Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Werdi Budaya Yang Mewah

Bangunan di kompleks pengembangan kebudayaan diresmikan dan diberi nama wedri budaya, yang dinilai orang tak akan banyak dimanfaatkan. Karena itu pula pemerintah pusat menghentikan proyek itu.

30 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMIS, 2 pekan lalu ada kerepotan di bagian timur kota Denpasar. Petang itu, pelajar-pelajar datang dengan pakai seragam lengkap dengan poster nama sekolalahnya. Hari itu, Menteri P dan K. Dr. Syarif Thajeb meresmikan Komplek Pusat Pengembangan Kebudayaan Bali, setelah Presiden Soeharto yang direncanakan bakal datang tidak jadi. Dengan dielukan ribuan pelajar yang sekolah sore terpaksa diliburkan Menteri disambut tari Pendet Massal, kemudian menerima Canang Sari. Komplek kebudayaan ini diberi nama "Werdi Budaya". Dibangun sejak tahun 1969 sudah menelan biaya Rp 560 juta lebih. Bangunan induk, tempat pameran lukisan dan kerajinan, diberi nama Mahudara Mandara Giri Buwana sudah diresmikan tahun 1971 oleh Menteri P dan K (waktu itu) Mashuri SH. Di sebelahnya, tahun lalu diresmikan lagi satu unit gedung demonstrasi melukis sekarang untuk pameran lukisan tidak permanen diberi nama gedung "Oncer Srawa". Satu unit gedung untuk sastra dengan nama "Amerta Saraswathi". Selain itu ada lagi gedung yang sifatnya darurat misalnya Balai Wantilan untuk pertunjukan yang menyedot turis. Tiap malam dipergelarkan Tari Cak. Yang agak mengagetkan, mulai tahun anggaran ini proyek dihentikan. Putu Raka SH pimpinan proyek tidak menyebut alasan pemerintah pusat untuk menyetop droping uang. Padahal kalau ditelusuri rencana induk pembangunan komplek, budaya yang disusun arsitek alam (undagi) Ida Bgs Tugur, masih jauh dari sempurna. Di atas tanah 12 hektar direncanakan pula dibangun gelanggang remaja, asrama para seniman dan banyak lagi. Pokoknya semua kegiatan seni berseni direncanakan ada di komplek ini. "TIM masih belum apa-apa dibandingkan rencana art centre ini", begitu komentar Putu Raka SH. Non Komersil Dengan dihentikannya - konon sementara - proyek ini, kekuatiran yang sudah lama menjelma tiba-tiba mendapat tempat. Yakni, untuk apa pula bangunan megah-megah itu? Tentu bukan maksudnya membuat pusat kebudayaan untuk sekedar dikunjungi turis, seperti dalam prakteknya selama ini."Pusat kebudayaan dibangun untuk membina kebudayaan itu sendiri", kata Menteri P dan K. Bahkan, khusus untuk Werdi Budaya ini, Menteri berpesan agar dapat mempertahankan kebudayaan Bali dari pengaruh asing, dapat mengatasi masalah budaya yang timbul akibat ramainya kontak berbagai bangsa di Bali. Selain itu Putu Raka tetap optimis. Kepada wartawan selesai peresmian ia berkata: "Bidang operasi sudah mulai dibahas. Werdi Budaya tidak akan jadi proyek komersil". Di bagian lain ia menyebut, "Agustus mendatang akan diadakan parade kesenian dari berbagai daerah di Bali". Kekuatiran belum lenyap, terutama untuk panggung Arda Chandra yang luas gemerlapan itu. (Biayanya Rp 200 juta, separoh dari biaya seluruh komplek). Apakah tari Bali bisa bermain di panggung ini? "Untuk sekedar main bisa saja, tapi apa komunikatif dengan penonton, itu soal lain", komentar Nyoman Arcana BA, mahasiswa ASTI. Pendapat ini banyak didukung seniman lainnya. Panggung Arda Chandra yang bisa menampung 6.000 penonton ini, lantai untuk menarinya amat luas. Untuk tari lepas (legong, baris dan sejenisnya) tidak mungkin bisa mengitari seluruh lantai tari. "Jika saya disuruh menari baris di sini, bisa semaput", kata Made Bandem, dosen ASTI. Di samping menari di lantai luas yang sulit, penonton menyaksikan dari jarak yang jauh. "Gerak tangan dan kaki saja sudah kabur dari penonton. apalagi gerak mata dan alis. Bagaimana bisa menonton yang baik?" tambah Arcana. "Panggung ini cuma diperuntukkan buat kesenian Bali yang bersifat massal". Kalau Werdi Budaya ini gagal lagi mengambil hati seniman, nasibnya tak lebih dari bangunan mewah yang telah ada, seperti Mandala Wisata yang kini dikontrak Pacto dan Sasana Budaya yang masih lengang. Padahal bangunan inipun semula mengemban tugas "membina kebudayaan Bali". Nasib Werdi Budaya sedang ramai dipertanyakan. Barangkali betul pendapat setengah orang, Bali belum memerlukan pusat kebudayaan yang mewah. Kesenian Bali lahir dan berkembang di pusat kebudayaan yang paling sederhana, Balai Banjar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus