BENGKULU termasuk di antara 9 propinsi yang selalu siap membuka
pintu bagi para transmigran. Daerahnya masih luas,
hutan-hutan di sana masih perawan lagi. Sehingga seperti
berulangkali diungkapkan Gubernur drs. H.A. Chalik, sampai
dengan akhir Pelita III nanti transmigran yang ada di Bengkulu
akan berjumlah 100.000 KK. Tapi jika menurut catatan Kanwil
Departemen Transmigrasi Propinsi Bengkulu jumlah transmigrasi
yang ada didaerah itu sekarang baru tercatat sekitar 2.500 KK,
agak sulit dibayangkan bagaimana mengejar jumlah sebanyak itu
hingga 7 tahun mendatang.
Tapi kesulitan mengurusi transmigrasi di Bengkulu agaknya bukan
hanya dalam soal mengejar angka-angka saja. Nasib mereka yang
telah ditempatkan di lokasi-lokasi tertentu selama ini cukup
mencemaskan juga. Sebanyak 230 KK transmigran yang ditempatkan
di proyek transmigrasi Seblat (Kabupaten Bengkulu Utara) sejak
akhir tahun 1976 lalu misalnya, belum jelas benar akan nasib
mereka. Waktu menuju tempat itu mereka diangkut dengan truk
selama 2 hari perjalanan untuk menempuh jarak 140 km dari kota
Bengkulu. Jadi terang bahwa jalan raya menuju tempat itu masih
dalam keadaan parah. Bahkan akhir-akhir ini tak ada sebuah
kendaraan bermotor yang sudi menuju jurusan itu karena jalannya
suah dianggap binasa.
Begitu 230 KK itu sampai di tujuan, yang bernama tanah
pekarangan masih terdiri dari hutan lebat, belum ditebus, belum
ditebangi. Tanah perladangan yang 3 hektar itu, sama saja.
Lebih-lebih lagi tanah sawah yang 1 hektar tiap KK masih
berbentuk hutan dan belum punya pengairan Menurut penuturan
seorang warga proyek Seblat kepada pembantu TEMPO, M. Effendy,
pembagian bibit maupun perlengkapan lainnya pun tak begitu
memuaskan. Dari 20 batang bibit cengkeh untuk tiap KK ternyata
hanya diterimakan 14 batang, bibit padi yang mestinya 25 kg tiap
KK hanya dibagikan 5 kg, bibit kacang kedele yang seharusnya 1
kg hanya dibagi 1 cangkir untuk tiap KK.
Memburuh
Begitu pula dalam hal peralatan kerja, seperti linggis, cangkul
dan garpu. Tapi lebih dari itu, hingga hari ini di Seblat belum
terdapat balai pengobatan dan sekolah, apa lagi rumah ibadah.
Padahal sepcrti diketahui daerah ini cukup terkenal akan ancaman
malarianya. Sayang, bahwa Menteri Nakertranskop yang belum lama
ini berkunjung ke Bengkulu Utara tak sempat meninjau Seblat ini.
Tapi berbincang perkara transmigrasi di propinsi ini, tampaknya
memang keterbatasan maupun rusaknya jalanjalan masih merupakan
hambatan. Paling sedikit hal ini menyebabkan para transmigrasi
itu terkurung dan tak lancar memasarkan hasil pertanian mereka.
Di samping itu dengan tiadanya irigasi yang baik ditambah
gangguan hama tikus dan babi serta kurangnya pembinaan
menyebabkan para transmigran itu tak mendapatkan hasil
sebagaimana layaknya. Akibatnya, tak sedikit di antara mereka
yang meninggalkan lokasi, memburuh di kota maupun
kampung-kampung terdekat atau numpang bersawah pada penduduk
setempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini