-tunda, bisa dipastikan bukan cuma IMF yang menghentikan bantuan dan meninggalkan Indonesia. Para investor yang kita harapkan bisa memasok kelangkaan modal juga pada ngacir.

Jika itu yang terjadi, lampu kuning IMF sudah berganti jadi merah.

Widjajanto, Agus Hidayat, Iwan Setiawan, Lea Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus