JEPANG yang kini perkasa pernah melewati periode yang kelam.
Potongan-potongan seJarah yang meninggalkan luka dalam itu,
masih pahit dikenang. Tapi mungkin juga ia merupakan cerita yang
bagus untuk generasi berikutnya.
Di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pekan lalu dipertunjukkan 6
film Jepang. Tidak seluruhnya baik, tapi untuk mengamati
pertumbuhan film Jepang tetap menarik dikaji.
Umumnya para sutradara itu memiliki kecermatan mengamati
lingkungan hidupnya. Mereka tampak menancapkan kakinya pada bumi
kebudayaan yang sudah dikenalnya dengan baik. Sejarah, sekalipun
telah silam, adalah teladan. Dengan pemikiran demikian agaknya,
sutradara Keisuke Kinoshita tampil lewat film Fuefuki Gawa
(Sugai Fuefuki) berdasar novel Shichiro Fukazawa.
Film ini mengungkapkan kehidupan lima generasi sebuah keluarga
petani melarat yang tinggal di tepi Sungai Fuefuki. Kehidupan
mereka kait mengait dengan jatuh bangunnya bangsawan keluarga
Takeda. Pada abad ke-16 itu seiap keluarga bangsawan harus
melewati banyak peperangan untuk mempertahankan hidup.
Ketika itulah para penguasa kecil tadi meletakkan dasar semangat
militer disertai loyalitzs yang tinggi, yang dikenal dengan baik
kaum samurai berterompah. Semangat Bushido yang tak kenal
menyerah itu harus dibayar mahal. "Hanya dengan menjadi prajurit
saya akan memperoleh banyak kesempatan," kata Sozo (Somegoro
Ichikawa). "Kalau kita hanya sebagai petani, nasib tidak akan
banyak berubah."
Kedua orang tua Sozo yang sudah rapuh itu, hanya bisa menangis
mendengar kemauan keras anaknya. Kini semakin jelas tabir kelam
yang akan terbentang. Dengan semangat serupa itu, dulu nenek
moyang mereka habis digulun. Ayah dan ibu Sozo tampaknya sudah
siap bila suatu saat menerima gulungan panji perang keluarga
Takeda yang mengabarkan kematian anaknya -- dan menjemputnya
dengan gumam kesedihan para pendeta Budha.
Film yang pada dasarnya hitam putih ini seperti sebuah puisi
kejam. Jembatan yang membentang di atas sungai Fuefuki --
memisahkan rumah tokoh keluarga petani dengan tempat tinggal
bangsawan teodal Takeda -- sering menyaksikan peristiwa
menyayat. Suatu sore yang sepi seorang lelaki berkuda datang
dengan cerita kepahlawanan. Tapi beberapa hari kemudian,
beberapa kaum samurai berterompah di bawah bayang-bayang rembang
petang, tiba membawa berita kematiannya.
Dalam menyajikan efek dramatik Kinoshita tampak unggul. Ia
memulaskan warna merah dan biru pada beberapa adegan. Pengaruh
emosionalnya terasa luar biasa. Sebuah peristiwa penguburan,
yang diselenggarakan di bawah kabut dan warna biru, serta
didukung latar belakang suara keliningan kematian seorang
pendeta Budha, terasa menyayat. Dan pada suatu sore yang basah
dari atas jembatan, para petani itu melihat cahaya merah tajam
menjilat langit. "Itu rumah bangsawan Takeda telah dibakar,"
gumam para petani.
Generasi terakhir petani yang tinggal di tepi sungai tadi
sesungguhnya ingin bersikap tidak memihak dalam pertikaian
antara keluarga bangsawan. Orang tua Sozo itu tidak menyukai
pengabdian seperti yang ditempuh kaum samurai. Petani tampaknya
tidak pernah menentukan arah sejarah. Tapi kaum samurai jugalah
yan melenyapkan keturunan terakhir Takeda -- Shingen Takeda
(Kanzaburo Nakamura) -- dalam sebuah upacara membakar diri di
kuil keluarga setelah terdesak di pegunungan.
Tapi Jepang juga memirlki sisi gelap lain yang tersembunyi. Film
Sansho Dayu (Si Pengelola), karya sutradara Kenji Mizoguchi,
adalah cerita kemanusiaan yang klasik. Seorang Gubernur yang
berniat melindungi kepentingan petani tertindas, ternyata
melawan arus abad ke-XI. Ia yang kelak dianggap sebagai
penghambat, dipecat dan diasingkan di sebuah pulau sampai
meninggal.
Istri dan kedua anaknya jadi orang terusir. Dari sinilah cerita
pahit itu bermula.
Dalam perjalanan kembali menuju ke rumah orang tuanya, Nyonya
Tamaki, istri bekas Gubernur itu, diculik orang berperahu di
sebuah selat. Ia dipisahkan dengan kedua putra-putrinya: Zushio
dan Anju. Sementara sang ibu dijual sebagai pelacur, kedua
anaknya yang masih kecil tadi dilego sebagai budak di tanah
milik Menteri Kanan di Sansho.
Kemelaratan dan penindasan adalah ciri menonjol pada periode
yang gelap itu. Keluh kesah dan air mata terpendam banyak
terurai di tanah pengelolaan Sansho. Budak yang mencoba
melarikan diri, bila tertangkap harus menerima sapuan besi
membara sebagai imbalannya. Di pondok-pondok rumbia, dan di atas
jerami, para budak tadi berlindung dan merebahkan diri.
Disajikan dengan komposisi gambar yang enak, peristiwa pedih itu
tertoreh amat dalam. Hampir seluruh elemen visual pendukung,
dikerjakan sangat hati-hati oleh sutradara Mizoguchi. Kisah
pedih Nyonya Tamaki dengan putra-putrinya itu seperti belum jauh
beranjak dari tempat berpijak banyak orang Indonesia. Hanya
dalam citra memandang, tentu terdapat perbedaan.
Zushio yang hampir saja berubah perangainya, melarikan diri
dengan bantuan adiknya. Tapi kelak setelah Zushio jadi Gubernur
di Tango -- dengan gelar Masamichi Taira -- ia kembali ke Sansho
untuk membebaskan para budak dan adiknya. Tapi Anju ternyata
telah tewas bunuh diri -- ia takut akan menceritakan minggatnya
Zushio bila disiksa penguasa Sansho.
Sudah Jamak
"Ibalah terhadap manusia lain," itu petuah sang ayah yang tetap
diingat Zushio sekalipun sudah jadi Gubernur. "Kamu bukanlah
manusia bila tidak menaruh belas kasihan pada sesamanya."
Zushio mewujudkan petuah itu dengan satu tindakan menghapuskan
perbudakan di wilayah Tango termasuk tanah milik pribadi. Ia
memang melawan arus zaman itu. Ia dianggap mengacak-acak tatanan
yang sudah jamak. Tapi ia sudah siap mengundurkan diri, seperti
yang pernah dilakukan mendiang ayahnya. Ia kemudian ternyata
menemukan ibunya kembali bukan dengan kekuasaan dan jabatan
gubernur.
Tapi masih banyak kisah lain yang diangkat para sutradara
Jepang. Film Sabu yang bercerita tentang persahabatan antara dua
pemuda, juga dikerjakan dengan teknik sinematografi yang baik.
Dengan cerita yang sederhana sutradara Yasujiro Ozu juga mampu
memberikan tontonan enak dalam film Tokyo Monogatari (Cerita
Dari Tokyo). Film Ozu itu mengungkapkan kekecewaan Koichi dan
istrinya. Kedua orang tua itu kaget melihat perubahan perangai
anak-anaknya setelah bekerja di Tokyo. Kunjungan mereka ke Tokyo
jadi seperti beban bagi anak-anaknya. "Mereka sekarang sudah
banyak berubah," gumam Nyonya Koichi. "Kita memang tak boleh
mengharapkan terlalu banyak dari anak-anak," keluh Koichi yang
melewatkan malam dengan minum sake bersama teman-teman lamanya.
"Sebab kita akan kecewa."
Film Ozu yang hitam putih itu, sekalipun pada setiap pengambilan
adegan kamera dibiarkan statis, mengalir dengan enak. Ia membuka
cerita dengan sebuah peluit kereta. Dan ketika Nyonya Koichi
menutup usia, suasana tiba-tiba senyap di rumah yang terletak di
tepi sungai itu. Di kejauhan tampak kapal motor melintas, bunyi
sulingnya samar. Dan di sebuah sekolah anak-anak bernyanyi
dengan nada suram, sementara kereta tua itu mendesah-desah. Lalu
film pun berakhir.
Eddy Herwanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini