KAMIS, 2 pekan lalu ada kerepotan di bagian timur kota Denpasar.
Petang itu, pelajar-pelajar datang dengan pakai seragam lengkap
dengan poster nama sekolalahnya. Hari itu, Menteri P dan K.
Dr. Syarif Thajeb meresmikan Komplek Pusat Pengembangan
Kebudayaan Bali, setelah Presiden Soeharto yang direncanakan
bakal datang tidak jadi. Dengan dielukan ribuan pelajar yang
sekolah sore terpaksa diliburkan Menteri disambut tari Pendet
Massal, kemudian menerima Canang Sari.
Komplek kebudayaan ini diberi nama "Werdi Budaya". Dibangun
sejak tahun 1969 sudah menelan biaya Rp 560 juta lebih.
Bangunan induk, tempat pameran lukisan dan kerajinan, diberi
nama Mahudara Mandara Giri Buwana sudah diresmikan tahun 1971
oleh Menteri P dan K (waktu itu) Mashuri SH. Di sebelahnya,
tahun lalu diresmikan lagi satu unit gedung demonstrasi melukis
sekarang untuk pameran lukisan tidak permanen diberi nama
gedung "Oncer Srawa". Satu unit gedung untuk sastra dengan nama
"Amerta Saraswathi". Selain itu ada lagi gedung yang sifatnya
darurat misalnya Balai Wantilan untuk pertunjukan yang menyedot
turis. Tiap malam dipergelarkan Tari Cak.
Yang agak mengagetkan, mulai tahun anggaran ini proyek
dihentikan. Putu Raka SH pimpinan proyek tidak menyebut alasan
pemerintah pusat untuk menyetop droping uang. Padahal kalau
ditelusuri rencana induk pembangunan komplek, budaya yang
disusun arsitek alam (undagi) Ida Bgs Tugur, masih jauh dari
sempurna. Di atas tanah 12 hektar direncanakan pula dibangun
gelanggang remaja, asrama para seniman dan banyak lagi. Pokoknya
semua kegiatan seni berseni direncanakan ada di komplek ini.
"TIM masih belum apa-apa dibandingkan rencana art centre ini",
begitu komentar Putu Raka SH.
Non Komersil
Dengan dihentikannya - konon sementara - proyek ini, kekuatiran
yang sudah lama menjelma tiba-tiba mendapat tempat. Yakni, untuk
apa pula bangunan megah-megah itu? Tentu bukan maksudnya membuat
pusat kebudayaan untuk sekedar dikunjungi turis, seperti dalam
prakteknya selama ini."Pusat kebudayaan dibangun untuk membina
kebudayaan itu sendiri", kata Menteri P dan K. Bahkan, khusus
untuk Werdi Budaya ini, Menteri berpesan agar dapat
mempertahankan kebudayaan Bali dari pengaruh asing, dapat
mengatasi masalah budaya yang timbul akibat ramainya kontak
berbagai bangsa di Bali. Selain itu Putu Raka tetap optimis.
Kepada wartawan selesai peresmian ia berkata: "Bidang operasi
sudah mulai dibahas. Werdi Budaya tidak akan jadi proyek
komersil". Di bagian lain ia menyebut, "Agustus mendatang akan
diadakan parade kesenian dari berbagai daerah di Bali".
Kekuatiran belum lenyap, terutama untuk panggung Arda Chandra
yang luas gemerlapan itu. (Biayanya Rp 200 juta, separoh dari
biaya seluruh komplek). Apakah tari Bali bisa bermain di
panggung ini? "Untuk sekedar main bisa saja, tapi apa
komunikatif dengan penonton, itu soal lain", komentar Nyoman
Arcana BA, mahasiswa ASTI. Pendapat ini banyak didukung seniman
lainnya. Panggung Arda Chandra yang bisa menampung 6.000
penonton ini, lantai untuk menarinya amat luas. Untuk tari lepas
(legong, baris dan sejenisnya) tidak mungkin bisa mengitari
seluruh lantai tari. "Jika saya disuruh menari baris di sini,
bisa semaput", kata Made Bandem, dosen ASTI. Di samping menari
di lantai luas yang sulit, penonton menyaksikan dari jarak yang
jauh. "Gerak tangan dan kaki saja sudah kabur dari penonton.
apalagi gerak mata dan alis. Bagaimana bisa menonton yang baik?"
tambah Arcana. "Panggung ini cuma diperuntukkan buat kesenian
Bali yang bersifat massal".
Kalau Werdi Budaya ini gagal lagi mengambil hati seniman,
nasibnya tak lebih dari bangunan mewah yang telah ada, seperti
Mandala Wisata yang kini dikontrak Pacto dan Sasana Budaya yang
masih lengang. Padahal bangunan inipun semula mengemban tugas
"membina kebudayaan Bali".
Nasib Werdi Budaya sedang ramai dipertanyakan. Barangkali betul
pendapat setengah orang, Bali belum memerlukan pusat kebudayaan
yang mewah. Kesenian Bali lahir dan berkembang di pusat
kebudayaan yang paling sederhana, Balai Banjar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini