Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kemandirian Utuh buat Aceh

Dengan RUU baru, Aceh menuntut pemerintahan, lembaga legislatif, dan peradilan sendiri. Bentuk alternatif federal itu akan diikuti pula oleh Papua (Irianjaya).

9 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ACEH agaknya tetap menjadi masalah berat yang harus segera ditangani pemerintah. Semula, Tanah Rencong yang lama sengsara karena kekayaannya disedot pusat dan masyarakatnya dilibas operasi militer itu telah diistimewakan statusnya dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999. Namun, kini, lewat Rancangan Undang-Undang Nanggroe' (Negeri) Aceh Darussalam yang sudah diajukan ke DPR, provinsi di ujung barat Indonesia itu menuntut kemandirian seutuhnya. Memang, dalam RUU tersebut, Aceh tetap dalam pelukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, wewenang pemerintah pusat di Jakarta juga diakui Aceh. Tapi, menurut RUU itu, Aceh akan mempunyai pemerintahan yang dikepalai Wali Nanggroe' dan bertanggung jawab kepada Majelis Rakyat Aceh—mirip MPR di pusat. Di bawah majelis itu ada Dewan Rakyat Aceh sebagai lembaga legislatif. Itu berarti Wali Nanggroe' tak perlu lagi bertanggung jawab kepada presiden sebagaimana gubernur Aceh sekarang. Nanggroe' juga akan mempunyai peradilan, jaksa, dan kepolisian sendiri. Begitu pula hukumnya, yang berdasarkan syariat Islam, serta lambang dan benderanya yang khusus. Bahasa Aceh dijadikan sebagai bahasa resmi di samping bahasa Indonesia. "Itu semua merupakan struktur pemerintahan dan tradisi khas Aceh yang sudah beratus-ratus tahun menjiwai kehidupan masyarakat Aceh (tapi setelah Indonesia terbentuk, muatan itu menjadi hilang)," kata Ketua DPRD Aceh, Teungku Muhammad Yus. Selain itu, dalam soal ekonomi, Nanggroe' hanya akan menyetor 10 persen ke pusat. Itu berarti 90 persen hasil ekonomi akan tetap menjadi milik Aceh. "Pembagian itu sangat realistis. Sebab, beban tugas Nanggroe' nantinya cukup berat," ujar Gubernur Aceh, Syamsuddin Mahmud. Senada dengan Teungku Muhammad Yus, Syamsuddin pun merasa optimistis bahwa konsep Nanggroe' bisa menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah Aceh yang tak kunjung selesai. Kedua tokoh Aceh itu juga menandaskan bahwa konsep Nanggroe' merupakan bentuk implementasi dari otonomi khusus Aceh, sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR Nomor IV Tahun 1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Tapi, bila menilik konsep Nanggroe' dan isi otonominya, orang pun menafsirkan bahwa itulah bentuk alternatif bernuansa federal (serikat) yang tetap dalam format negara kesatuan. Tilik saja kewenangan Nanggroe' yang boleh mengurusi peradilan, agama, dan pertahanan internal—melalui kepolisian—secara mandiri. Hanya urusan luar negeri, moneter, dan pertahanan eksternal yang tetap ada pada pemerintah pusat. Bahkan, Nanggroe' bisa membuka kantor perwakilannya di luar negeri. Dan sebaliknya, negara asing boleh punya kantor perwakilan di Nanggroe'. Bandingkan berbagai wewenang itu dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Menurut undang-undang itu, wewenang moneter, luar negeri, pertahanan, peradilan, dan agama harus di tangan pemerintah pusat. Boleh jadi konsep Nanggroe' dipilih untuk tak sampai dianggap akan membentuk negara federal, apalagi bila sampai dinilai mau memisahkan diri dari negara kesatuan Indonesia. Sebagaimana diketahui, pintu untuk menjadi negara federal sepertinya sudah ditutup oleh MPR dan Presiden Abdurrahman Wahid. Bahkan, Presiden menyatakan bahwa negara kesatuan sudah merupakan bentuk paling tepat untuk Negara Indonesia yang berbentuk kepulauan dengan beraneka provinsi ini. Adakah dengan demikian struktur negara kesatuan sekarang ini sudah final, sehingga bentuk alternatif semacam Nanggroe' tak mungkin diterima? Menurut anggota DPR Ferry Mursyidan Baldan, RUU Nanggroe' sebagai aspirasi masyarakat Aceh harus diakomodasi pemerintah pusat. Sekalipun demikian, Ferry minta agar konsep Nanggroe' dan muatan otonominya bisa ditelaah secara cermat. Contohnya, ya, masalah struktur Majelis Rakyat Aceh, lambang dan bendera, pertahanan dengan kepolisian, dan perwakilan di luar negeri. "Kami berharap masyarakat Aceh mau secara arif memandang masalah itu," ucap Ferry. Bagaimanapun, katanya, potensi untuk mengurangi kedaulatan negara kesatuan Indonesia ataupun memisahkan suatu daerah dari wilayah Indonesia mesti dikurangi. Tapi anggota DPR lainnya, Teungku Muhammad Nurlif, berpendapat bahwa RUU Nanggroe' jauh dari hasrat ke arah negara bagian dalam sistem federal. "Ini cuma masalah penggunaan berbagai istilah yang mungkin kurang dipahami oleh orang yang bukan dari Aceh," kata Teungku Muhammad Nurlif. Ia mengaku sependapat dengan Ferry, agar pemerintah dan DPR secepatnya menyetujui RUU tersebut. Sementara itu, Komandan Operasi Angkatan Gerakan Aceh Merdeka Wilayah Batee Iliek, Teungku Darwis Djuenieb, menolak mentah-mentah RUU Nanggroe'. Ia menganggap pihak yang mengajukan RUU itu sebagai pengkhianat cita-cita Aceh merdeka. Menurut dia, RUU otonomi khusus tetap merupakan pedang "yang gagangnya dipegang pemerintah Jakarta, sementara orang Aceh disuruh memegang matanya." Happy Sulistyadi, J. Kamal Farza (Aceh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus