Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dari sungai fuefuki sampai tokyo

6 film jepang di tim: fuefuki gawa sanshodayu sabu tokyo monogatari dll. resensi oleh: eddy herwanto. (fl)

1 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JEPANG yang kini perkasa pernah melewati periode yang kelam. Potongan-potongan seJarah yang meninggalkan luka dalam itu, masih pahit dikenang. Tapi mungkin juga ia merupakan cerita yang bagus untuk generasi berikutnya. Di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pekan lalu dipertunjukkan 6 film Jepang. Tidak seluruhnya baik, tapi untuk mengamati pertumbuhan film Jepang tetap menarik dikaji. Umumnya para sutradara itu memiliki kecermatan mengamati lingkungan hidupnya. Mereka tampak menancapkan kakinya pada bumi kebudayaan yang sudah dikenalnya dengan baik. Sejarah, sekalipun telah silam, adalah teladan. Dengan pemikiran demikian agaknya, sutradara Keisuke Kinoshita tampil lewat film Fuefuki Gawa (Sugai Fuefuki) berdasar novel Shichiro Fukazawa. Film ini mengungkapkan kehidupan lima generasi sebuah keluarga petani melarat yang tinggal di tepi Sungai Fuefuki. Kehidupan mereka kait mengait dengan jatuh bangunnya bangsawan keluarga Takeda. Pada abad ke-16 itu seiap keluarga bangsawan harus melewati banyak peperangan untuk mempertahankan hidup. Ketika itulah para penguasa kecil tadi meletakkan dasar semangat militer disertai loyalitzs yang tinggi, yang dikenal dengan baik kaum samurai berterompah. Semangat Bushido yang tak kenal menyerah itu harus dibayar mahal. "Hanya dengan menjadi prajurit saya akan memperoleh banyak kesempatan," kata Sozo (Somegoro Ichikawa). "Kalau kita hanya sebagai petani, nasib tidak akan banyak berubah." Kedua orang tua Sozo yang sudah rapuh itu, hanya bisa menangis mendengar kemauan keras anaknya. Kini semakin jelas tabir kelam yang akan terbentang. Dengan semangat serupa itu, dulu nenek moyang mereka habis digulun. Ayah dan ibu Sozo tampaknya sudah siap bila suatu saat menerima gulungan panji perang keluarga Takeda yang mengabarkan kematian anaknya -- dan menjemputnya dengan gumam kesedihan para pendeta Budha. Film yang pada dasarnya hitam putih ini seperti sebuah puisi kejam. Jembatan yang membentang di atas sungai Fuefuki -- memisahkan rumah tokoh keluarga petani dengan tempat tinggal bangsawan teodal Takeda -- sering menyaksikan peristiwa menyayat. Suatu sore yang sepi seorang lelaki berkuda datang dengan cerita kepahlawanan. Tapi beberapa hari kemudian, beberapa kaum samurai berterompah di bawah bayang-bayang rembang petang, tiba membawa berita kematiannya. Dalam menyajikan efek dramatik Kinoshita tampak unggul. Ia memulaskan warna merah dan biru pada beberapa adegan. Pengaruh emosionalnya terasa luar biasa. Sebuah peristiwa penguburan, yang diselenggarakan di bawah kabut dan warna biru, serta didukung latar belakang suara keliningan kematian seorang pendeta Budha, terasa menyayat. Dan pada suatu sore yang basah dari atas jembatan, para petani itu melihat cahaya merah tajam menjilat langit. "Itu rumah bangsawan Takeda telah dibakar," gumam para petani. Generasi terakhir petani yang tinggal di tepi sungai tadi sesungguhnya ingin bersikap tidak memihak dalam pertikaian antara keluarga bangsawan. Orang tua Sozo itu tidak menyukai pengabdian seperti yang ditempuh kaum samurai. Petani tampaknya tidak pernah menentukan arah sejarah. Tapi kaum samurai jugalah yan melenyapkan keturunan terakhir Takeda -- Shingen Takeda (Kanzaburo Nakamura) -- dalam sebuah upacara membakar diri di kuil keluarga setelah terdesak di pegunungan. Tapi Jepang juga memirlki sisi gelap lain yang tersembunyi. Film Sansho Dayu (Si Pengelola), karya sutradara Kenji Mizoguchi, adalah cerita kemanusiaan yang klasik. Seorang Gubernur yang berniat melindungi kepentingan petani tertindas, ternyata melawan arus abad ke-XI. Ia yang kelak dianggap sebagai penghambat, dipecat dan diasingkan di sebuah pulau sampai meninggal. Istri dan kedua anaknya jadi orang terusir. Dari sinilah cerita pahit itu bermula. Dalam perjalanan kembali menuju ke rumah orang tuanya, Nyonya Tamaki, istri bekas Gubernur itu, diculik orang berperahu di sebuah selat. Ia dipisahkan dengan kedua putra-putrinya: Zushio dan Anju. Sementara sang ibu dijual sebagai pelacur, kedua anaknya yang masih kecil tadi dilego sebagai budak di tanah milik Menteri Kanan di Sansho. Kemelaratan dan penindasan adalah ciri menonjol pada periode yang gelap itu. Keluh kesah dan air mata terpendam banyak terurai di tanah pengelolaan Sansho. Budak yang mencoba melarikan diri, bila tertangkap harus menerima sapuan besi membara sebagai imbalannya. Di pondok-pondok rumbia, dan di atas jerami, para budak tadi berlindung dan merebahkan diri. Disajikan dengan komposisi gambar yang enak, peristiwa pedih itu tertoreh amat dalam. Hampir seluruh elemen visual pendukung, dikerjakan sangat hati-hati oleh sutradara Mizoguchi. Kisah pedih Nyonya Tamaki dengan putra-putrinya itu seperti belum jauh beranjak dari tempat berpijak banyak orang Indonesia. Hanya dalam citra memandang, tentu terdapat perbedaan. Zushio yang hampir saja berubah perangainya, melarikan diri dengan bantuan adiknya. Tapi kelak setelah Zushio jadi Gubernur di Tango -- dengan gelar Masamichi Taira -- ia kembali ke Sansho untuk membebaskan para budak dan adiknya. Tapi Anju ternyata telah tewas bunuh diri -- ia takut akan menceritakan minggatnya Zushio bila disiksa penguasa Sansho. Sudah Jamak "Ibalah terhadap manusia lain," itu petuah sang ayah yang tetap diingat Zushio sekalipun sudah jadi Gubernur. "Kamu bukanlah manusia bila tidak menaruh belas kasihan pada sesamanya." Zushio mewujudkan petuah itu dengan satu tindakan menghapuskan perbudakan di wilayah Tango termasuk tanah milik pribadi. Ia memang melawan arus zaman itu. Ia dianggap mengacak-acak tatanan yang sudah jamak. Tapi ia sudah siap mengundurkan diri, seperti yang pernah dilakukan mendiang ayahnya. Ia kemudian ternyata menemukan ibunya kembali bukan dengan kekuasaan dan jabatan gubernur. Tapi masih banyak kisah lain yang diangkat para sutradara Jepang. Film Sabu yang bercerita tentang persahabatan antara dua pemuda, juga dikerjakan dengan teknik sinematografi yang baik. Dengan cerita yang sederhana sutradara Yasujiro Ozu juga mampu memberikan tontonan enak dalam film Tokyo Monogatari (Cerita Dari Tokyo). Film Ozu itu mengungkapkan kekecewaan Koichi dan istrinya. Kedua orang tua itu kaget melihat perubahan perangai anak-anaknya setelah bekerja di Tokyo. Kunjungan mereka ke Tokyo jadi seperti beban bagi anak-anaknya. "Mereka sekarang sudah banyak berubah," gumam Nyonya Koichi. "Kita memang tak boleh mengharapkan terlalu banyak dari anak-anak," keluh Koichi yang melewatkan malam dengan minum sake bersama teman-teman lamanya. "Sebab kita akan kecewa." Film Ozu yang hitam putih itu, sekalipun pada setiap pengambilan adegan kamera dibiarkan statis, mengalir dengan enak. Ia membuka cerita dengan sebuah peluit kereta. Dan ketika Nyonya Koichi menutup usia, suasana tiba-tiba senyap di rumah yang terletak di tepi sungai itu. Di kejauhan tampak kapal motor melintas, bunyi sulingnya samar. Dan di sebuah sekolah anak-anak bernyanyi dengan nada suram, sementara kereta tua itu mendesah-desah. Lalu film pun berakhir. Eddy Herwanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus