Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menghidupkan Pemicu Keresahan

DPR minta agar instrumen keadaan bahaya yang belum disahkan presiden segera diberlakukan. Tapi hasrat itu kembali ditentang masyarakat.

9 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENJATA pemicu keresahan yang dimusuhi masyarakat itu sudah lama dikubur. Sebab, senjata berupa Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB) yang melegitimasi dominasi militer itu dianggap akan menghambat pembentukan masyarakat madani (civil society). Namun, tak dinyana, kini DPR hendak menghidupkan kembali instrumen itu dengan meminta pemerintah segera memberlakukannya.

Sebagaimana diketahui, pada September 1999, RUU PKB sebenarnya sudah disetujui DPR untuk dijadikan undang-undang. Dengan demikian, Presiden B.J. Habibie tinggal menandatangani pengesahan UU itu sehingga bisa berlaku. Tapi, sejak RUU itu dibahas DPR, bahkan ketika DPR menyetujuinya, masyarakat tak henti-hentinya menentang kehadiran cikal bakal perangkat hukum untuk mengatur keadaan bahaya itu.

Akibatnya, terjadi bentrokan keras antara aparat keamanan dan massa. Enam orang warga sipil pun tewas tertembak. Setelah menelan banyak korban, barulah esok petangnya pihak TNI mengumumkan penundaan pengesahan UU itu oleh presiden.

Karena itu, kini menjadi pertanyaan amat serius: kenapa DPR ingin menghidupkan kembali RUU PKB? Ketua DPR Akbar Tandjung hanya mengutarakan alasan sederhana, yakni supaya tak ada kekosongan hukum bila aparat keamanan hendak menanggulangi keadaan bahaya. Apalagi, menurut Akbar, calon aturan keadaan bahaya itu jauh lebih lunak ketimbang aturan lama, UU Nomor 23/Perpu Tahun 1959.

Ternyata, hasrat itu baru sebatas keinginan pimpinan DPR, setidaknya lewat keterangan Akbar Tandjung. Soalnya, tak semua anggota DPR menyetujui gagasan tersebut, meski ada jua anggota DPR yang setuju. Anggota DPR dari Partai Keadilan dan Persatuan, Sutradara Ginting, misalnya, sependapat dengan Akbar.

Di banyak negara lain, kata Sutradara, aturan untuk mengatasi keadaan darurat juga ada. Kalau tak ada perangkat hukum itu, "Bagaimana aparat keamanan bisa menangani kerusuhan di Aceh atau di Maluku, contohnya? Bila petugas hendak melakukan sweeping atau operasi lainnya, tak ada payung hukumnya," ujar Sutradara.

Persoalannya tinggallah mekanisme pemberlakuan RUU PKB. Itu bisa dengan cara diberlakukan lebih dulu—artinya, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid mengesahkan RUU tersebut—baru DPR membuat UU baru untuk menggantikannya. Bisa pula RUU PKB disempurnakan dulu, sehingga beberapa materi yang dinilai kurang melindungi masyarakat dapat diperbaiki, kemudian DPR mengegolkan UU baru yang lebih baik.

Cara terakhir itu pernah terjadi dengan RUU Penyiaran pada 1997, semasa Presiden Soeharto. RUU yang sudah disetujui DPR untuk dijadikan UU itu juga tak kunjung ditandatangani Soeharto. "Saya lebih senang bila RUU PKB direvisi dulu, untuk kemudian dibuatkan UU baru. Bagaimanapun, RUU PKB merupakan produk hukum DPR yang tidak legitimated," kata Sutradara.

Namun, Taufikurrahman Saleh, anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa—yang mengaku kesal karena nama RUU PKB mirip dengan singkatan nama partainya—tak setuju dengan pemberlakuan RUU PKB. "Apa alasan mendesaknya sehingga UU itu harus diberlakukan? Keadaan sekarang biasa-biasa saja. Tak ada yang mesti ditakuti pemerintah," katanya.

Kalaupun suatu saat UU tersebut dianggap sudah diperlukan, menurut Taufikurrahman, konsep dam materi RUU PKB mesti disempurnakan. Itu supaya, "Penafsiran hukumnya tak hanya didominasi pemerintah yang begitu gampang menetapkan keadaan darurat," ujar Taufikurrahman.

Penolakan senada diutarakan oleh penggiat lembaga swadaya masyarakat, di antaranya Munir dan Bambang Widjojanto. "Pemerintah dan DPR mestinya lebih melihat prospek ke depan, bukan sekadar menambal sulam (mengganti UU). RUU PKB tak perlu dibahas lagi. Akhiri saja. Banyak hal yang lebih strategis, baik soal konsep militer maupun proses demokratisasi rakyat," kata Munir.

Lagi pula, Bambang menimpali, konteks politik sewaktu RUU PKB dibuat sudah berbeda dengan konteks sekarang. Dulu, RUU PKB digulirkan dengan maksud mengendalikan perilaku kritis masyarakat. Padahal, sekarang justru partisipasi publik yang diharapkan bisa mengimbangi kekuasaan negara.

Kalaupun RUU PKB dinilai tak serepresif UU 1959, menurut Munir, itu logika perbandingan yang amat sederhana. Betapa tidak bila masyarakat diharuskan memilih satu di antara dua aturan yang sama-sama tak disenangi? Perbandingan dengan aturan di negara lain, misalnya Singapura dan Malaysia—dengan Internal Security Act, yang juga memberangus hak-hak rakyat—menurut Bambang, juga tak tepat. Sebab, negara lain itu tak memberlakukan dwifungsi TNI.

Happy S., Dwi Arjanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus